Selin
Oleh: Darul Quthni*
Sesuai dugaanku, minuman yang dipesan Borzah adalah kopi pahit dan susu.
Keduanya menggurat perumpamaan, kopi adalah dia yang keras hati dan susu adalah Selin yang lembut hati.
Bila banyak orang menikmati kopi dengan hisapan rokok, maka Borzah punya cara berbeda untuk merayakan secangkir rezeki; berulang-ulang ia membaca isi matan Al-Ajurumiyah, kitab kesukaannya. Tentunya, seisi warung meraut air muka berbeda-beda melihat Borzah yang berjubah amat tekun berkutat dan merapal isi kitab, dengan suaranya yang lumayan keras dan nyaring berpadu riuh dengan semrawut kendaraan yang saling berang-berangan mengklakson. Wajarlah, jika setiap siapa saja yang lewat di depannya justru membatin usil "Dasar! si hitam ceriwis".
Jika di dekat tempat tinggalnya ada warung kopi untuk bersantai, maka tak akan jauh-jauh ia pergi ke warung Abdul Jalal dekat tempat tinggalku. Bukan hanya demikian sebab-musabab mengapa ia kerap datang ke warung Abdul Jalal, tentunya sudah lama ia bercerita kepadaku, bahwa 80 meter ke kanan dari warung Abdul Jalal tumbuh berkecambahlah wanita bunga di hatinya. Selin.
Makanya, ia lebih suka duduk di teras warung sewaktu menikmati kopi sembari memandang langit tepat di atas apartemen Selin. Dan lebih senang duduk agak mendekati pagar jalan demi lebih khusyuk menikmati secangkir susu. Sebuah prinsip besar yang dicamkannya erat-melekat, adalah tak akan mencampuri kopinya dengan susu. Atau sebaliknya. Tidak akan. Titik.
Dalam naskah Ahmad Borzah bin Makalele, yang terbit dari kepala batinnya tepat setelah ia jatuh cinta kepada Selin, berbunyi demikian; cairan kopi pahit layaknya matahari. Dan susu adalah waktu syuruq. Ketika keduanya bertemu lantas lahirlah pagi yang bertamu dalam kopi susu.
Nah, Borzah pernah duduk diam mematung, memikirkan kapan angan-angannya akan bertemu Selin? Sehingga sah lah kiranya ia menyebut risetnya bahwa kopi dan susu adalah senyawa. Tepatnya menjadi secangkir 'kopi-susu'.
Namun ia cerdik sewaktu beribadah. Setiap kali sujud, ia berdoa lirih "Ya Allah, baliklah sedikit hati Selin yang lembut itu. Sedikit saja, sedikit saja, sekelumit bulir imanku".
Borzah sadar, jika hati Selin berbalik 360 derajat, sudah pasti ia tak mampu mencegah degupan hatinya. Pasti kewalahan. Pasti urat-urat di sekujur kepalanya mendidih panas 90 derajat. Makanya ia sangat berhati-hati saat mencintai wanita.
Dalam penantian hasil proposal yang diusulkan Borzah kepada Sang Pemilik Hati, ia tidak terburu-buru, sampai menuntut agar cepat-cepat terkabul. Tidak begitu. Borzah tidak demikian. Saluthormatlah aku melihatnya, setiap pulang dari warung pasti ia lebih lama duduk di lantai masjid mendesis-desiskan doa, zikir, wirid, dan mantra ampuh lainya. Untuk meniliknya, aku mengintip dari celah kerawang ornamen dinding masjid Al-Azhar. Menunggu hingga waktu salat isya tiba.
Hari-hari selanjutnya tiba. Terjatuh suatu pagi yang sejuk ke dalam wajah Borzah. Berembun di mata sedari subuh. Segar. Bugar.
Waktu melesat cepat, bergeserlah sedikit ke pukul 07:30.
Jika ditanya hari apa yang paling disukai Borzah, lekaslah ia menjawab sabtu. Lantaran hari libur di Mesir. Makanya, hari ini dia mengajakku untuk memenuhi undangan tongkrongannya di warung Abdul Jalal. Sukarela aku datang ke warung dengan mengenakan jubah yang sama warna, sama motif, dan sama hari pembelian. Putih.
Awal mula, warna yang paling disukai Borzah adalah semua warna yang mencolok. Bukan saja putih, tapi semua jenis yang mencolok. Karena menurutnya, memakai pakaian warna yang mencolok mampu beroleh perhatian dan pemahaman orang-orang sekitar bahwa orang Nigeria juga berselera tinggi. Walaupun warna hitam kulitnya sering kali digunjing oleh mulut-mulut pongah.
