Terpana

Oleh : Darwin Robusta* 

Image Source : Google

Penyeberangan pertama.

Seharusnya ada yang menghalangi agar kita tidak jatuh cinta di tengah garis hitam putih yang melintang. Kita lanjur saling menyongsong dengan tatapan kuat. Sebuah hai yang kulempar kausambut. Sebuah hai yang kaulempar balik kudekap. Setelah itu kita masing-masing memunggungi dan rasanya dalam sesaat itu kita berpisah beribu-ribu tahun.

Karena tak tahan, kita memangkas jarak. Kita berbalik dan aku segera membenamkan tatapan di matamu. Di seberang sana kau berbinar-binar. Di seberang sini aku disergap deburan yang meletup beruntun-runtun. Di tengah kerumunan orang di persimpangan ini, kita terpana. Kita tak dapat dihentikan.

Penyeberangan kedua.

Jantung berdetak lebih cepat dibanding hitungan mundur rambu jalan. Kita tak memiliki keberanian untuk pergi dari persimpangan dan meninggalkan satu sama lain. Hai adalah sebuah jalan yang terjalin dengan kokoh di dalam jiwa kita. Adalah sejenis kenangan, indah diingat, denyut demi denyutnya bernapas. Dari kerumunan orang kau melejit ke tengah-tengah garis hitam putih, padahal kautahu beberapa mobil sedang melintas dan satu di antaranya hampir saja menabrakmu. Mobil itu berhenti dan kau terhenti karena mendengar ciutan rem. Aku segera melejit ke tempatmu lalu memberi isyarat kepada penyetir mobil agar meninggalkan persimpangan.

Kau tak berkedip. Kita kembali terpana. Matamu kunang-kunang. Rambutmu kenanga. Selanjutnya, aku tersenyum dan tersenyum lebar. Cinta telah memberi kita keberanian lain sebagai ganti. Yang ini lebih mantap, kita bisa menggunakannya sepanjang hidup: bergandeng tangan. Kutuntun kau ke seberang—tempat aku berdiri tadi sebelum kau melejit ke tengah-tengah garis hitam putih. Sesampai di seberang, kita sama-sama mendengar seseorang mencoba memberitahu kita, “Hey, kalian berdua telah menimbulkan kegaduhan. Lihatlah ke jalan sana.” Kita kemudian sadar, kemacetan sedang meruap di sepanjang jalan, klakson bersahut-sahutan. Kau menahan tawa yang nyaris meledak lantaran suatu ketidaksadaran kita perbuat. Dan aku senang melihatmu cekikikan.

“Memang, berapa lama kita berada di tengah-tengah garis jalan?”

“Aku tidak tahu persis.”

“Apakah kau mendengar mobil-mobil itu mengklakson?”

“Tidak. Rasanya tadi sangat hening.”

“Iya, aku juga merasakan begitu.”

“Hey, apakah kau tahu ada satu mobil yang melintas hampir menabrakmu?”

“Iya, aku tahu. Bunyi remnya berisik sekali, orang-orang pun berteriak berusaha menyadarkan. Tapi setelah itu, saat kau berlari ke arahku, keheningan mengepung.”

Penyeberangan ketiga.

Kau telah menduduki tempat paling prima di kepalaku. Jadi, aku ingin membawamu pulang ke rumahku di utara kota melalui jalan paling teduh di selatan kota. Kita menempuh jalan lingkar agar dapat menghindari pusat kota yang bising. Kau mesti tahu maksud lain dariku kenapa harus membawamu ke selatan dahulu. Kasih, kautahu, sepanjang jalan lingkar kita menjelma seperti angin, kita dapat menempuh dedaunan mahoni demi memenuhi keinginan.

Saudara angin menuntun kita melalui barat. Kita tetap beriring dan kau tak bertanya kepadaku, semisal kenapa kita mengambil jalan terlalu jauh? Aku yakin, kau memiliki ‘ingin’ yang sama bahwa kau ingin berlama-lama menjadi angin bersamaku. Sebab itu kau menaruh kepercayaan padaku. Jika sewaktu-waktu pohon mahoni diguncang angin ribut, dan dahan-dahannya jatuh berderai, kau memilih membekap tubuhmu dengan memelukku. Betapa sungguh kau memercayaiku.

Kasih, kauingat, setelah perjalanan panjang, kita menyeberang lalu sampai di pekarangan rumah. Terdengar gerimis menderu di kejauhan. Semakin ke sini gerimis menghujan. Kuberikan kunci rumah padamu dan aku meminta agar kau lekas-lekas masuk ke rumah karena aku tak mau kau jatuh demam. Aku ingat, kau tak serta merta menutup pintunya. Kemudian aku menyusulmu ke dalam dan kudapati dikau mendepang di depanku. Tak tanggung-tanggung, aku segera memeluk dan mengecup keningmu. Kau terpana.

Masih ingatkah kau, Kasih? 

 

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar




Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top