Ketika Tuhan Dipertanyakan

Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
consciousastrology.com
Sudah menjadi satu kepastian bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan serta yang mengaturnya. Suatu rumah jika tidak ada pengurus selama 1 bulan saja pasti kondisi rumah itu tidak stabil seperti biasanya, kotor dan tidak terurus. Begitu juga alam semesta yang super luas ini. Tidak mungkin ada dan stabil dengan sendirinya seperti yang dikatakan para penganut materialisme. Pasti ada Pencipta yang Maha Kreatif lagi Maha Perkasa dan itu tak mungkin ada sisi kesamaan dengan ciptaan-ciptaanya, baik itu yang sifatnya hidup apalagi mati. 


Syarat pertama agar tergolong sebagai seorang muslim adalah mengucapkan dua kalimat ikrar sejati, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Saw. adalah utusan-Nya. Singkatnya seorang muslim pastinya harus meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Satu. Ini sudah menjadi maklumat yang semua orang muslim umumnya pasti tahu. Ilmu yang objek pembahasan utamanya berkenaan tentang Tuhan disebut Ilmu Tauhid. 

Dalam Ilmu Tauhid diajarkan berbagai konsep ketuhanan antara lain mengenai sifat, zat, dan af’al-Nya. Kita sebagai muslim hanya dituntut untuk meyakininya saja. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah timbulnya bertubi-tubi pertanyaan mengenai Tuhan itu sendiri. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang terkandung unsur di mana atau apa. Contohnya seperti pertanyaan di mana Allah? Apakah Tuhan sama seperti kita (manusia)? Bagaimana bentuk Tuhan? serta berbagai pertanyaan-pertanyaan filosofis lainnya. 

Dengan timbulnya pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan membuat Ilmu Tauhid yang awalnya mudah menjadi begitu sulit dan rumit. Maka dari situ lahirlah Ilmu Kalam dan lain yang sejenisnya. 

Dulunya konsep ketuhanan adalah pengkonsepsian paling sensitif di dunia bahkan dari internal penganut agama islam sendiri. Imam Ahmad bin Hanbal pernah disiksa oleh kaum muktazilah karena tidak mengakui bahwa Al-Quran (Kalamullah) adalah makhluk yang waktu itu dinamakan dengan peristiwa mihnah. 

Imam Fakhr Ad-Din Ar-Razi dibunuh oleh kaum mujassimah karena telah mengkritik habis-habisan dotkrin konsep ketuhanan mereka dalam kitab Asasu At-Taqdiis. 

Problematika seperti ini patut secepatnya dijawab karena kalau tidak akan membuat persentase kemurtadan sedikit demi sedikit akan menunjukkan angkanya. 

Konsep Ketuhanan 

Pertama yang harus diketahui terlebih dahulu adalah bagaimana konsep pencipta dan ciptaan. Pencipta yaitu Allah Swt. tidak serupa dengan ciptaan-Nya. Sebagaimana dalam Firman-Nya yang mulia “Tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya, Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura :11) dan “Tidak ada satupun yang setara dengan Dia .” (QS. Al-Ikhlas :4).

Adapun ciptaan Allah Swt. membutuhkan beberapa syarat mutlak agar dia itu ada. Salah satu syaratnya adalah membutuhkan ruang dan waktu sebagaimana dalam Teori Relativitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein (di mana ada ruang pasti ada waktu, di mana ada waktu pasti ada ruang). Dan itu sama sekali tidak berlaku kepada Sang Pencipta ruang dan waktu. 

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Allah Swt. tidak membutuhkan tempat. Jika Allah Swt. membutuhkan tempat, maka tempat itu menjadi lebih qidam (lebih dahulu ada) daripada-Nya. Dan jikalau membutuhkan tempat, maka sudah ada sisi kesamaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Itu semua adalah hal yang mustahil bagi Allah. 

Pertanyaan demi pertanyaan terus-menerus dilontarkan. Apakah pertanyaan itu tak perlu dijawab? tentunya harus dijawab secepatnya. Sebagai seorang muslim, kita harus saling menjaga keyakinan bersama bahwa Allah Maha Satu dan Dia tidak ada sisi kesamaan apapun dengan ciptaan-Nya. 