"Kemsee, apakah warna kulit hitam seperti bangsa kami paling hina di muka bumi?" pertanyaan ketiga Borzah kepadaku setelah sebelumnya ia bertanya soal kamus bahasa arab dan Selin.
"Tidak juga." sahutku singkat.
Ia mengeryitkan dahi belum puas dengan jawabanku.
"Meskipun katamu begitu, aku menganggap warna kulitmu adalah warna kulit sayyidina Bilal bin Rabah, yang tenar suaranya nan merdu." sambungku.
"Bukannya Allah Swt. tidak melihat rupa, pakaian, dan harta seseorang, melainkan melihat hatinya. Ketika orang hitam seperti bangsamu jadi bahan selorohan, bersabarlah! Hati yang sabar tinggi nilainya di hadapan Allah." jelasku.
Ia mengangguk. Menyungging senyuman bahagia.
"Apakah kamu tahu bahwa sebangsa Selin juga semenjak lama menjadi bahan olokan?"
"Olokan seperti apa?" tanya Borzah penasaran.
"NIHAAWW"
"Ooo" seru Borzah.
"Menurutku, mereka hanya membalasnya tersenyum atau tertawa dalam hati, menganggapnya sebagai hiburan saja. Sehingga sebuah olokan mentah-mentah menjelma bahan tawaan komedi panggung." ujarku.
Borzah tersenyum. Lekas menghirup kopinya.
"Bor, kenapa hari ini tidak memesan susu?" tanyaku.
"Minuman sejenis susu hanya aku pesan ketika aku duduk sendiri" sahutnya tersenyum. Gigi-giginya yang berwarna putih gading menyorot mataku.
Di balik awan matahari samar-samar berarak lebih tinggi. Sepertinya seduhan kopi sudah mesti diminum habis. Kami akan berkunjung ke sebuah restoran.
Peraduan perut kosong selanjutnya adalah rumah makan Nigeria di Hayyu Asyir. Di sini ia akan mengadukan nasibnya yang sudah satu bulan lampau belum mencicip Matoke ala Uganda.
Oke. Jika dalam perjalanan menuju Hayyu Asyir yang bertolak dari Darrasah ia melihat tulisan Abbas El-Akkad yang terpajang besar-besar di advertising board jalan, mengawang-awanglah pikirannya di atas langit yang lalu menghunjam ke bumi kembali, mengenai halte amat lusuh itu. Dua bulan lalu, berbinarlah sekujur air muka Borzah ketika baru saja ia membeli kamus Chinese-Arab cetakan Peking University, yang dibelinya di International Book Fair, lalu ia berikan kepada Selin. Di halte tersebut lah ia menjulurkan tangannya panjang-panjang mengharap Selin menerimanya. Malamnya, Borzah menginap dirumahku, terbaring mematung di sudut ranjang. Bagai ditembak halilintar sudah hatinya. Senang. Menyala-nyala romannya. Pemberiannya diterima.
Semenjak kejadian itu, dikurunglah perasaannya rapat-rapat dalam penjara iman. Diawasi ketat oleh taqwa. Tak akan dilepas sebelum Alhamdulillah diizinkan terucap.
Lima bulan setelahnya. Hari itu jatuh tepat hari jumat, ketika orang-orang ramai datang ke Masjid Al-Azhar menunaikan salat jumat. Biasanya, pengajian kitab Ihya'' Ulumuddin diadakan setelah salat jumat. Mahasiswa-mahasiswa selain Borzah juga berjibun menghadiri pengajian. Tanpa diketahui Borzah, hadirlah dalam kerumunan orang itu Selin, mengenakan jilbab abu-abu. Duduk bersila menyimak penjelasan seorang Syaikh tanpa sekalipun melirik kanan-kiri. Tetapi, seakar niat sudah tertancap dalam hati untuk setelah ini ia akan menjumpai Borzah.
Setahu Selin, titik teduh kesukaan Borzah adalah di samping galon penyediaan air minum yang ada di sebelah utara dalam masjid. Selin menerawang terlebih dahulu. Jika iya, maka akan menyapa ke sana. Dan tidak mungkin tidak ada borzah di masjid Al-Azhar, tegas batinnya.
Langkah demi langkah kecil ia cicil. Semakin banyak langkah semakin dekat Selin kepada Borzah.
