Dekapan Adab Sang Penyayang

Oleh : Muhammad Farhan Sufyan* 

(Image Source : Google)

"Bahwa semua amalan itu tak ditinjau dari berapa hebat hasilnya. Tapi selama prosesnya karena Allah serta ikhlas. Rasanya akan sangat berbeda. Bahkan ada nilai-niai kebaikan yang datang tanpa disangka."



Sejak tadi pandanganku tak jenuh memerhatikan awan yang mengapung di udara. Mereka tak terikat dan terbebas kemana saja, sesuka hati. Sesekali tatapanku tembus menerjang hambatan awan yang menghilang. Di sana tampak gedung-gedung besar tegak mempesona. Aku yakin, bagi siapapun yang melihatnya tak akan kunjung bosan. 


Pesawat ini akan segera mendarat usai keberangkatan pukul 12.00 Clt malam, dari bandara Cairo International Airport. Mendarat di Banda Kuala lumpur. Dan sekarang tepat di bawah atmosfer tanah rencong, Banda aceh. 

Lelah telah menjadi sahabat semasa kehidupan di Mesir. Delapan tahun ialah waktu yang lama bagi sebagian orang. Namun tidak bagiku. Untuk menjadi seorang yang mumpuni dalam ilmu agama memang itulah salah satu syaratnya. Karena al ‘Alim itu tak hanya pintar dan kritis. Akan tetapi, akhlak dan adab harus selalu menjadi prioritas diri. 

"Al-adabu fawqal ilmi" 

Begitulah kata pepatah yang telah menjadi serapan keseharian. Kata yang singkat, tapi mengandung makna yang hebat. Singkat, padat tapi meluas dan susah diterapkan. Hanya bagi orang yang berpendirian tegak bisa menggapai. 

Teleponku berdering. Dari Umi. 

Kuangkat dan menyapanya dengan salam penuh kehangatan. 

“Assalamualaikum Umi” 

“Waalaikumussalam, kamu pulang pake taksi saja ya? umi sibuk ga bisa menjemputmu di bandara. Bisa, Rusydi ?” 

“Iya, baik umi.” 

Ini ialah kepulanganku yang kelima dan terakhir, tapi selalu saja. Beliau berhalangan untuk menjemputku. Barangkali umi memang sedang sibuk. Kucoba tenangkan hati yang bergejolak berprasangka. 

Selama di Mesir, aku juga hidup berkecukupan. Menjadi seorang karyawan di resto kepemilikan orang jawa. Hari-hari selalu kubagi dengan pekerjaan dan perkuliahan serta mengimbangi dengan talaqqi. Perolehan gaji hanya mencukupi diri untuk naik bus, beli kitab dan kebutuhan pokok lainnya. Tak pernah kujajaki seluruh tempat wisata. 

Itulah mengapa waktu yang kutempuh selama di Mesir jauh berbeda dengan saudara kembar yang berkuliah di Jakarta. Semenjak aku menentang kemauan Ibunda untuk tidak ke Mesir. Dirinya membatasi pengiriman uang untukku. 


*** 



Namaku Andre. Mahasiswa pascasarjana di Universitas Islam terkemuka seantaro Indonesia. Aku telah menghabiskan waktu dalam belajar sebanyak 6 tahun. 3 tahun untuk strata 1, dengan lompat kelas dan 4 tahun hingga sekarang. Menyusun tesis menjadi babak akhir penentuan gelar magister di jurusan tafsir. 


Semenjak di pesantren. Aku selalu menjadi orang nomor satu, baik di kelas maupun di jenjang menengah dan atas. Diriku merupakan alumni yang teruji dan mendapat nilai tertinggi di seluruh pelajar se-Banda aceh. Tak heran, diriku mendapat undangan tanpa seleksi ke ibu kota negara. 

