Mengenal Penyair Hebat Pra-Islam Zuhair bin Abi Sulma (Bagian 1)

Oleh: Nada Thursina*
(Image: nojomy.com)
Pada masa Arab Jahiliy, peperangan merupakan sebuah hobi. Perang sudah menjadi sebuah kesibukan, bahkan profesi sehari-hari. Siangnya berperang, lalu malamnya mereka mabuk-mabukkan. Sementara di sisi lain, batin Zuhair memberontak. Itulah yang membuat dirinya istimewa, sehingga isi mu’allaqat Zuhair abadi dan merupakan salah satu penyair Arab Jahiliy yang syair-syairnya digantung di dalam Kakbah. 

Zuhair bernama lengkap Zuhair bin Abi Sulma Rabi’ah bin Rayyah Al-Muzani. Ia berasal dari kabilah Muzinah dari Mudhar. Namun, Zuhair hidup dan besar di Bani Gathfan. Menurut riwayat, ia besarnya di Bani Gathfan, karena ketika itu terjadi konflik antara Zuhair dan kaumnya. Bani Gathfan, berdomisili di Haajir, wilayah tersebut sekarang masih berada dalam kawasan Najd (Saudi Arabia daerah utara). 



Dapat kita simpulkan bahwa Zuhair bernasab Muzniy, sedangkan ia tumbuh dan besar di Bani Gathfan. Ka’ab yang merupakan anak kandung Zuhair selalu mengklaim dirinya berasal dari Bani Gathfan, karena memang bapaknya tumbuh dan besar di sana. Sempat terjadinya perbedaan pendapat tentang asal nasab Zuhair, tapi kedua asalnya tersebut dapat dikatakan sah.


Menurut riwayat, ayah Zuhair, Rabi’ah, juga merupakan seorang penyair, tapi tidak berumur panjang. Sepeninggal ayahnya, ibu Zuhair menikah lagi dengan Aus bin Hajar yang juga merupakan seorang penyair terkenal dari Tamim. Semenjak kecil, ia sudah diasuh oleh pamannya Bassyamah bin Ghadir, yang juga merupakan seorang penyair. Kedua saudaranya, Salma dan Khansa’ juga merupakan penyair. 

Singkat cerita, Zuhair itu dari segala sisi nasab keluarga, semuanya merupakan penyair. Bapak tirinya penyair, bapak kandungnya penyair, kedua saudarinya penyair, pamannya penyair, kedua anaknya: Bujair ibn Zuhair dan Ka’ab ibn Zuhair (pengarang qasidah burdah untuk Nabi Muhammad selain dari pada Imam Bushiri) juga penyair. Menurut para ahli sastra, qasidah burdah milik Ka’ab merupakan pujian terindah kepada Nabi Muhammad Saw. sepanjang masa. Qasidah burdah tersebut merupakan bentuk permintaan maafnya atas celaan yang ia tujukan pada Rasulullah Saw. sebelum dirinya beriman kepada agama Islam. 

Kemudian, cucunya Aqaba ibn Ka’ab, yang lebih dikenal dengan sebutan Midrak juga merupakan seorang penyair pada zaman Umawi. Anak dari cucunya, Awam bin Midrak juga dikenal sebagai penyair. Sehingga dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa lima generasi dari satu garis keturunan semuanya merupakan penyair. Perlu diketahui, belum ada generasi penyair pada zaman Jahiliy yang memiliki garis keturunan penyair seperti yang dimilki Zuhair. Sedang pada zaman Islam akan kita temukan Jarir yang dikenal memiliki garis nasab kepenyairan yang sama seperti yang dimilki oleh Zuhair. 

Ibn Qutaibah pada suatu ketika pernah berkata: 

إنه لم يتصل الشعر فى ولد أحد من الفحول فى الجاهلية ما اتصل فى ولد زهيرز, وفى الإسلام ما اتصل فى ولد جرير 

Artinya: Sesungguhnya belum ada satu orang penyair pun di zaman Jahiliyah yang dianugerahkan garis keturunan kepenyairan seperti yang dimiliki Zuhair. Sama halnya pada zaman Islam, yang telah dianugerahkan kepada Jarir. 

