Lisan Penuntut Ilmu dalam Bermedia Sosial

Oleh: Ali Akbar Al-Fata* 
financialtribune.com

Lisan merupakan salah satu dari nikmat Allah yang luar biasa. Lisan membantu kita menerjemahkan kalam qalbu, makna-makna yang tersirat di dalam hati pun tercurahkan melalui lisan. Ada yang berkata “Jagalah lisanmu!” Iya, di dalam kelebihan lisan yang Allah berikan kepada kita, ada hal berbahaya di dalamnya, apabila tidak kita pergunakan dengan baik, maka lisan bisa menjadi tombak bagi orang lain. 

Di era modern seperti ini, tampaknya makna lisan bukan hanya seperti yang kita pahami zaman dahulu. Dahulu, mungkin orang-orang beranggapan bahwasanya “lisan” berarti “kata-kata”. Namun sekarang, tulisan kita di media sosial tampaknya sudah memasuki makna dari lisan itu sendiri, sehingga pemahaman akan lisan hari ini cenderung lebih luas. 

Media sosial merupakan perantara dari lisan umat hari ini, percakapan jarak jauh dapat dilakukan sekejap saja melalui media sosial yang terus bertumbuh setiap harinya. Kalangan pengguna media sosial pun seakan tak terbatas, mulai dari kalangan orang tua, remaja, hingga kanak-kanak sekali pun agaknya sudah menggunakan media sosial. Pengguna pun datang dari berbagai kalangan: guru, penuntut ilmu, pegawai dan lain-lain. Artinya semua orang dapat mengatakan hal yang dia kehendaki melalui media sosial atau sebut saja melalui lisannya. 

Perkembangan media sosial yang pesat sayangnya tidak diiringi dengan pendidikan akan penggunaan media sosial itu sendiri, sehingga semua kalangan menggunakannya dengan cara masing-masing. Tentu ini berbahaya, karena seperti yang kita katakan tadi, bahwasanya media sosial menjadi wakil dari lisan-lisan mereka. 

Hal yang ingin kita bahas adalah “lisan”. Kita sebagai penuntut ilmu, bagaimana cara kita menyikapi dan menggunakan lisan-lisan kita? Kita akan mengkerucutkan makna penuntut ilmu ke dalam penuntut ilmu agama islam. 

Penuntut ilmu tidak bisa kita kategorikan sebagai orang awam lagi, mereka telah menmpuh banyak hal, dan lebih banyak pengalamannya, sehingga, hal-hal yang harus mereka lakukan banyak juga tentunya. Hal yang pertama yang harus dilakukan seorang penuntut ilmu dalam masalah lisan ini adalah menyadari diri sendiri, artinya, ia harus sadar akan kadar keilmuannya, apakah dia sudah siap dan bisa berdakwah? Apakah sudah mampu? Ini yang perlu kita sadari terlebih dahulu. 

Kenapa hal ini mesti disadari? Karena, dewasa ini para penuntut ilmu agaknya sudah “lupa tempat berpijak” sehingga ia merasa sudah mampu menyampaikan dan menyelesaikan masalah umat, hingga akhirnya dia menyampaikannya. Melalui apa? Ya, media sosial yang kita bicarakan tadi, dan di sini ia telah salah menggunakan lisannya. Akibatnya, banyak hal yang tidak tersampaikan dengan benar bahkan salah, sehingga berpotensi merusak umat. Hal ini diakibatkan karena ia belum siap untuk terjun ke dunia dakwah di media sosial. Singkatnya, secara kapasitas keilmuaan ia belum mampu. 

Tak ayal, kita menemukan penuntut ilmu yang masih pemula mulai membicarakan masalah khilafiyyah (perbedaan pendapat) di media sosial, yang bahkan mungkin dia belum belajar tentang dasar-dasar islam sendiri. Titik bahaya yang ada pada masalah ini adalah para penuntut ilmu tersebut tidak membatasi pembicaraan mereka terhadap orang-orang yang paham saja, tapi membicarakan masalah perbedaan pendapat ini terhadap orang awam juga, sehingga orang awam hari ini mulai sibuk dengan masalah perbedaan pendapat. Ini fenomena yang buruk. 

Penyebaran dakwah di media sosial yang kita bicarakan tentunya bukan hanya penyebaran langsung dengan kata-kata atau tulisan kita. Namun, juga mencakup kepada suatu budaya yang sudah mengakar di pemikiran anak-anak milenium saat ini yaitu budaya “copy and paste”. Ya, rasanya tiada hari tanpa copas, begitulah faktanya. 

Kurangnya pendidikan media sosial mengakibatkan kepada hal ini, mereka yang mebagikan tautan-tautan yang di-copas melalui media lain itu seringkali tidak membaca apa yang mereka bagikan, ini yang kita sebut salah dalam menggunakan lisan (media sosial). Seringkali unsur-unsur perbedaan pendapat, SARA, dan lain-lain menjadi bahan penyebaran hangat hari ini. lagi-lagi ini fenomena yang sangat disayangkan, apalagi terjadi dari kalangan penuntut ilmu. 


Kita sebagai penuntut ilmu hendaknya cerdas dalam menggunakan lisan kita. Kita tidak boleh dibodohi oleh zaman, jangan biarkan zaman menggengam kita, tapi genggamlah zaman tersebut dengan tangan kita. Kita harus menumpaskan budaya copas yang sudah berjamur di masyarakat hari ini. Kita juga harus menyadari kadar keilmuan kita ketika akan menyampaikan sesuatu, semuanya harus dilakukan penuh pertimbangan.

Bukan berarti kita tidak boleh membagikan di media sosial. Namun, biasakanlah membaca apa yang kita ingin bagikan, dan siapa konsumen atau pembaca dari hal yang kita bagikan. Biasakanlah diri kita membaca situasi apabila ingin membagikan sesuatu. Apabila kita telah melakukannya, maka kita telah bijak dalam menggunakan lisan kita. Lisan yang merupakan tombak dan anak panah dapat menjadi lisan yang berdiri di atas kebenaran. Lisan yang berhati-hati dalam membicarakan sesuatu. 

Oleh karena itu, kita sebagai penuntut ilmu harus cerdas menggunakan lisan kita, agar umat yang terkekang paradigma yang salah bisa lepas dan bebas. Tentu, memulai segala sesuatu dari diri sendiri adalah hal terbaik yang akan kita lakukan. Semoga Allah memberikan kita rahmat dan karunia-Nya, semoga Allah menjadikan lisan kita penuh keindahan, dan lisan yang berdiri di atas kebenaran.[] 

*Penulis adalah pelajar Daurah Lughah Markaz Syekh Zayid.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top