Ibu kota metropolitan yang serba mudah dan tak perlu perjuangan dan pengorbanan. Apalagi diriku, dengan kejeniusan ini, aku dapat berleha-leha dalam segala aktivitas yang rumit di mata orang lain. Lah, walaupun ada suatu hal yang mendesak. Cukup minta bantuan dari kawan dan berikan ia sebongkah nilai rupiah sebagai ganjaran. Hidup ini jangan terlalu dibebani. Toh, aku masih punya ibu yang mengirimkan dana yang cukup untuk kehidupan. Yang penting prestasiku selalu melonjak. 

Umi sangat terpukau dengan segala prestasiku. Ke mana saja, diriku selalu menjadi buah bibir di kalangan orang. Itu karena umi tak sungkan memuji kehebatanku yang dapat diandalkan. Lain halnya dengan saudara kembarku, Rusydi. 

Abang bodoh yang tak dapat diharapkan oleh seorang adik. Entah tertukar DNA, dirinya menjadi bual-bual temanku semenjak di pesantren. Dia tak bisa diharapkan dalam segi kejeniusan dan kepintaran. 

Cuma satu bakat yang dia miliki, konsisten berbahasa Arab. Kemana saja ia pergi, selalu dengan kosakata dan berbicara sendiri. Seperti orang gila yang tak tau arah hidup. Tak hanya itu, omong kosong akan impiannya untuk ke Mesir dan menjadi orang ‘alim selalu menjadi tujuan yang tak pernah berubah. Walau Umi menentang. Dirinya tetap memaksa untuk kesana. 

Kami hidup bertiga, Abi telah duluan berpulang ke hadirat Allah. Yang kusayangkan selama di sana ia tak pernah diberikan kasih sayang dari umi. Dan lagi, karena kedunguannya. Dia rela menghabiskan delapan tahun hanya untuk sarjana. 

Aku tak tau, apa yang ada dipikirannya. Apa yang dia inginkan dalam kehidupannya. Sehingga ia mau menerima berbagai resiko hanya demi mimpi-mimpi anehnya. Ah, aku hanya bisa menghela napas mendengar nasibnya. Sungguh miris. 

Seharusnya dia telah tiba di bandara. Hari ini kepulangan permanennya dari Kairo. Katanya, dia tak akan kembali lagi ke negara gurun panas dan terbelakang di benua afrika itu. Kucoba untuk menghubunginya. Mungkin ia butuh pinjaman dariku. Ya hitung-hitung bisa kujadikan hutang bergilir dengannya. 

Argh, sial. Dia tak menjawab teleponku. 


*** 


Hari itu, seorang wanita paruh baya sedang berbincang dengan kerabat dekatnya. Arah pembicaraannya tak jelas. Tapi kerabatnya sangat terkesima dengan berbagai kesan pujian yang diutarakan. Tampak wanita itu pun merasa dirinya tersanjung ketika terpaan ketakjuban menghampiri. 


“Oh, untuk menyambut kepulangannya akan ada tasyakuran ya, Buk?” 

“Iya, anakku yang di Jakarta memang sangat berbakat.” 

“Beruntung ya Buk, punya anak yang sangat jenius. Boro-boro anakku bisa” 

“Oh jelas, Andre telah menjadi bintang kelas saat di pesantren.” 

“Jadi, bagaimana dengan anak Ibuk yang baru pulang dari Mesir ?” 

Wanita itu menghela napas panjangnya. Ia berbisik pelan ke kerabatnya yang bertanya. Sosok yang kerap disapa Ibu Maimunah memperlihatkan raut mukanya yang meradang. 

“Oh iya?” Gumam kerabatnya tercengang. 

“Aku kecewa sama dia. Delapan tahun dia habiskan hanya untuk sarjana.” Ujar Ibu Maimunah tak puas. 

“Tapi semenjak kepulangannya, masjid menjadi aktif, Bu” sanggah Ibu berkacamata. 

“Eeh iya loh buk. Para pemuda yang kebiasaanya nongkrong di warkop pun sudah banyak yang ke masjid” 

“Warkop di bawah masjid itu ?” 

“Iya” 

“Kalau cuma itu, aku yakin Andre bisa melakukannya. Lha, Jauh-jauh ke negeri orang cuma bisa menjadi marbot tanpa penghasilan.” Keluhnya sembari bangkit dan mengambil kunci dalam tas kecil. 


