Aku Pamit
Oleh : Rahmiatul Aini*
![]() |
(Image Source : Google) |
Ombak di hadapanku membisu, burung-burung berhenti berkicau, teriakan para penjaja makanan juga tidak lagi terdengar. Sepasang sejoli di hadapanku pun memutuskan untuk berhenti bercengkerama, sunyi. Seluruh jagad raya serentak mendiamkanku. Yang tersisa hanya angin, yang dengan kejam telah merampas bahagiaku. Sepucuk surat tergeletak di pangkuan, membisikkan kepadaku arti kehilangan. Namaku Afkar, umurku 9 tahun, dan ini air mata kehilangan pertama yang aku teteskan.
“Kenapa kamu menangis?”
Sebuah suara mengembalikanku ke tepian pantai.
Aku menoleh, ku
persembahkan sebuah senyum manis kepadanya. Ya karena aku memang sudah manis
dari lahir, kenyataan hidup saja yang terkadang pahit.
“Perkenalkan, namaku
Lukman,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
“Namaku Afkar.”
Hari ini, aku sungguh
sangat berterima kasih kepada semesta. Tanpa uluran tangannya, aku tidak yakin
masih bisa berdiri tegak, mulai hari ini ia menjadi sahabatku. Bersepeda
bersama sepulang sekolah, main petak umpet, dimarahi Pak Guru, berlarian di
sekeliling rumah tetangga. Terlalu banyak kisah yang sedikit demi sedikit
menghilangkan kesah yang pernah membuatku resah.
Pantai ini menjadi tempat
favorit kami bertemu. Menjadi saksi dari kisah-kisah sial yang menimpa kami di
sekolah, tak ada lagi tangis. Sekeras apapun hidup, kami siap untuk
menghadapinya. Selama tangan kami masih saling bertautan, memori kehilangan
sore itu tidak pernah pergi dari mimpiku. Tapi ketika sinar matahari menyelinap
masuk melalui jendela rumahku yang sepi, segala mimpi buruk itu sempurna sirna.
Setidaknya aku masih memiliki teman berbagi tawa, semoga takdir tidak
mempermainkan kami, bisikku lirih.
***
“Kamu dapat angka
berapa kali ini”?
“Seperti biasa, 23.” Ujarku
sambil tertawa.
23, angka yang selalu
bertengger di rapor kenaikan kelasku. Bukan karena aku terlalu bodoh, aku hanya
terlalu pintar untuk berebutan angka 1 dengan teman-teman yang lain.
Hanya saja aku tidak pandai mencari perhatian. Tidak ada bolu gulung cokelat
buatan Ibu yang manisnya bisa mengubah angka-angka di rapor menjadi ikutan
manis dipandang mata.
Hari ini, angka 23 terakhir
yang aku dapatkan, bertepatan dengan umurku yang beranjak 11 tahun. Dua tahun
sudah semenjak Ibu pergi meninggalkanku. Di tepian pantai yang sama, aku
termenung. Seragam merah putihku diterbangkan angin, bersamaan dengan pesan
yang aku titipkan kepada burung-burung yang sore itu sempat berhenti
berkicau.
Apa kabar Ibu? Semoga
semesta menepati janjinya, agar selalu mengirimkan bahagia di kehidupan Ibu.
Sejauh apapun jarak memisahkan kami, aku yakin, suatu hari akan ada temu.
“Lukman, besok aku
berangkat ke ibu kota, doakan aku ya Bro.”
“Doaku selalu menyertaimu.
Semoga sekolahmu lancar kar!” Ujar Lukman sambil menepuk bahuku pelan.
Desa ini ternyata masih
mengukungku dalam kotak musik bernada sendu. Dapur yang sepi dari aroma terasi
dan ikan asin seakan mengejek kesendirianku. Pagi yang tenang tanpa teriakan,
malam yang sunyi tanpa tangisan. Kuingat-ingat kembali alasan yang membawa
Ibuku pergi. Bingkai foto yang sering didekapnya ketika tidur. Wajah lesu yang
membingkai wajahnya saban hari, langkahnya yang gontai, bibirnya yang pucat,
seakan tak punya semangat hidup.
Semua itu bermula dari sebuah
ketokan keras di pintu rumah kami yang sederhana. Pak Mae namanya, seorang
penjual ikan di pasar Matang. Setiap jam 3 pagi, ia ke laut menanti para
nelayan membawa ikan-ikan segar. Hari itu, sampai menjelang azan subuh ia
menunggu. Tak ada tanda-tanda kapal nelayan berlayar mendekat. Hujan turun
sangat deras. Entah apa yang menyebabkan penantian Pak Mae kali ini, disambut
angin hampa. Aku masih terlelap dalam tidurku, sedang Ibu sedang sibuk merayu
Tuhan dalam sujudnya. Bersamaan dengan azan subuh yang dikumandangkan Teungku
Imuem[1] di
desaku, Pak Mae pun datang dengan sebuah kabar.
