Revitalisasi Budaya Literasi di Indonesia
Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
(Image: fluentu.com) |
Dilansir Tirto.id (2017) bahwa minat baca masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dari 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60 terkait dengan minat baca, demikian menurut Duta Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Berdasarkan hasil survei, dinyatakan bahwa saat ini minat baca masyarakat Indonesia sangatlah rendah. Disebabkan minat baca Indonesia kini menduduki peringkat 60 dari 61 negara,” kata presenter Mata Najwa itu di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Jumat (11/8/2017) malam, dikutip dari Antara. Najwa melanjutkan, hasil survei tersebut dari studi “Most Littered Nation In the World 2016”.
Kedatangan Najwa Shihab ke Kupang dalam rangka menggelar “Temu Literasi” yang digagas oleh Lembaga Garda Lamaholot bekerja sama dengan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan.
Kalau dilihat angka-angka dan data lain sering kali memang fakta angka di atas kertas kemampuan membaca anak-anak Indonesia bahkan dibandingkan dengan negara lain seperti ASEAN pun masih sangat jauh,” tutur Najwa.
Najwa lantas membandingkan masyarakat Eropa atau Amerika khususnya anak-anak yang dalam setahun bisa membaca hingga 25-27 persen buku. Selain itu juga ada Negara Jepang yang minat bacanya bisa mencapai 15-18 persen buku per-tahun.
“Sementara di Indonesia jumlahnya hanya mencapai 0,01 persen per tahun,” ujar Najwa.
Tentunya dari data-data tersebut, literasi atau budaya baca-tulis di Indonesia masih menjadi perhatian kita bersama. Setelah dilihat dari data-data diatas, sudah jelas bahwa dari data-data tersebut menunjukkan literasi atau budaya baca-tulis di Indonesia masih menjadi keprihatinan kita bersama. Mengapa kondisi tersebut menimpa masyarakat Indonesia?
Usaha Menghidupkan Kembali Budaya Literasi
Literasi merupakan hal pokok dalam hidup kemanusiaan. Sebagai makhluk spesial yang dikaruniai akal, sudah sepantasnya kita sebagai manusia mensyukuri nikmat tersebut. Salah satu cara yang terbaik untuk mensyukuri nikmat akal adalah mengaktifkan diri untuk gemar membaca dan menulis.
Negara ini tidak hanya dipertahankan dan diperjuangkan dengan kekuatan semata. Budaya literasi juga menjadi satu alasan bahwa negara ini masih tegak berdiri serta bertahan sampai saat ini.
Perlu sama-sama kita sadari bahwa masyarakat saat ini diserang dengan satu prinsip yaitu “suka instan”. Jadi mereka merasa cukup hanya dengan menonton dan mendengar, tanpa membaca apalagi menulis.
Terlebih lagi saat ini merupakan era globalisasi yang menantang masyarakat untuk mengadaptasi diri. Jika terlena dengan prinsip suka instan, berarti dia kalah dalam tantangan globalisasi. Maka dari itu dengan menghilangkan prinsip suka instan, budaya literasi bisa dikatakan akan meningkat.
Sebagai wujud adaptasi, meredam pengaruh-pengaruh budaya global adalah hal yang tepat dilakukan. Diperlukan literasi serta kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya lokal.
Budaya literasi mempunyai dampak yang sangat baik bagi setiap generasi seperti meningkatnya kebiasaan berpikir yang jernih diiringi dengan proses membaca dan menulis. Jika masyarakat merasa cukup dengan menonton dan mendengar, maka daya berpikirnya tidak akan kuat. Proses berpikir yang diiringi dengan baca-tulis juga akan menghasilkan karya yang dapat berguna bagi orang lain.
Usaha untuk menghidupkan budaya literasi yang paling simple akan tetapi susah untuk dimulai adalah dengan meninggalkan hal –hal tidak penting dari televisi dan smartphone sedikit demi sedikit serta perbanyak waktu dengan buku.
Jika anda memiliki dua orang anak, satu tinggal dan belajar di asrama yang tidak ada televisi dan ada larangan menggunakan handphone. Satu anak lagi dibiarkan tinggal dan belajar di rumah bebas menonton televisi dan menggunakan handphone, pasti yang tampak paling fokus dalam menuntut ilmu adalah yang tinggal di asrama disebabkan karena dijauhkan dari hal-hal yang melalaikan dan terlena dengan globalisasi.
Maka seorang yang fokus dalam menuntut ilmu serta dijauhkan dari media globalisasi yang melalaikan akibat baiknya adalah tumbuhnya semangat literasi yang sangat kuat dalam dirinya. Biasanya orang yang sudah banyak membaca, cakrawalanya terbuka sehingga dia akan tidak sabar untuk menuangkan segala ide pokok dan wawasannya dalam sebuah tulisan. Dari hal tersebut menandakan bahwa darah literasi sudah mengalir di seluruh tubuhnya.