“Tapi, apa dia mampu untuk menjadi orang terkenal dan hebat seperti Rusydi?"

"Tentu, menurut Kabar anakku yang di Jakarta ini, ia telah direkrut oleh salah satu universitas di Banda aceh untuk menjadi Dosen.” 



Kerabatnya hanya mengangguk mengiyakan. Kini, dirinya mengambil beberapa rupiah serta diserahkan ke tukang sayur. Terus ia berpamitan menuju kereta Vario merah jambu yang dihadiahkan mendiang suaminya. 


Tangan kanannya menggandeng kantong hitam besar yang berisi daging dan bumbu pelengkapnya. Sedangkan tangan kiri mengepal beberapa daun pandan yang didapatnya dari kerabat tadi. 

Lusa Andre akan kembali dari Jakarta. Ia harus bergegas kembali ke rumah dan menyiapkan berbagai hidangan menu masakan untuk menyambut anak kesayangan. Dirinya juga akan merasa sangat terhormat. Bagaimana tidak, beberapa kerabat telah diundang menghadiri acara tasyakuran. 

***



Rumah kotak berwarna putih itu tampil cerah. Tak hanya dindingnya yang putih dan bewarna cemerlang. Di sana juga tampak pemuda yang telah bersiap diri menghadiri panggilan ilahi. Tampilannya lah yang membuat rumah itu cerah dan semakin bewarna. Peci putih, sarung hitam dan baju batik putih melekat menawan. Aura kewibawaan juga hinggap ditambah Jenggot tipis nan rapi. Namanya Rusydi. 


Dirinya sedang menunggu ibunda tercinta. Ia ingin ke masjid, tapi jaraknya yang jauh mengharuskannya menunggu kereta. 

Siang ini, dia harus cepat. Masjid butuh seorang muadzin dan imam suka relawan, tanpa upah dan gaji tetap. Jika tidak, maka akan sepi tak ada yang datang. Semenjak di Cairo dirinya juga selalu tepat waktu dalam perkara shalat lima waktu. 

“Kamu mau ke masjid ?” Ujar sosok tercinta yang biasa dipanggil Umi. 

“Iya, umi” 

“Ditunda aja. Toh, bukan tanggung jawab. Umi butuh bantuan kamu. Andre lusa akan kembali dari Jakarta. Kita akan adakan tasyakuran.” 

“Tapi, Umi..” 

“Kamu keberatan? ya sudah, umi ga melarang. Padahal umi sangat berharap...” 

Rusydi beristighfar dan menurut. Dirinya menunduk dan meminta maaf. Dia tau, taat kepada orang tua lebih dahulu. 


*** 




Dua bulan berlalu. Andre telah pulang dari Jakarta. Tasyakuran telah usai dan berjalan lancar. Sesuai perkataan, Andre kini menjadi dosen tetap di salah satu universitas. Kesibukan menjadi jati diri. Tak pernah pulang ke rumah. Dan hanya mengirim pesan lewat telepon genggam, itu pun hanya demi kepentingan. 


Walau begitu dia tetap menjadi anak yang tersayang. Ibu Maimunah terus memuji kehebatannya di khalayak umum. Dia bangga memiliki anaknya yang sudah terkenal. Dan terjamin masa depannya. 

“Umi, Andre besok pulang. Tolong siapkan hidangan masakan ya? karena Andre bawa rekan kantoran.” Suruhnya lewat panggilan telepon yang mendesak. 

“Iya, Nak. Tapi Umi tak punya cukup uang untuk belanja.” 

“Umi pakai saja tabungan haji. Besok Andre bayar semua” 

“Tapi Nak, itu...” 

“Mi! Andre gak minta. Tapi ngutang, tau?” Bentak Andre dan seketika memutuskan panggilan. 

Dengan tertatih, wanita itu menyiapkan berbagai menu hidangan spesial kepulangan anaknya. Rusydi ikut bantu dan meminjamkan uang seadanya. Dengan hati yang berat, dia hanya terpana melihat anak pertamanya yang selalu hadir menemani dirinya. Walau dirinya membenci, tapi Rusydi selalu ada di saat ia butuh. 