Kemampuan bersyair Zuhair, berasal dari banyak faktor. Namun, di antara faktor yang paling mendukung adalah nasab dan lingkungan yang membuatnya kemudian mampu menazamkan syair. Faktor lingkungan dan nasab tersebutlah, akhirnya membentuk mauhibah dan kapasitas Zuhair dalam penyusunan syair, yang ia rasa dalam dirinya sendiri semakin hari kian menunjukkan sisi kemajuan. Jika kita cermati, tidak ada kesempatan bagi orang lain untuk mencapai apa yang telah yang dicapai Zuhair. 

Nabighah misalnya, sama sekali tidak mewariskan bakatnya dari siapa pun dan tidak pula mewarisi bakat tersebut ke siapa pun. Walaupun begitu, Nabighah juga sempat belajar di Madrasah Zuhair, dalam artian keahlian Nabighah dalam bersyair ia dapatkan setelah ia benar-benar menekuni bidang tersebut, bukan atas dasar bawaan dari keluarga. 

Zuhair merupakan rawi dari Aus bin Hajar yang merupakan Bapak tirinya. Aus dikenal sebagai orang yang sangat detail, teliti, dan bagus dalam merangkai kata. Tentunya, untuk dapat menilai dan mengetahui kualitas dari kelima generasi ini dalam bersyair, sudah pasti kita akan melihat pada induknya terlebih dahulu, yang dalam hal ini, adalah Aus bin Hajar yang sangat amat telaten dan tak diragukan lagi kemampuannya dalam bersyair. 

Ditambah lagi Zuhair mempelajari ilmu tata karma dan adab dari pamannya Bassyamah, yang merupakan salah seorang dari pembesar Gathfan. Dan tidak kita pungkiri, Zuhair merupakan orang yang sangat terdidik dari segi isi bait syairnya. 

Pada masa hidupnya, Zuhair pernah ikut dalam peperangan Dahisy dan Ghabara’. Peperangan ini terjadi antara dua qabilah: Abbas dan Zubyan. Perang ini sudah berlangsung selama ratusan tahun, hingga beberapa generasi terus terlibat dalam peperangan sengit ini. Saking lamanya peperangan itu berlangsung, sampai-sampai generasi akhir yang berperang pada saat itu, tidak mengetahui sebab asal muasal terjadinya peperangan yang sudah dilakukan turun temurun sejak nenek moyang mereka tersebut. Pada saat itu, yang mereka ketahui adalah, perang sudah menjadi adat istiadat zaman Jahiliy, sehingga siapa pun yang lahir dan hidup di masa itu, wajib untuk turut serta dalam berperang. 

Oleh sebab itu, mayoritas syair Zuhair menggambarkan tentang gejolak yang terjadi dalam peperangan Abbas dan Zubyan, serta seluruh kehancuran dan kerugian yang disebabkan oleh peperangan tersebut. Di dalam bait syairnya tersebut, ia menyerukan akan perdamaian. Dengan tujuan sebagai doa, bahwa perdamaian suatu saat akan digapai oleh kedua kabilah tersebut. 

Pada masa Arab Jahiliy, peperangan merupakan sebuah hobi. Perang sudah menjadi sebuah kesibukan, bahkan profesi sehari-hari. Siangnya mereka berperang, lalu malamnya mabuk-mabukkan. Sementara di sisi lain, batin Zuhair memberontak. Itulah yang membuat dirinya istimewa, sehingga isi mu’allaqat Zuhair menjadi abadi dan merupakan salah satu penyair Arab Jahiliy yang digantung syair-syairnya di dalam Kakbah. 

Dalam kasidah yang nanti akan kita sertakan di bagian kedua, Zuhair mengkhususkan kasidahnya untuk Haram ibn Sinan, dan Haris Ibn Khauf. Namun, titik fokusnya lebih kepada Haram ibn sinan. Kedua orang inilah yang berhasil mewujudkan perdamaian antara kabilah Abbas dan Zubyan, perang warisan yang tidak diketahui lagi penyebab peperangannya.

Perdamaian tersebut terwujud dengan cara membayar diyat korban peperangan. Menurut riwayat, mengapa hal tersebut dapat dipuji? Pada masa itu, bukan sembarangan orang dapat mengerjakan hal yang dikerjakan oleh mereka berdua. Membayar diyat peperangan pada saat itu, bukanlah suatu hal yang biasa, karena jumlah yang harus dibayarkan sangat besar sekali. 