“Bu Halimah, Teungku
Saleh ka geutinggai geutanyoe,[2]” singkat padat jelas kabar
yang dibawa Pak Mae. Bagai disambar petir seketika hati ibu hangus tak bersisa.
Ayah pergi? Apakah itu nyata? Aku yang sudah terbangun mencuri dengar
kabar itu. Aku tidak menangis, karna aku sudah berjanji pada Ayah untuk tidak
menangisinya jika suatu hari nanti ia pergi. Dan hari itu telah tiba, aku
menepati janjiku. Kuangkat ibu yang terduduk lemas di ambang pintu, kupapah ia
ke kursi rotan di ruang tengah rumah kami. Semenjak hari itu, tidak ada lagi
senyum di wajah manis Ibu.
Esok hari, matahari masih
tetap bersinar, tak peduli ada wajah yang tidak ingin disinarinya lagi. Susah
payah matahari merayu, wajah Ibu tetap saja setia pada kelabunya. Isak tangis
menjadi melodi malam yang menemani tidur tak lelapku. Teriakan depresi
membangunkanku kala pagi menjelang, sampai di satu titik Ibu menyerah. Akhirnya
ia pun memilih pergi, menantang matahari, walau sudah berkali-kali diperintah
untuk berhenti bersinar, tetap saja ia bebal. Maka Ibu memutuskan untuk
menemuinya, berbicara empat mata, meninggalkanku dengan sepucuk surat merah
jambu, seakan mengatakan bahwa ia masih mencintaiku.
Hari
itu aku menangis, menerobos ego kelaki-lakianku. Di saat aku merasa bahwa
hidupku telah berakhir, Lukman datang menawarkan masa depan dengan senyum polos
dan sorot mata penuh keyakinan. Kuterima uluran tangannya, kucoba tepis awan mendung
di kedua bola mataku. Ia telah menyelamatkanku, mengajakku berlari bersamanya. Meninggalkan
jejak-jejak kehilangan yang membelenggu langkahku.
Namun hari ini aku merasa
lelah, kakiku sudah enggan kuajak berlari. Bayang-banyang kehilangan itu masih
terus mengejarku, maka aku memutuskan untuk meninggalkan lapangan berlari ini. Terbang
melewati gunung seulawah, mungkin dibalik gunung sana aku akan menemui dunia
baru.
Hari ini aku pun menyerah,
seperti Ibu, aku memilih untuk pergi. Kembali kubuka amplop merah jambu yang
selama ini menemani hari-hariku, sepotong hati yang ditinggalkan ibu untukku.
Sayang, Ibu pamit
Percayalah aku mencintaimu…
***
Lantunan ayat suci alquran
mengalun merdu dari balik tirai biru itu. Bergetar hatiku dibuatnya. Kantuk
yang kerap menghampiri pun seketika sirna, tak kupedulikan lagi huruf-huruf
hijaiyah di lembaran mushafku, konsentrasiku telah terbang bersama dengan lekukan-lekukan
nada yang mengudara. Sengaja aku duduk di barisan paling belakang, agar bisa
kucuri dengar bacaan qurannya yang selalu duduk di shaf paling depan para
santriwati.
Allahumarhamna bil
quran, waj’alhu lanaa imaaman wa nuuran wa huudan warahmah...
Seketika seluruh santri
serempak mengalunkan doa rutin pertanda waktu membaca alquran telah usai. Ah,
mereka menenggelamkan suara bidadariku, dan sekarang telingaku harus
bersiap-siap menikmati suara cempreng akhi-akhi[3] bahasa yang meneriakkan mufaradat-mufradat[4]
Bahasa Arab yang harus kuhafal setiap harinya, menyebalkan sekali.
Al-Manar, sebuah pondok
pesantren di desa Lampermai. Pondok ini memberikan kesempatan belajar gratis
bagi anak yatim sepertiku. Enam tahun lalu, Pak Leman -ayahnya Lukman-
menawarkanku untuk melanjutkan sekolah di pondok pesantren ini. Meninggalkan
kampung halaman mungkin akan membuat perasaanku lebih baik.
Di sini banyak kutemukan
pengalaman baru, awalnya aku terkejut dengan segala rutinitas di sini. Tak
pernah aku diatur dengan peraturan yang sedemikian rupa. Bangun subuh
diteriakin, “wahid, itsnani, tsalatsah...”[5], jika
hitungan sudah sampai 5 dan aku belum juga keluar dari kamar, sudah pasti
telingaku akan dijewer oleh akhi-akhi ubudiyah, begitu kami sebut
abang-abang senior yang bertugas menertibkan bagian ibadah. Mulai dari
membangunkan tidur, mengontrol para santri di masjid, menghukum yang masbuk,
memarahi yang berbicara di masjid dan sebagainya. Tak jarang aku mendapatkan
hukuman, begitulah manusia tidak selalu bisa menaati peraturan.