Tiga hari telah usai. Rekannya telah balik. Sementara Andre masih menetap di rumahnya. Dia dan beberapa rekannya cuti untuk beberapa hari. 

“Andre, mari kita ke masjid. Di sana kamu yang ngimam nantinya,” ajak Rusydi. 

Dia berpikir sejenak dan menyetujuinya. Keduanya berangkat mengendarai Vario milik Ibundanya itu. 

Tiba di masjid. Andre langsung ditunjuk menjadi imam oleh abang kandungnya. Andre membalikkan badannya ke hadapan jamaah. Dia memandang sekilas, kebanyakan pemuda yang menjadi makmum. 

Andre membaca ayat yang sangat panjang. Satu rakaat dihabiskan dalam satu halaman Alquran. Usai salam, dia membalikkan badan lagi dan menatap jamaah. 

“Kenapa gak kamu aja yang imam Rusydi? dia kagak bisa imam. Panjang amat dibacanya. Jangan sok alim kau orang sombong. Belagak diri seolah orang terhebat di kampung” seorang pemuda bangun dan berkomentar keras. 

“Apa kamu? mau ajak ribut? baru kemarin taubat, sok suci kalian.” Balas Andre.

“Ajak berantem ni orang” 

Tampak beberapa pemuda bangkit ingin menghajar Andre. Tak tinggal diam, Rusydi juga ikut serta memecahkan permasalahkan. Dia menenangkan beberapa pemuda serta melerai antar keduanya. Rusydi mengajak berbincang nyaman dan tenang dengan pemuda itu. Laksana mata pisau nan runcing, kata-katanya seumpama menusuk hati pemuda dan meminta mereka untuk tenang, tak salahnya sesekali berdiri lama mengingat Allah. Mereka menurut. Tapi dengan syarat, Andre tak pernah lagi menjadi imam. 

Suasana telah damai. Para pemuda itu juga telah keluar dari masjid. Rusydi mendekati Andre dan menasehatinya baik-baik. 

“Jangan sok sholeh bang.” celutuk Andre. 

“Aku cuma memberi nasihat. Kamu harus paham mereka baru saja hijrah. Butuh waktu untuk itu semua” 

“Ah sudahlah. Aku besok mau balik ke Banda aceh. Tak akan ada perubahan jika selamanya menetap di kampung brengsek dan ketinggalan jaman ini” 

Keesokan harinya, Andre kembali ke kantor. Dia belum mampu membeli kereta pribadi, jadi hanya angkutan umum yang menjadi tranportasi andalannya. 

Dalam perjalanannya, dia menerima panggilan dari nomor tak dikenal. 

“Halo, dengan siapa?” 

“Kami dari aparat kepolisian, meminta anda untuk kembali ke rumah. Jika tidak, seluruh anggota rumah akan kami tahan. Waktu anda 30 menit.” 

“Andreee....” 

Jiwanya linglung dan resah. Sesaat panggilannya berlangsung, teriakan umi terasa sangat histeris di balik itu. Apa yang dilakukan abang bodoh itu, apa gunanya dia bersama umi

Andre memutuskan untuk turun dari angkot. Dia akan kembali memastikan apa yang sebenarnya terjadi. 

Sesuai persyaratan dari panggilan telepon, 30 menit Andre telah tiba di depan rumahnya. Seluruh warga berkerumunan. Mobil berlampu merah biru juga terpampang di sana. Ternyata benar, itu adalah pasukan keamananan polisi setempat. 

“Anda ditangkap Pak Andre dan sekeluarga” 

“Atas tuduhan apa Pak ?” 

“Anda telah menyembunyikan agen narkoba besar selama 3 hari di rumah. Sebagai bukti, anda kami tahan.” 

Hatinya remuk bak diinjak-injak. Dia tak sadar telah ditipu. Tampang mereka yang sangat menjanjikan tapi itu hanya iming-iming agar mendapat perlindungan. Mereka memang rekan sekantornya. 