"Makalele,"
"Yes sir!" sahut Borzah spontan. Biasanya, yang menyebut namanya Makalele adalah mahasiswa-mahasiswa dari Barat, seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Namun, saat itu, tertegunlah Borzah, menelan ludah dua kali, setelah tahu bahwa yang memanggil namanya bukan mereka, ialah Selin. Si wanita bunga.
Jika lima bulan yang lalu ia menyebutnya 'wanita bunga yang tumbuh berkecambah di hati', maka hari ini layak lah kiranya aku dan Borzah menyebutnya wanita tumbuhan dilam, yang harumnya melebihi sepucuk mawar ataupun melati.
Sekonyong-konyong, dua sepasang suami istri datang dari arah belakang Selin, diikuti tiga perempuan dan dua laki-laki. Lima menit aku teliti mengerling ke sana, tanpa berani aku mendekat, apalagi bergabung.
Di sana beberapa hal dibicarakan, beberapa keinginan tampak diluapkan.
Borzah berdiri, beranjak ke arahku. Dia tahu tempat kesukaanku untuk berteduh setelah salat jumat, adalah di tiang-tiang pintu masuk masjid. Borzah mendekat, seperti terkaanku, dia akan berujar sesuatu.
"Kemsee, aku pilih kamu menjadi saksi penikahanku"
Termangulah aku. Menelan ludah lebih banyak daripada Borzah. Empat kali.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, aku mengiring langkah Borzah menuju Selin dan orang-orang di sekitarnya. Rupanya, mereka adalah orangtua dan saudara-saudari kandung Selin, yang datang dari Ninxia, Cina, demi menikahkan Selin dengan Borzah. Kesenanganku melihat Borzah tertunduk sebelum akad adalah selapis kesenangan. Lapisan kedua adalah melihat orangtua Selin meraut senyuman ikhlas-bahagia yang ada di dalam hati mencuat ke permukaan wajah Borzah dan wajahku. Lapisan ketiga adalah ketika kata SAH melentur ke dalam telingaku.
Syekh Tamim Marzuki sebagai penghulu di pernikahan mereka. Seminggu yang lalu Selin sudah memberitahu beliau bahwa ia ingin menikah dengan Borzah, mahasiswa fakultas Ushuluddin. Syaikh Tamim Marzuki bertanya soal mahar, lekas dengan dada lega Selin menyahut "Kamus Chinese-Arab dan sehelai jilbab abu-abu". "Baiklah" ujar Syekh Tamim Marzuki.
Semua isi jagat buana seakan tenggelam ke dalam saku-saku jubahku, tak berharga. Yang paling bermakna adalah melihat seorang Borzah menikah dengan wanita tumbuhan dilam. Jikalau Borzah menginzinkanku memperdengarkan isi hatiku tentangnya, berjuta pujian untuknya pasti. Mulai dari bibirnya yang banyak tahmidnya, tasbihnya, dan doanya sampai ke sifatnya yang mengasihi pengemis-pengemis di sepanjang jalan menuju gerbang kuliah.
Detik-detik ijab kabul menumbuhkan degupan hati yang tak biasa. Riak wajah Selin menggeletar, sesuai hatinya. Bilamana hatinya bisa aku selami, maka rasa syukur yang berbiak pesat aku temukan di pedalaman lautan hatinya. Begitu juga Borzah.
Dalam benakku, jika perihal tampang dan rupa menjadi alasan takut untuk mencinta, anda sudah benar, dan tak perlu menghiraukan yang demikian, sudah! Tak patut dipikirkan beribu kali. Yang perlu dihiraukan adalah adab sopan santun anda kepada Tuhan yang telah menetapkan aturan dan menyediakan sarana. Jangan asal-asalan terobos pembatas demi suka-suka memegang tangan si gadis. Apalagi menggandengnya tangan sebelum nikah. Keterlaluan! Seperti itu nasehat Borzah kepadaku.
Dalam tongkrongan kami yang ke sembilan kali, Borzah memberitahuku bahwa sarana dari Tuhan untuk mencapai cinta-Nya dan cinta orang yang kita cenderung suka adalah doa. Aturan mainnya, banyak-banyak berdoa, sedikitkan menatap wajahnya apalagi mengajaknya berkencan. Wiih. Cara menyikapi doa-doa yang telah terpinta jangan dengan perasaan buru-buru. Sabarlah sedikit, sampai benar-benar layak kita di mata Tuhan untuk meminang orang yang selama ini sudah menjadi 'wanita tumbuhan dilam'.
*Penulis adalah mahasiswa Al-Azhar asal Aceh.
Posting Komentar