Air Minum


Oleh : Nurmirayani* 

(Image : lazada.co.id)

Pagi ini cerah. Matahari Timur Tengah menyambutku ramah. Musim panas memang selalu menyuguhkan pagi seperti ini. Aku keluar flat memakai sepatu, mengunci pintu dan bersiap-siap melangkah untuk pergi kuliah. 

Tidak lupa aku memasukkan botol minum berwarna biru yang telah kuiisi air dari filter. Kuramal kelas akan sesak dikarenakan jumlah mahasiswa di kampusku yang kian membeludak. 

Benar saja. Sesampainya di kampus pada mata kuliah pertama, aku sudah menghabiskan setengah dari isi botol minumku yang langsing.  Bayangkan saja, aku memiliki tiga mata kuliah hari ini. 

Mata kuliah berganti. Baru beberapa menit berlalu dan aku kehausan lagi. Aku kembali menghabiskan hampir keseluruhan isi botol, kemudian memfokuskan pikiran kepada penjelasan dari dosen. Sampai seorang mahasiswi berkulit hitam, yang kutebak dari Somalia, menyikutku. 

"Kawan, apakah kau memiliki minum?"

Dari keringat yang menetes di keningnya, dia terlihat begitu gerah dan haus. Aku menimbang-nimbang sisa air minum dalam botolku dengan sisa waktu sampai dosen jam kedua ini keluar. Tentu aku akan kehausan juga sebentar lagi. Dan jam istirahat masih lama. Aku memilih untuk tidak memberikannya. Bukan soal warna kulit kawan, betulan, serius bukan.

"Maaf Kawan, minumku tinggal sedikit lagi. Sepertinya aku juga butuh minum."

"Oh ya sudah, tidak apa-apa." Jawabnya tersenyum ramah.

Kurasa kini syaitan tertawa mendengar jawabanku. Tapi masa bodoh karena sebentar lagi pasti aku akan kehausan lagi. Aku sempat melihat raut lelah darinya. Namun karena sedang berada di bawah pengaruh bagian antagonis dari diriku, aku memilih acuh tak acuh. 

Dosen kedua keluar. Tibalah waktu istirahat. Air di botol sudah kutenggak sepenuhnya, tidak ada setetes pun yang tersisa. Bahkan tetes terakhir seperti di iklan susu bendera cokelat pun tak ada. 

Jam ketiga masih ada, dan itu tandanya aku masih membutuhkan air untuk melalui mata kuliah dua jam berikutnya. Setelah menyalin catatan yang sempat tertinggal, aku beranjak dari tempat duduk, berniat untuk membeli sebotol sedang air mineral. Padahal salah satu alasan membawa botol air dari rumah supaya aku tidak perlu jajan di kantin yang harga perbarangnya lebih mahal daripada harga di kios-kios biasa. Tapi mengingat tidak akan bertahan menghadapi pelajaran ke depan, aku mengalah. 

Sampai di kantin, aku mengambil satu botol air mineral dari lemari pendingin. Suasana kantin juga tak kalah berdesak-desakan dengan suasana kelasku. Cepat-cepat aku mendekati kasir. 

"Permisi, berapa harga ini?"

"Lima Pound," katanya. Benarkan seperti yang aku bilang, harga di sini hampir dua kali lipat dari tempat lain.

Aku sempat mengomel sendiri sebelum merogoh tas untuk mengambil uang. Kucoba mengingat, dan sepertinya aku sedang ditimpa sial. Dompetku hilang! Penjaga kasir terlihat sudah tidak sabar menungguku mengambil uang. 

"Ada uang atau tidak? Cepat bayar, orang lain juga ngantri." Sang penjaga kantin mulai membentak-bentak. 

"Dompet saya hilang." Jawabku memelas.

"Kalo tidak punya uang tidak usah beli, sudah mendingan kamu pergi. Masih banyak yang harus saya layani." Jleb, tambah pedas aja si penjaga kantin.

Kulihat para pengantri budiman di belakangku menatap dengan berbagai ekspresi. Ada yang cekikikan, ada yang geleng-geleng kepala, dan ada yang melihat dengan iba. Tapi diantara itu semua, lebih banyak yang tertawa meremehkan. Aku semakin yakin nasibku memang lagi sial. Dengan terpaksa kuletakkan kembali botol mineral tadi, dan melangkah meninggalkan kantin dengan buru-buru. Rasanya pengen ditelan bumi saja. 

Aku kembali ke kelas berniat meminjam uang teman yang kukenal, tapi sial tetaplah sial. Dosen jam pelajaran ke tiga sudah masuk. Horornya lagi tidak berlaku izin untuk keluar kelas pada jam pelajaran beliau.

Terpaksa aku duduk lesu di bangku yang tadi kutinggalkan. Kutoleh ke kiriku. Ternyata masih orang yang sama. Mahasiswi berkulit hitam yang tadi kuzalimi. Dia melemparkan senyum padaku. Aku membalasnya kikuk, mengingat kekejamanku yang tega membiarkannya kehausan tadi. Aku bertanya-tanya mengapa dia bahkan masih memberiku senyum. 


Satu jam sudah berlalu, dan selama itu aku sudah menahan hausku. Air tidak ada. Kulirik kanan, tidak ada satupun yang kukenal. Kulihat kedepan, mereka semua sedang fokus mencatat dan mendengarkan. Kutoleh ke belakang, tak ada satupun juga yang kukenali. Akhirnya dengan terpaksa kutoleh kembali ke kiri, tepatnya kepada botol air mineral besar yang terletak di hadapan si mahasiswi Somalia tadi. Ternyata dia juga sedang melihatku, aku tertangkap basah. Buru-buru kualihkan pandangan dari airnya. 

"Kau terlihat gelisah, ada apa kawan?" Dia kebingungan melihat gelagatku. 

"Eh... Anu, tidak apa-apa." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. 

"Kelihatannya kau haus, minumlah."

Aku menolak, tentu saja. Aku begitu malu karena telah membiarkannya haus, namun dia malah menawarkan minumnya kepadaku. 

"Tidak, tidak apa-apa."

"Minumlah, keringatmu bercucuran."

Akhirnya setelah dipaksa-paksa, aku meneguk air yang disodorkannya berkali-kali. Aku merutuki diri sendiri dan merutuki perilaku yang tak terpuji. Rasanya ingin menertawakan diri sendiri yang begitu takut kehausan sampai tak mau berbagi. 

Setelah kuliah usai, aku mengulurkan tanganku padanya. 

"Saya Zainab, terimakasih sudah memberikan saya minum."

"Saya Nashrah, senang bertemu denganmu kawan, sudahlah bukan apa-apa." Jawabannya semakin membuatku malu. 

"Maaf atas kelakuanku. Kenapa kau masih mau memberiku minum padahal jelas-jelas aku telah membiarkanmu haus sebelumnya?"

"Kalau aku juga bersikap sama lalu apa yang membedakan kita?" Kini aku benar-benar merasa bersalah. 

"Ya sudah, kalo begitu aku harus pergi, Assalamulaikum." 

"Waalaikumussalam..."

Setelah dia berlalu, aku tersenyum. Lebih tepatnya menertawakan hal memalukan yang kulakukan hari ini. Pelajaran untukku, mungkin juga buat kamu yang membaca ceritaku. Hal memalukan seperti itu jangan sampai menimpamu juga. Mari berbagi. Happiness never decrease by being shared.[]



*Penulis adalah mahasiswi jurusan Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar. 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top