Hari-hari kulewati tanpa mimpi
buruk lagi. Mana sempat kupikirkan mimpi-mimpi itu, kegiatan yang begitu padat
mulai dari bangun tidur sampai jam malam tiba. Belum lagi jika aku harus
menghafal ratusan mufradat karena sering melanggar peraturan bahasa. Di sini
kami wajib berbahasa Arab dan Inggris. Tak sangguplah aku mengkhianati Bahasa
Aceh yang mengalir dalam darahku, begitu dalih seorang pemberontak, padahal
kita hanya dilatih untuk terbiasa berbicara bahasa asing yang tentu saja sangat
berguna bagi masa depan. Adapun Bahasa Aceh, tidak akan mungkin dilupakan. Toh,
ia sudah menjadi darah daging. Tapi seperti yang kukatakan tadi, begitulah
manusia, susah sekali disuruh menaati peraturan.
Tanpa terasa, ini sudah
tahun keenamku di pondok. Banyak hal yang sudah kulalui, sebenarnya berat hatiku
untuk meninggalkan pondok. Apalagi, jika mengingat sosok Puan Keumala, gadis
manis yang lantunan qurannya telah menyihirku subuh itu. Tak henti-henti aku
memikirkan lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Benar kata orang-orang, wanita
mampu meruntuhkan tekadmu yang sekuat baja hanya dengan senyumannya. Dan aku
memutuskan untuk tidak menjadi lelaki seperti itu, keputusanku sudah bulat, aku
ingin melanjutkan studiku di sebuah universitas di Jakarta.
“Selamat
tinggal Puan, aku yakin suatu saat kita akan kembali bertemu”.
Untuk kedua kalinya, aku pamit.
***
Puluhan pesan whatsapp
menunggu untuk di buka. Tapi aku hanya duduk termenung memandang ponselku. Pasalnya,
aku sudah tau isi pesan-pesan itu, semuanya sama, mengabarkan sebuah berita
yang aku sama sekali tidak mau mendengarnya.
Kuputuskan untuk
meninggalkan kamar kosanku yang sempit, menikmati keramaian sore hari sembari
menyeruput secangkir kopi di kedai Mang Udin. Sepertinya bisa menghilangkan
sedikit campur aduk perasaanku.
Jakarta. Bagiku tidak ada
yang spesial, lalu lintas ramai, udara tidak sehat, gelandangan di mana-mana. Belum
lagi, pergaulannya yang terlalu hedon bagiku yang sudah terbiasa dengan
kebersahajaan penduduk desa. Lidahku yang sehari-harinya makan ikan asin dan
kuah pliek[6]
susah untuk diajak mengikuti gaya bicara mereka yang "gue lo"
gitu, tapi selain itu semuanya berjalan lancar. Nilai-nilaiku di kuliah selalu
bagus, pekerjaanku sebagai kru di sebuah surat kabar juga lumayan cukup untuk
membiayai hidup dan kuliahku.
Sampai tiba hari ini,
berita pernikahan Puan Keumala kembali meluluh lantakkah perasaanku yang sudah
kutata sedemikian rupa. Lukman yang selama ini menjadi sahabatku pula, yang
akan menjadi suaminya. Selama ini, aku sering mendengar cerita Lukman tentang
perempuan yang katanya akan menjadi calon istrinya.
"Kar, aku serius
dengan Dek Mala. Insyaallah, dalam waktu dekat ini aku akan menikahinya,"
ucapnya kali itu ketika meneleponku.
Tak pernah terbersit di
pikiranku bahwa Dek Mala yang ia maksud adalah Puan Keumala; satu-satunya gadis
yang berhasil menarik perhatianku dari semenjak di pondok dulu.
Salahku sendiri, tak berani
mengungkapkan rasa. Bahkan tak pernah punya nyali untuk berbicara empat mata.
Sekarang baru tau rasa. Yasudahlah, kalau sudah begini ceritanya apa mau
dikata, tiba-tiba aku teringat ucapan teman kuliahku "Kawan sih kawan,
tapi kawan kawin jangan diganggu", tidak salah kata orang-orang "dunia
ini hanya selebar daun kelor", sahabatku ditakdirkan bertemu dan
kemudian berjodoh dengan pujaan hatiku.
Rasanya seperti ada yang
hilang, terkesan lebay memang, tapi begitulah adanya. Kembali aku merasa sendiri,
memori tentang Ayah, Ibu kembali menghantui pikiranku. "Kemana kau Ibu?
sudah sampai ke ibukota aku merantau, masih saja aku tidak menemukanmu.”
Hari itu, setelah
mengucapkan selamat kepada Lukman, aku memutuskan untuk berhenti berkabar
dengannya dan kampung halaman. Lukman sahabat yang baik, tapi terlalu banyak
membangkitkan luka. Aku akan pergi lagi, kali ini tanpa niat untuk kembali, ke tempat
yang jauh, sejauh mungkin dari semua rasa kehilangan.
Untuk kesekian kalinya, Aku
pamit.
***
[1]
Imam Masjid
[2] Bu
Halimah, Teungku Saleh telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya
[3]
Abang-abang
[4] Kosakata-kosakata
[5]
Satu… dua… tiga
[6]
Kuah Khas Aceh, yang berbahan dasar kelapa
*Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar
Posting Komentar