Hedonisme, Perilaku Menyimpang Generasi Milenial

*Ali Akbar Alfata
ulamasedunia.org
Seringkali kita mendengar istilah “hedonisme”, namun selayaknya kita bertanya, apa itu hedonisme? Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), hedonisme adalah sebuah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Secara kasar, kita dapat menyimpulkan bahwasanya para hedonis (pelaku hedonisme) menganggap materi adalah segalanya dan hal yang kita sebut dengan sisi kemanusiaan tidak diperlukan lagi. Hedonisme juga bisa disebut dengan materialisme. 

Dalam masyarakat modern yang tumbuh sangat dinamis hari ini, sangat banyak hal–hal yang mendukung terbentuknya pandangan hedonisme dalam kehidupan. Globalisasi adalah contoh paling besar. Globalisasilah yang menjadikan pertumbuhan ideologi masyarakat melesat begitu cepat, sehingga membuat bingung dan pusing. Pandangan hedonisme secara tak sadar telah mengalir dalam darah masyarakat modern hari ini, khususnya masyarakat tanah air kita. Hal ini terjadi karena kurangnya filterisasi (penyaringan) kultur yang masuk ke negara kita, keterbukaan kita dan keramahan kita dalam menerima seluruh budaya masuk begitu saja itulah yang pada akhirnya membunuh moral masyarakat kita dewasa ini. 

Lihat saja masyarakat hari ini, bagaimana kita selalu up to date dengan keluaran terbaru telepon genggam, atau para sosialita yang selalu bergaya baru mengikuti tren dan fashion yang ada. Sedikit demi sedikit moral serta kemanusiaan kita terkikis. Bayangkan lagi bagaimana masyarakat rela duduk di kafe mahal dan minum kopi yang harganya seratus ribu-an padahal kita bisa minum kopi dengan harga yang lebih layak. Kemudian kita dengan bangga meletakkan foto kita di linimasa akun sosial media kita, sementara ada yang rakyat yang bahkan hanya mencari air putih biasa untuk mereka minum, kita merampas yang bukan hak kita, kita selalu ingin menjadi yang terdepan, memaksa orang disekitar kita untuk menyesuaikan persepsi mereka pada kita hingga kita akhirnya mengalami alienasi terhadap diri kita sendiri. 

Kita memilih untuk hidup seperti yang orang lain inginkan bukan seperti apa yang kita inginkan, kita selalu mempedulikan materi kita dan menjadikannya sebagai sumber kesenangan duniawi, kita “menyuapi” orang sekitar kita dengan materi kita hingga persepsi yang datang sesuai dengan harapan. Kita enggan memakai baju yang sama pada hari-hari kita karena khawatir orang akan menyematkan hal buruk pada diri kita, dan tentu itu juga yang kita lakukan terhadap orang lain. Judging by cover sudah menjadi tindakan refleks pada diri kita, sejauh apapun kita menolak hal tersebut. Alhasil kita kehilangan visi dan misi serta prinsip dalam hidup kita, karena selalu memanjakan tubuh kita dengan materi. 

Islam tak pernah mengajarkan hedonisme, Islam mengecam segala bentuk hedonisme dan sifat materialistik. Rasulullah Saw. sebagai seorang junjungan alam pun sangat jauh dari hedonisme, gaya hidup Rasulullah itu sederhana nan zuhud, seperti dari hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Sejak berpindah ke Madinah, keluarga Muhammad saw. tidak pernah merasa kenyang karena makan gandum selama tiga malam berturut-turut sampai beliau wafat. Hadis riwayat Aisyah ra. yang lain juga berkata: Kami, keluarga Muhammad Saw. sering hidup selama satu bulan tidak menyalakan api (memasak), karena makananannya hanya kurma dan air. 

Gaya hidup seperti inilah yang menumbuhkan pribadi luar biasa. Apakah ini berarti Rasulullah Saw. miskin? Apakah hidup jauh dari hedonisme itu harus jatuh miskin? Tentu saja tidak. Permasalahannya adalah pada bagaimana cara kita bermuamalah dengan harta yang kita miliki, tak masalah memiliki harta, tapi singkirkan hedonisme dari pemikiran kita. Sebagaimana yang Rasulullah Saw. ajarkan pada umatnya yang tercinta. Kita tidak dituntut untuk sampai ke tingkat itu, tapi setidaknya, hargailah nilai harta itu sendiri, kita sepatutnya tak harus menunjukkannya dengan foya-foya untuk hal yang bahkan tak akan pernah dicapai rasa puasnya. Itulah yang islam ajarkan. 

Sudahkah kita melihat? bagaimana hedonisme telah menyatu dengan cara kita berpikir, bagaimana globalisasi dan modernisasi yang terus menampar wajah-wajah kita. Kita sebenarnya tau, hanya saja kita selalu menyepelekan banyak hal, kita sepelekan hal yang layak kita pedulikan, kita memilih menutup telinga kita berdalih hal-hal seperti ini terlalu naif dibicarakan hari ini. ya, kita manusia dengan ribuan alasan. 

Apa yang kita tunggu? Apakah kita menunggu anak cucu kita beranjak dewasa dan mereka hidup penuh dengan hedonisme yang tanpa sadar gerakan bangsa ini selanjutnya ada di tangan mereka? Apakah kita rela melakukan hal keji seperti itu? 

Pendidikan akan hal ini harus ditunjukkan sejak dini. Ketika kita membicarakan pendidikan di sini, maka yang dimaksud adalah pendidikan implementasi (praktek), atau yang biasa kita sebut dengan “keteladanan” yang diyakini hal itu merupakan penunjang penuh dalam pendidikan. Dan segala sifat keteladanan itu ada pada sifat Rasulullah Saw. Maka siapa yang lebih pantas diteladani selain baginda Nabi Saw.? 

Lantas apa yang kita lakukan? kita harus sedikit demi sedikit menumpas budaya hidup materialis dalam diri kita sendiri, kita harus menahan diri kita. Hampir semua orang tentu ingin memamerkan hal yang dimiliki, semua orang ingin dia dipandang baik, tapi kita harus sedikit menahan gejolak itu. Bukan tidak boleh,tapi ada baiknya dikurangi. Allah telah memuliakan anak manusia dari awal penciptaannya tapi kenapa manusia memilih menghina dirinya sendiri?


Kebobrokan moral seperti ini butuh penyelesaian jangka panjang. Kita adalah generasi yang berada pada masa transisi yang sangat mengerikan sehingga masyarakat dibuat bingung, jangan sampai masa ini dirasakan oleh anak cucu kita, kita harus berpikir jangka panjang, bukan untuk 5-10 tahun kedepan, tapi 50-100 tahun kedepan, apa kontribusi yang kita berikan untuk jangka waktu yang panjang seperti itu ? ya, sedikit demi sedikit kita buka pakaian-pakaian hedonisme kita, hidup secara minimalis, terus berusaha menyadari dan kembali memfungsikan kembali kemanusiaan kita, hingga akhirnya kita serta anak cucu kita dapat keluar dari belenggu kegilaan ini. 

Dunia ini semakin kita gali, semakin sirna dari pandangan kita, semakin kita merasakannya semakin kita tau hakikatnya. Pada akhirnya, kita akan berujung pada konklusi yang sangat simpel namun sering kali terabaikan dari pikiran kita, “Dunia adalah fana”.[]

*Penulis adalah pelajar di Markaz Lughah Syekh Zayed. 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top