Apa yang Keliru dari Ajakan “Kembali ke Alquran dan Sunah”?

Oleh: Annas Muttaqin*
(Image: okezone.com)

Mungkin, bagi sebagian orang agak emosi atau naik tensi ketika melihat judul tulisan ini. Sabar dulu akhy, ukhty, tetap tenang, santuy, jangan marah-marah, apalagi sampe nge-gas takutnya nanti gak enak sama saya, yang punya tulisan. Daripada saya lebih banyak mukadimah supaya tampak tulisan saya panjang, lebih baik saya langsung masuk ke intinya saja. 



Oh ya, sebelumnya dalam tulisan ini saya tidak sedang membahas lebih detail ataupun mendalami maksud Alquran dan hadis terlebih dahulu karena mungkin akan bertambah beberapa paragraf dan membuat pembaca bosan. Apalagi kita sudah berulang-ulang kali membaca dan menghafal definisi Alquran dan hadis secara bahasa dan istilah, ditambah lagi menghafal di mana letak perbedaan definisinya satu sama lain. 

Jadi langsung saja, di sela-sela halakah pengajian mengenai qadhaya al-mu’asharah, guru kami memberi sebuah kaidah ushul yang sangat luas. Saya masih ingat ketika itu kami sedang membahas tentang bayi tabung. 

"الأمور بمقاصدها"
 Segala sesuatu tergantung pada maksud atau niatnya. 

"المقاصد لا تبرر وسائل"
Maksud yang baik tidak serta-merta menjadikan cara dari tujuan tersebut juga menjadi baik. 

Inti dari dari dua kaidah tersebut simpel-nya, “Maksud yang baik juga harus ditempuh dengan cara yang baik pula”. Misalnya saja kita ingin bersedekah, agar sedekah itu menjadi suatu kebaikan dan bernilai ibadah, tentu haruslah dengan cara yang baik pula. Uang yang disedekahkan harus benar-benar milik kita, tidak dengan cara terpaksa, dan jangan sampai sedekah tersebut menjadi beban bagi diri kita sendiri sehingga dapat menghantarkan kita kemelaratan. 

Maksudnya di sini bukan tidak percaya dengan keajaiban sedekah. Namun, kita juga harus berpikir rasional. Misalnya lagi di akhir bulan, tentu sebagian besar dari perantau sedang bokek uang pas-pasan, cuma bisa beli makan untuk beberapa hari ke depan, itu pun Indomie. Nah, apa jadinya jika uang tersebut malah kita paksakan untuk kita berikan pada orang lain. Tentu akan sangat membuat diri kita melarat. Dalam Alquran sendiri dikatakan perihal tersebut agar tak terlalu berlebihan dalam memberi hingga mencekik leher sendiri. 

Nah, kembali lagi dari dua kaidah tadi juga kemudian menghasilkan hukum yang berbeda dari satu hal yang sama. Namun, berbeda pada saat menempuhnya. Ya, seperti perihal sedekah tadi. Ia juga bisa menjadi larangan jika cara yang ditempuh bukan dengan cara yang baik pula. Contoh luasnya seperti dalam hukum-hukum kontemporer, dalam ilmu kedokteran pada permasalahan bayi tabung seperti yang kami pelajari saat itu misalkan, atau dalam ilmu ekonomi syariah, perbankan syariah dan lain-lain sebagainya. 

Pula kemudian dari kaidah tersebut pula lahir kaidah-kaidah lainnya, seperti سدالذرائع (memutuskan jalan yang dapat menjerumuskan pada kemudharatan), atau درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (menolak mudarat lebih baik dari pada mengambil manfaat). 

Mungkin bisa jadi dengan mengambil manfaat atau menegakkan suatu kebaikan dapat menghilangkan banyak nyawa ataupun mungkin dengan menegakkan kebaikan tersebut akan menimbulkan bahaya-bahaya yang lebih besar yang lain. Makanya, nanti terdapat permasalahan yang kita orang awam lihat baik, tapi para ulama melarang kita melakukan hal tersebut. Apakah bermakna mereka melarang kita melakukan kebaikan? Tentu bukan dong

Kaidah-kaidah tadi mungkin bisa menjadikan salah satu dasar ulama melarang hal tersebut. Percaya atau tidak, tentu kita harus percaya, karena terdapat permasalahan di mana kita orang awam tidak mampu melihat kesalahannya, sedangkan mereka yang Allah Swt. anugerahkan ilmu agama lebih mampu menerawang permasalahan demi kemaslahatan. Bahkan, kita pun kadang demikian, misalnya saja saat kita melarang adik kecil kita untuk tidak minum es terlalu banyak, kemudian ia merengek meminta dibelikan es tersebut apakah bermakna kita kita tidak menyayangi adik kita? tentu tidak. 