Jumlah diyat yang harus dibayarkan pada saat itu mencapai kepada tiga ribu ba’ir. Dan pada zaman tersebut tidak ada yang mampu membayarkan angka yang disebutkan tersebut selain dari mereka berdua. Akhirnya guna mewujudkan perdamaian tersebut, mereka berdua melunaskan diyat tersebut dalam kurun waktu 3 tahun. Setelah lunas dibayarkan, kedua kabilah tadi pun akhirnya berdamai untuk selama-lamanya. Setelah selama beratus-ratus tahun lamanya berperang tak henti-henti. 

Oleh karena hal tersebutlah, akhirnya Zuhair berinisiatif memadahkan Haram bin Sinan. Di tinggi-tinggikan derajat Haram dan selalu disebutkan dalam syairnya. Maka Haram ketika mendengarkan madah Zuhair yang ditujukan terhadapnya, Haram langsung memberikan imbalan dalam bentuk uang maupun harta. Uang atau harta akan habis, tai apa yang dihadiahkan Zuhair kepada Haram tidak akan lekang sama sekali oleh zaman. Bahkan, sudah hampir dua ribu abad tahun lamanya masih menjadi kajian para pengkaji sastra. Madah itu abadi sampai saat ini. 



Diriwayatkan oleh anaknya Haram ibn Sinan, bahwa Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah suatu ketika berjumpa dengan dirinya dan berkata: 

“Nasyidkan kepadaku wahai anaknya Haram, syair-syair milik Zuhair yang ditujukan untuk bapakmu,” pinta Umar. 

Memang sudah menjadi tabiat dan kebiasaannya orang Arab senang mendengarkan syair. Sampai Nabi Muhammad Saw. sendiri juga sangat senang mendengarkan syair, walau beliau sama sekali tidak pandai mengarang syair. 

Memang benar dalam Al-Quran dalam surah Yasin: 69, telah dikatakan bahwa, “Wa maa ‘allamnaahus syi’ra wamaa yanbagi lah.” yang artinya: “Kami sama sekali tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad), dan bersyair itu tidaklah pantas baginya.” 

Walaupun demikian, tabiat tetaplah tabiat. Sudah merupakan tabiat manusia untuk senang mendengar kalam yang indah. Sehingga pada saat itu Nabi Muhammad suka, dan Sayyidina Umar pun juga suka. Ibarat kita zaman sekarang senang mendengar lagu ini maupun lagu itu, begitu pun hal tersebut juga telah terjadi terlebih dahulu di zaman jahiliyah. 

Kemudian setelah anaknya Haram mendendangkan syair miliki Zuhair di hadapan Umar, Umar pun kemudian berkata : 

“Apa yang diciptakan Zuhair untuk Haram sungguh amat indah sekali.” 

“Kami juga sudah membalas Zuhair dengan pemberian yang sangat amat besar,” timpal anak Haram. 

“Yang kalian berikan pada Zuhair akan habis, tapi apa yang telah diberikan Zuhair kepada Kalian, sungguh tak akan lekang oleh zaman,” ucap Umar.

(Ilustrasi Zuhair bin Abi Sulma: mawdoo3.com)
Zuhair sangat dikenal sebagai orang yang sangat memperhatikan syairnya. Ia dikenal bukan sebagai seseorang yang tilqaiyyah (spontanitas) dalam mengeluarkan syair. Lain halnya seperti nanti pada zaman setelah datangnya Islam lebih tepatnya pada masa Umawi. Akan kita ketahui bahwa ada Jarir, Farasdaq, dan Akhtal yang ketiga-tiga orang ini semuanya adalah jenis orang yang sangat spontan dalam mengeluarkan syair. Sebelumnya sama sekali belum ada persiapan atau apa, tapi syairnya keluar secara spontanitas. Dan bak magis; langsung bagus tanpa cacat. Itu tentunya butuh tingkat kecerdasan yang sangat tinggi. 

Ya, mereka bertiga sangat berbeda dengan madrasahnya Zuhair yang benar-benar membutuhkan waktu yang lumayan untuk mengeluarkan sebuah syair. Sehingga Zuhair sendiri, masyhur dengan sebutan shahibul hauliyat. Artinya ia mengeluarkan syair jarang-jarang, bahkan bisa memakan waktu sampai satu tahun. Akan tetapi hal ini benar-benar worth it, sekali launching album, syair-syairnya tersebut langsung menjadi masterpiece. Ini disebabkan karena ia sudah beberapa kali melalui proses tankih dan tahzib terlebih dahulu. Difilter, diteliti dahulu. Jika ada yang tidak cocok dibuang, dan ditambah dengan yang lebih bagus. Intinya Sudah dirapikan terlebih dahulu sebelum dikeluarkan. 

