Al-Quran dan Pesona Sebait Rasa Cinta.


Oleh: Zaky Mubarrak, Lc*
Suasana Markaz Tahfizh Al-Quran dengan Syeikh Abdul Qadir al-Djiboti. (Foto: Dok. KMA Mesir)


Siapa sih yang tidak ingin menjadi hafiz Al-Quran di usia muda. Saya, anda dan kita semua memiliki cita-cita yang sama. Toh, ini keinginan dan posisi yang sangat mulia. Ditambah semangat api bagi kita semua di usia yang masih seumur jagung ini. 

Namun terkadang, itu semua terhenti dan tak bisa tercapai hanya karena faktor-faktor kecil yang sebenarnya bisa dilewati dengan mudah. Contoh rasa cepat bosan misalnya, tak sabaran, atau juga tersendat karena dihijab oleh kegiatan yang tidak penting. 

So, kenapa hal-hal yang demikian itu bisa terjadi? 

Yang harus kita ketahui, penyebab mendasar bagi seorang penghafal Al-Quran adalah terburu-buru ingin menyelesaikan hafalannya dengan usaha yang tak seirama. Seperti pepatah Aceh; “U Bek beukah, kuah beu leumak” (Ingin kuahnya lezat, namun santan tak punya). Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan hasrat bagi penghafal Al-Quran dengan minim usaha. 

Makanya di zaman sekarang banyak dari kita sibuk mencari metode cepat menghafal Al-Quran. Yang hasilnya ia hanya menghafal metode saja, namun tidak dengan hafalan Al-Qurannya. Padahal kunci utama untuk bisa menjadi seorang penghafal Al-Quran adalah cinta pada Al-quran itu sendiri. Masak iya, cinta tapi durasinya dipercepat tak karuan. 

Kita dan Al-Quran itu ibarat sepasang kekasih. Saling memahami dan memberi rasa. Dia tahu kita dan kitapun tahu akan dirinya. Dan akhirnya muncullah cinta yang menjelma menjadi sebait rasa hingga memberi asa pada satu sama lain. 

Dalam merasa, cinta merupakan modal utama dalam menjalin hubungan, namun itu saja sebenarnya tak cukup. Perlu adanya semangat yang terarah dan waktu yang teratur. Umpamanya sebuah kompor, yang sebesar apapun api jika kualinya tak diletakkan di atasnya maka gulai tak akan matang juga. 

Juga perlu disadari bahwa menghafal Al-Quran dan melancarkan hafalannya sebenarnya bukanlah tujuan dari seorang hafiz Al-quran itu sendiri. Tapi itu semua adalah wasilah agar kita bisa hidup dan bernafas dengan Al-Quran. 

Tapi, jangan diambil pusing ketika hafalan tak lancar. Terus ulang dan buat jadwal rutin, biasakan diri dengan jadwal di bawah bimbingan seorang mursyid dan guru. Insya Allah istiqmah itu akan datang dengan sendirinya. karena istiqamah adalah bagian lain dari kebiasaan. 

Jika ditilik lebih dekat, menghafal Al-Quran sebenarnya bagian dari proses berkembangnya manusia dari dari lahir, terus merangkak, berjalan, baru kemudian ia mampu berlari. Maka nikmatilah proses sebuah proses PDKT dengan Al-Quran. 

Secara umum ada tiga fase dalam mempelajari Al-Quran: 
1. Qiraah 
2. Tartil 
3. Tilawah. 

Jenjang Qiraah adalah jenjang awal di mana sang hafiz mengumpulkan huruf demi huruf untuk dingat. Dan ini sesuai dengan makna dasar qiraah itu sendiri yaitu jam'a atau mengumpulkan. Masa inilah kita perlu berguru dan penuh kesabaran. 

Di jenjang selanjutnya ada tartil, di mana seorang hafiz mulai mencoba dengan menghaluskan hafalannya baik dan benar sesuai kaedah tajwid. Dan sayangnya di masa ini bnyak yang merasa sudah cukup dan berhenti terlalu dini. 

Sedang di bagian akhir ada yang namanya tilawah. Di jenjang ini sang hafiz mulai mencapai maqam atau posisi tadabbur dalam membaca Al-Quran, mengkaji makna dan menghayatinya. 

Jadi, siapapun yang sabar melewati tahapan ini semua insya Allah sampailah ia pada maqam sang Hamil Al-Quran sejati. Yang perkataanya adalah Al-Quran, langkahnya Al-Furqan, dan hidupya bagaikan Al-Zikr. 

*Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Tafsir, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top