Walaupun menurut adik kita baik, tapi sebaliknya menurut kita tidak baik, karena kita tahu itu dapat menimbulkan lebih banyak mudarat bagi tubuhnya. Bahkan, itu merupakan bentuk cinta kita terhadap adik kecil kita. 

Kemudian bagaimana jika ada yang bertanya: 

“Eh, kenapa sih harus berpegang pada kaidah-kaidah seperti itu, kenapa gak kembali ke Alquran dan sunah saja. Alquran dan sunah kan menjadi pegangan kita umat Islam?” 

Hmmm, sebenarnya gak harus juga sih, tapi coba Akhy dan Ughty sekalian pikirkan. Ulama-ulama kita terdahulu telah terlebih dahulu mengkaji ayat-ayat hukum dalam Alquran, dan kaidah-kaidah itu merupakan hasil dari kajian mereka yang dituangkan dalam kaidah-kaidah ushul, ditulis dalam kitab-kitab mereka supaya memudahkan kita para penuntut ilmu. Bukan sembarang orang lho yang bisa mengeluarkan hukum dari Alquran dan hadis. Bahasa Arab itu mendalam, bahkan lebih dalam dari palung Mariana sendiri. Jadi modal nahwu, sharaf saja tak cukup untuk dapat mengeluarkan hukum. Perlu juga ilmu lain seperti balaghah, ‘arudh, mantiq, mushtalah hadist dan lain-lain sebagainya. 

Maka, kembali lagi ke judul yang saya bawakan tadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan slogan “Kembali ke Alquran dan sunah”, toh itu merupakan sumber hukum dari pada agama kita hanya saja terkadang sebagian orang keliru dalam cara menyampaikannya, seperti kaidah yang kita singgung di atas. Terkadang kita bermaksud menebar kebaikan agar tidak ada lagi saudara-saudara muslim yang terjebak dalam syubhat-syubhat memahami hukum Islam. Namun, cara dan bahasa yang kita gunakan malah dapat menimbulkan syubhat-syubhat baru. 

Seorang ustaz, guru, ataupun pemuka agama seharusnya menjelaskan lagi makna dari kalimat “Kembali ke Alquran dan sunah”, tidak cukup dengan dengan lahirnya saja. Harus lebih detail, siapa sebenarnya yang langsung bisa mengambil hukum dari Alquran dan sunah. Kan tidak mungkin orang-orang awam seperti kita ini bisa langsung mengeluarkan hukum dari nas (Alquran dan sunah) tersebut. Perlu mereka yang ilmunya sudah benar-benar matang yang sudah berguru, menyelami ilmu agama hingga bisa melihat rahasia-rahasia di balik lafaz-lafaz Alquran dan hadis. Bahkan, dokter hewan saja belum pasti bisa memberi resep obat pada manusia padahal sama-sama dokter lho. Nah, apa lagi perihal hukum agama. 

Dan yang terakhir lebih berbahaya lagi adalah ketika guru atau ustaz itu sendiri yang bahkan tidak paham dengan makna “Kembali ke Alquran dan sunah”, ia hanya mengukuhkan “pengajian sunah” dan kemudian menjual label “Kembali ke Alquran dan sunah”, muslim mana yang tak tergiur dengan lebel tersebut, ditambah lagi sekarang bertebaran para pemuda-pemudi hijrah yang sangat haus ilmu agama. 

Di situ perlu ditinjau kembali latar pendidikan ustaz atau guru yang kita ikuti. Perihal adab, etika tutur kata, dan pemikiran-pemikiran mengenai Islam yang beliau ajarkan. Barangkali Islam yang seharusnya disebarkan dengan nilai-nilai cinta, damai, penuh kasih sayang menjadi terbalik ketika kita mendengar ucapan-ucapan beliau. Islam yang awalnya mengedepankan ukhuwah rahmatal lil alamin kadang hanya sekedar rahmatal lil muslimin atau bahkan lebih sempit dari itu, rahmatal li qaumin saja misalnya.


Kemudian, kembali lagi lihat pada diri kita sendiri setelah mengikuti pengajian tersebut. Apakah kita akan merasa lebih hebat, lebih baik, kemudian suka menghujat menyalahkan orang yang tidak sekata dengan kita, atau bahkan menuduh saudara-saudara kita yang sama-sama mengucap dua kalimat syahadat kafir. Sungguh, sangat disayangkan jika setelah mendengar pengajian, malah kalimat tersebut yang terlontar. Paham Islam mana yang mengajarkan demikian? Saya rasa paham Islam tidak sesempit itu. Saya rasa semakin seseorang memahami Islam maka semakin luas pula wawasan dan pandangan yang diberikan. Wallahualam.[]

*Penulis Meupakan Mahasiswa Tingkat Dua Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top