Memulai Revitalisasi dari Sekolah-sekolah
Dalam rangka menghidupkan kembali budaya literasi atau baca tulis, guru di sekolah serta orang tua di rumah memiliki peran yang sangat penting. Karena budaya baca tulis paling baik dimulai di saat seorang anak masih menginjak usia sekolahan (SD-SMA atau sekolah sederajat).
Jika orang tua ingin prestasi akademik anak bagus dan memuaskan, maka orang tua harus cermat dalam mengawasi anaknya. Jangan biarkan seorang anak dalam hari-harinya banyak lalai dengan media global dibandingkan waktunya dengan buku. Seorang anak yang terbiasa membaca buku maka ia akan mudah menjadikan membaca itu hobi bahkan kebutuhan primer. Begitu juga sebaliknya, jika seorang anak sudah keenakan dengan hiburan dan media massa, maka membaca buku sama sekali bukan hal yang penting baginya.
Di sekolah, seorang guru jangan hanya memberikan materi sampai-sampai tidak memberi waktu kepada muridnya untuk membaca buku pelajaran. Minimal seorang guru memberikan waktu untuk para murid membaca dengan suara sedang serta didengarkan oleh teman-temannya yang lain. Setelah itu seorang guru bisa bertanya kepada murid-muridnya apa yang dipahami oleh para murid. Cara seperti itu banyak dipraktikkan oleh para guru saat ini karena dapat menumbuhkan potensi berpikir dan berargumentasi siswa.
Orang tua jangan takut uangnya sia-sia hanya karena membeli buku untuk anaknya. Justru orang tua khawatirlah di saat membeli smartphone untuk anaknya yang masih menginjak usia sekolahan, anak-anak saat ini banyak menggunakan alasan ketika dibelikan smartphone, maka smartphone tersebut akan digunakan untuk belajar. Untuk usia yang masih labil, alasan tersebut sangat jarang ditepati. Faktanya media seperti smartphone lebih dominan digunakan untuk hiburan. Maka lebih baik orang tua membelikan buku untuk anak ketimbang membeli barang-barang yang dapat membuat anak terlena seperti smartphone tadi.
Dulu saat masih usia sekolah dasar, saya merupakan orang yang sama sekali tidak berwawasan, daya berpikir lambat dan tidak ada sisi yang dapat diandalkan. Prestasi akademik di bawah rata-rata dan sama sekali tidak memiliki prestasi ekstrakurikuler. Itu semua disebabkan karena kemalasan dan kelalaian pribadi. Sejak saya merasa menderita dengan semua itu, saya memulai dengan sering-sering membaca Al-Quran serta menghafalkannya sedikit demi sedikit pada siang hari, membaca buku-buku yang dibelikan ayah saya pada malam harinya.
Dalam hal membaca buku, memang untuk pertama kalinya banyak kosakata dan pemaparan yang sama sekali tidak dipahami, akan tetapi lama-kelamaan sambil terus bertanya kepada orang tua, akhirnya menjadi paham dan semakin banyak kosakata yang didapatkan. Satu tahun kemudian, tiba-tiba secara tak terlalu disengaja, saya yang awalnya tidak berwawasan, daya berpikir lambat, semua hal-hal seperti itu tergantikan dengan wawasan yang luas dan daya berpikir yang lebih cepat dari sebelumnya. Prestasi akademik naik serta mendapat prestasi-prestasi ekstra lainnya. Itu semua tidak akan diraih kalau masih ada sifat malas dan lalai dengan dunia. Semua akan terasa indah jika dimulai dengan membaca, menulis, dan menuntut ilmu.
Budaya Baca-Tulis, Untuk Masa Depan Bangsa yang Lebih Cerah
Saat ini di Indonesia sendiri ada satu gerakan yang bernama Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diprakarsai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sejak tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Sebagai upaya revitalisasi budaya literasi, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan lokal.
Selain itu pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan menggagas Gerakan “Satu Guru Satu Buku” untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca-tulis.
Semua usaha yang dilakukan oleh pemerintah ini tak lain hanya demi bangkitnya budaya literasi di Indonesia. Dengan bangkitnya literasi di tanah air, masa depan bangsa yang cerah hanya tinggal menunggu waktu saja.
Baca juga: Mahasiswa Kutu Buku
Percayalah bahwa dengan kuatnya budaya literasi di negeri ini, kemajuan bangsa kita juga akan ikut meningkat serta persentase kebahagiaan rakyat akan naik seiring angka literasi terus meningkat.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang berilmu pengetahuan. Bangsa yang sebatas bermimpi untuk maju adalah bangsa yang hanya mementingkan harta dan ketenaran.[]
*Penulis adalah mahasiswa tingkat satu Jurusan Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo.
Posting Komentar