Cara tersebut, kemudian  juga menurun ke anaknya. Ka’ab seperti itu, Bujair juga seperti itu. Jarang sekali ada penyair yang memiliki tipikal seperti mereka ini. Ini bukan merupakan sebuah cacat, maupun aib. Namun, dapat dikatakan itu merupakan sebuah karakter maupun ciri khas, karena kenyataannya, mereka sangat menikmati proses yang mereka habiskan selama lebih kurang setahun tersebut. 

Kemudian, jika kita ingin membandingkan dan menilai dari segi sisi kandungan syairnya, kita akan melihat Zuhair ini adalah orang yang selalu membubuhkan kalam hikmah di dalam syairnya. Sebutlah misalkan Imru’ Al Qais yang juga telah kita bahas di artikel sebelumnya. Bahwa dapat tergambar jelas dari bait-bait syairnya, kalau ia merupakan tipe orang yang menikmati kehidupan dengan hanya berfoya-foya dan terbelenggu oleh semua syahwatnya. 

Sedangkan ‘Antarah dari bait syairnya dapat kita temukan ada sisi mental pemberani dan ahli perang yang kuat. Di sisi lain, Tharfah dengan bait syairnya dapat kita ketahui bahwa ia adalah orang yang gampang sekali bimbang dan pesimistis dalam kehidupannya. 

Sungguh dari syair Jahiliy saja, kita dapat melihat  contoh-contoh cara hidup dan adat istiadat orang di zaman Jahiliyah. Dan kita katakana bahwa Zuhair merupakan bentuk representasi sisi lain dari kehidupaan zaman Jahiliyyah. Dia adalah orang yang sangat qanaah, dan sangat bijaksana dalam menjalani kehidupan. Tidak sama sekali syahwatnya dapat memalingkan dirinya dari jalan hidup yang lurus. Dan tidak ada hal yang dapat membuatnya galau atau kebingungan dalam kehidupannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Zuhair merupakan seorang tokoh ideal pada zaman tersebut. 

Diwanul arab itu adalah syair Jahiliy. Jika kita ingin mengetahui kehidupan zaman Jahiliyyah maka cara simple-nya adalah rujuklah ke syair Jahiliy. Karena di sana lengkap semuanya: sifat orang seperti apa, lingkungan orang bagaimana, kehidupan badui seperti apa, dan sebagainya.

Zuhair sama sekali berbeda dengan yang lain. Ia sama sekali tidak pernah terfitnah dengan perempuan, dan ia sama sekali tidak menceritakan kisah cintanya dengan perempuan dalam bait syairnya. Jika pun ada, dalam matla’ muqaddimah qasidahnya yang mengisahkan tentang perempuan, menurut banyak qaul, itu hanyalah sebatas kebiasaan maupun adat yang sering dilakukan para penyair Jahiliy zaman dahulu. Yaitu mengawali kasidahnya dengan mengingat puing-puing bekas tempat tinggal sang kekasih. Dan jika pun ada ia menyebut nama sang kekasih seperti Asma’ dan sebagainya, banyak riwayat menyebutkan bahwa nama-nama tersebut bukanlah suatu hal nyata, dan bisa jadi hanya halusinasi. 

Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa banyak penyair-penyair Arab yang memakai nama seperti Layla, Asma’, Unaizah, dan sebagainya dalam syair-syair mereka. Padahal nama-nama tersebut, setelah dikaji ulang oleh para kritikus, hanyalah sebuah nama samaran. Bahkan, diketahui setelahnya bahwa kisah cinta yang mereka gambarkan tersebut hanyalah bentuk khayalan semata. Hal ini tentunya sagat berbeda dengan Zuhair. Dalam tabiatnya, ia cenderung mnegeluarkan hikmah, nasehat tentang kewajiban berakhlak karimah, dan sebagainya. Itulah yang ia coba ajarkan dan syiarkan kepada manusia melalui syairnya.[]

Baca juga: Keimanan Zuhair bin Abi Sulma kepada Allah dan Madah Syairnya terhadap Haram bin Sinan (Bagian 2)

*Penulis adalah mahasiswi Al-Azhar Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Artikel di atas disarikan dari kitab “Nusus Adab Jahiliy Fil Asri Jahiliy” yang merupakan diktat kuliah Jurusab Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top