“Ini bukti yang kuat.” 

Dia melihat sebungkus tepung berada di dalam koper. Itu sabu. Beberapa pil ekstasi juga terlihat jelas di dalamnya. 

Beberapa polisi meringkus Andre dan memasukkannya dalam mobil. Abang dan Ibundanya juga telah berada di dalamnya. Ketika mobilnya berderum ingin meninggalkan pedesaan itu. Tiba-tiba segerombolan anak muda yang terpengaruh atas ajakan Rusydi menahan gerakan polisi itu. 

Mereka berteriak dan menuntut untuk melepaskan Rusydi. Mereka juga membawa berbagai bukti dan rekaman video saat Rusydi mengajari mereka tata cara shalat dan perubahan desa yang disebabkan kehadirannya. 

Semula semua bukti ditolak oleh polisi. Tapi, semua pemuda juga tak hadir dengan tangan kosong. Lengkap dengan pisau, cangkul, palu dan alat tajam lainnya. 

Rusydi bebas. Tapi dia tak mau itu hanya berlaku pada dirinya, tapi untuk Umi dan juga Andre. Polisi mengecam tindakan itu. 

“Lebih baik diriku mendekap dalam penjara bersama umi, dari pada menikmati kebebasan tanpa kehadirannya. Seumpama dunia yang kehilangan bagiannya. Aku tidak mau bebas.” Ujar Rusydi yakin. 

Andre yang melihat ketulusan abangnya merasa sangat bersalah. Kemudian dia memutar kembali rekaman panggilan antara dirinya dan Ibunda saat memaksa menyiapkan hidangan. 

Ibu Maimunah sama sekali tak tau akan hal itu. Yang dia tahu hanya rekan sekantornya bahkan dirinya terpaksa mengeluarkan tabungan haji demi memenuhi hasrat anaknya. Dia tak bersalah. 

Ditambah gugatan dan teriakan pemuda itu. Akhirnya keduanya terbebas. Sebelum berpisah, Andre sempat meminta maaf atas keteledorannya. Kesadarannya tampak mencuat bahwa dirinya hanya mementingkan pakaian dan kejeniusan seseorang tanpa mengenal dari segi adab dan perilaku keseharian. Namun, habis perkara, nasi sudah menjadi bubur. Semua tak dapat diulang. 

Sekawanan pemuda itu membawa Rusydi kembali ke rumah. Mereka tampak sangat bahagia. Seseorang yang telah menjadi panutan kembali menenangkan jiwa kosongnya. 

Seketika rumah itu menyambut kembali kedatangan pemiliknya. Ibu Maimunah langsung turun mencium kakinya Rusydi. Dia meminta maaf sebesar-besarnya. Dirinya yang sangat bersalah kerena telah gagal mendidik anaknya. Kasih sayangnya tak pernah seimbang. Tapi Rusydi dengan tulus menyatakan dirinya sirna tanpa ibunda tersayang. 

Tak mau dianggap berlebihan. Rusydi juga turun memeluk ibundanya. Dia juga meminta maaf karena tak mendengar larangan uminya ke Mesir. Tapi dia belajar banyak di sana. Mulai dari keikhlasan beramal. Bersosial dengan teman. Dan memperbaiki akhlaknya. 

Dia sadar saat bekerja sebagai karyawan. Bahwa semua amalan itu tak ditinjau dari berapa hebat hasilnya. Tapi selama prosesnya karena Allah serta ikhlas. Rasanya akan sangat berbeda. Bahkan ada nilai-niai kebaikan yang datang tanpa disangka. 

Begitu juga dengan belajar. Pesan gurunya, akhlak selalu menjadi raja antara seluruh kemampuan, bakat dan kepintaran. Terlebih lagi, bagi penuntut ilmu agama. Maka dari itu, sangat disyaratkan dalam mengemban tugas mulia, yakni berdakwah. Memberikan teladan sebelum memerintah dan berkata-kata.[]


*Penulis merupakan mahasiswa Daurah Lughah, Universitas Al-Azhar. 




Baca juga Cerpen : Tersesat 


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top