Hari Raya sebagai Refleksi Hati dan Jiwa Manusia

Sumber foto: Instagram @everydaycairo

Oleh: Muhammad Syukran*

Kehidupan manusia di dunia adalah kumpulan episode-episode bersambung yang dipenuhi oleh perjuangan menghadapi segala rintangan yang menghambat untuk mencapai cita-cita dan segala impiannya. Maka manusia jika telah berhasil melewati sebuah rintangan akan merasakan kebahagiaan yang besar. Untuk bisa melakukan pencapaian yang baru, manusia perlu berhenti dan mengambil nafas, perlu istirahat dari beratnya pekerjaan dan sejenak melupakannya, kemudian bisa kembali dengan semangat baru. 

Berhenti sejenak di sini, bisa dikatakan sebagai halte pemberhentian sementara sebelum meneruskan perjalanan. Perayaan-perayaan yang dilakukan manusia bagaikan halte-halte ini, dimana mereka bergembira di hari itu atas keberhasilan yang telah mereka capai sambil mencanangkan keberhasilan berikutnya di masa yang akan datang. Hari-hari raya ini serupa halte pemberhentian tempat bergembira dan bersuka-cita, mengungkapkan kebahagiaan atas capaian dan mencanangkan capaian berikutnya di masa depan.

Manusia menciptakan banyak hari raya dengan beragam nama untuk berbagai peringatan. Peringatan ini bisa berbentuk keagamaan, kebangsaan atau yang lainnya. Sebagai contoh, di sejumlah Negara terdapat hari raya musim semi, hari kesyukuran, hari raya panen, hari kasih sayang dan hari ibu. Ada juga hari raya nasional memperingati kemerdekaan, di samping berbagai hari raya keagamaan. Tidak ada bangsa yang tidak memiliki hari perayaan tempat menunjukkan suka-cita, merekam kenangan, mengokohkan kebanggaan tentang keluhuran dan memperkuat tekad untuk melanjutkan perjalanan demi kemajuan bangsa. Semua ini adalah hal positif yang menunjukkan kebutuhan fitrah manusia terhadap perayaan sebagai pendukung pengisian energi baru untuk memulai perjalanan dan melanjutkan perjuangan. 

Sumber foto: Instagram @everydaycairo

Mengingat bahwa agama ada untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, maka agama juga memiliki hari-hari raya yang dirayakan oleh pemeluknya sebagai jawaban atas keperluan fitrah manusia tadi. Sebagiannya ditentukan oleh agama itu sendiri dan yang lainnya dibuat oleh pemeluknya dan dijadikan sebagai hari raya keagamaan. Tidak ada satupun agama yang terlepas dari pola ini. 


Dari sini kita lihat bahwa agama Islam menjawab keinginan dan merespon fitrah ini secara positif. Karena itu, kita melihat Nabi Saw. ketika datang ke Madinah dan mendapati kaum Anshar memiliki dua hari bagi mereka bersenang-senang pada hari itu, Rasulullah Saw. lalu bertanya: 

 مَا هَذَانِ اليَوْمَانِ؟ قَالُوا يَوْمَانِ كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ  

“’Hari apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab: ‘Dua hari dimana kami bermain-main padanya di masa jahiliyah.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Swt. Telah menggantinya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik; yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri’.” (HR. Abu Daud, Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Shalah). 

Sebuah hal lumrah jika setiap umat merayakan hari raya mereka dan menunjukkannya dengan memakai perhiasan, melakukan berbagai permainan, menyanyikan lagu, hiburan yang wajar serta riang gembira dan saling mengunjungi sesama kerabat juga handai-taulan. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ra. pernah mengunjungi putrinya yaitu Ummul Mukminin Aisyah Ra. pada hari raya. Saat itu Aisyah Ra. bersama dua orang budak perempuan yang menyanyikan lirik yang diciptakan oleh orang-orang Anshar pada hari Bu’ats —"Hari Bu’ats" merupakan pertempuran terakhir antara Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj di Yatsrib (Madinah) lima tahun sebelum Hijrah— Abu Bakar lalu berkata: 

 أَمَزَامِرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُوْلِ الله؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَ أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا  

“Apa pantas— ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Rasulullah Saw. lalu berkata: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari). 