Sebelum pertanyaan-pertanyaan seperti “Di mana Allah?” dan berbagai pertanyaan filosofis lainnya diluncurkan, kita perlu ketahui satu analogi. 

Jika ada yang bertanya kepada Anda apakah api itu dingin? Maka Anda yang mengetahui apa itu api dan apa itu dingin jelas akan bingung dan langsung berpikir bahwasanya yang bertanya itu tidak tahu apa itu api dan tidak tahu apa itu dingin. Begitu juga dengan pertanyaan di mana Allah. Yang bertanya di mana Allah itu sebenarnya tidak tahu bagaimana eksistensi Allah itu bagaimana. 

Sudah diterangkan bahwasanya Allah itu tidak ada sisi kesamaan dengan segala ciptaan-Nya dari segi apapun. Oleh karena itu apakah tidak lucu jika kita bertanya di mana Allah? Pertanyaan ini tidak relevan sama sekali karena pertanyaan “di mana” merupakan bentuk yang menunjukkan tempat atau sesuatu, sedangkan Allah, Maha Pencipta sama sekali tidak membutuhkan makhluk, termasuk tempat. 

Sebuah pertanyaan itu harus ada hubungan dengan apa yang ditanyakan. Seperti pertanyaan apakah api itu panas? maka secara spontan kita menjawab iya, api itu panas, es batu itu dingin. Itu adalah pertanyaan yang ada hubungan atau persepsi dengan yang ditanyakan. 

Ada lagi pertanyaan yang secara logis sudah pasti tidak terjadi seperti apakah Tuhan seperti ini, apakah Tuhan seperti itu dan berbagai pertanyaan yang sejenisnya. Itu semua adalah pertanyaan yang lahir dari bayangan-bayangan yang dihasilkan oleh akal manusia yang sifatnya terbatas. 

Jika akal manusia itu tidak terbatas maka pasti akan ada manusia yang tidak pernah mati karena akal yang mengontrolnya agar jangan mati dan itu sangat-sangat mustahil. Itu hanya diyakini oleh orang yang tidak percaya Tuhan. Bahkan seperti realitanya tidak ada manusia bahkan satu ciptaan pun yang abadi. Yang Maha Abadi hanyalah Allah Swt. 

Maka sudah pasti akal manusia yang terbatas tidak sampai untuk membayangkan bagaimana sesuatu yang tidak terbatas yaitu Tuhan. Allah bersifat Qidam dan Baqa. 

Maka pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan bayangan dari akal manusia sudah pasti tidak terjawab secara filosofis. Maka salah satu kemuliaan islam dan Al-Quran adalah menjawab serta memberi informasi bagaimana eksistensi Tuhan. Apa yang layak manusia ketahui dan apa yang tidak sepatutnya dipertanyakan. 

Dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa Allah Maha Esa, memiliki sifat, zat, dan af’al yang sama sekali tidak ada kesamaan dengan ciptaan-Nya. Dia memilki 99 nama agung (Asmaul Husna). Milik-Nya lah seluruh yang ada di jagad raya ini. Dia yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. 

Sungguh mulia Agama Islam ini, bagaimana islam itu mensucikan Tuhan dari segala bentuk penyerupaan. Semuanya sungguh membuat akal manusia puas kecuali bagi yang tidak suka dengan kebenaran. Konsep Islam dalam mensucikan Tuhan sangat-sangat berbeda dengan konsep ketuhanan yang diyakini agama lain apalagi yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Ini semua adalah tentang kebenaran. Bagi yang tidak suka dengan kebenaran, ia akan membutakan segala hal-hal yang benar. 
Jika ingin kaya akalnya dengan pengetahuan-pengetahuan dasar seperti Ilmu Tauhid yang membahasa eksistensi Tuhan, maka cukuplah merujuk kepada Al-Quran, Hadits, serta maklumat-maklumat yang telah dikumpulkan susah payah oleh para ulama mutakallimin terdahulu seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari ataupun Imam Abu Manshur Al-Mathuridi. 

Maha Suci Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dengan ciptaan-Nya. Maha Suci Tuhan Yang Maha Tunggal. Wallahu a’lam bishshawab.[]

*Mahasiswa tingkat satu Jurusan Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top