Juga sabda Rasulullah Saw.: 

( لِتَعْلَمَ يَهُوْدُ أَنَّ فِي دِيْنِنَا فُسْحَةً وَإِنِّي بُعِثْتُ بِحَنِيْفِيَّةٍ سَمْحَةٍ ) 

“Agar orang Yahudi tahu bahwa di dalam agama kita terdapat kelonggaran dan bahwa aku diutus membawa agama yang lurus dan toleran.” (HR. Ahmad). 

Kemudian riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. mengizinkan Sayidah Aisyah Ra. menyaksikan orang-orang Habsyi (Ethiopia) saat mereka bermain pedang pada hari raya. 

Maka jelaslah bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia dan tidak menolak sesuatu yang dapat membawa kebahagiaan bagi seseorang dalam hidupnya. Serta dapat dipahami juga dua hari raya yang diberikan Allah Swt. untuk kaum Muslimin (yaitu Idul Fitri dan Idul Adha) merupakan bonus bagi mereka yang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. 


Idul Fitri datang setelah melakukan kewajiban puasa, dan merupakan hak bagi seorang Muslim untuk bergembira karena telah melakukan kewajibannya serta menang atas nafsu syahwatnya selama bulan puasa. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda: 

( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ, وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ ) 

“Seorang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan; bahagia saat berbuka, dan bahagia saat bertemu dengan Tuhannya.” (HR. Bukhari).

Ini menunjukkan adanya kebahagiaan setelah melaksanakan kewajiban dalam perjalanan spiritual —berbentuk puasa— di satu sisi, dan di sisi lain terdapat kebahagiaan atas balasan yang diharapkan dari Allah Swt. 

Adapun hari raya kedua yang diberikan agama Islam bagi kaum Muslimin adalah Idul Adha, yang juga datang setelah menyelesaikan sebuah perjalanan bersifat spiritual dan fisik sekaligus, yaitu perjalanan haji ke Baitullah. Di sini seorang muslim juga berhak untuk merayakan pelaksanaan kewajiban ini dan bergembira karena telah menyelesaikannya. Secara spiritual, seluruh Muslim di dunia turut serta dalam perjalanan ini. Hati dan jiwa mereka rindu ingin melaksanakan perjalanan penuh berkah ini. 

Beberapa di antara perkara penting yang tidak boleh luput dari pikiran kita adalah: Bahwa Islam memulai kedua perayaan ini dengan penyatuan hati dan jiwa umat dalam shalat ‘Ied; dengan penyatuan ini terbentuklah ikatan persaudaraan antar sesama, saling mengucapkan selamat, kemudian berbahagia bersama-sama dengan kaum fakir-miskin dalam suasana hari raya, baik dalam bentuk pemberian sedekah sunnah sebagai pendekatan diri kepada Allah. Di sisi lain, kaum muslimin mengawali perayaan hari raya dengan shalar ‘Ied untuk memperkuat hubungan dengan Allah Swt. 

Sunber foto: Instagram @everydaycairo

Jika Islam membolehkan kaum muslimin bersuka-cita merayakan hari raya dan menunjukkannya melalui perhiasan, kebahagiaan dan hiburan pada batas yang wajar, maka di saat bersamaan tidak diperbolehkan menyimpang kepada hal-hal negatif yang merusak kebahagiaan itu; baik berupa makan secara berlebihan yang menyebabkan masalah pencernaan dan membahayakan kesehatan, atau berupa adat dan kebiasaan yang menyebabkan kesedihan, atau tindakan yang bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam yang lurus dan toleran; yang semuanya bertujuan untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. 


[1] Manusia dan Norma dalam Prespektif Islam, h. 196.
[2] Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Shalah.
[3] Shahih Bukhariy, Kitab Al-'Idain.
[4] Musnad Imam Ahmad.


*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top