Kuliah Lughah: Jauh-Jauh ke Mesir kok Malah Belajar Nge-Bucin?


Oleh : Rahmiatul Aini*
(image: kamusmufradat.com)

Enti fii kulliah eih? Syariah wa la ushuluddin? (Kamu belajar di fakultas apa? Syariah atau ushuluddin?)

Begitu kira-kira bunyi pertanyaan yang kerap dilontarkan ketika pertama kali berkenalan baik dengan orang Indonesia maupun orang Mesir dan negara-negara lainnya. Mulai dari supir uber, penjual buah, tukang fotokopi, sesama mahasiswa, dokter, sampai ammu-ammu baqalah (om-om penjaga kios). Kenapa harus ditambah dengan pilihan Syariah atau Ushuluddin, sih? Seakan-akan kuliah Lughah tidak termasuk dari salah satu pilihan. 

Kuliah Lughah 'Arabiyah atau Fakultas Bahasa dan Sastra Arab merupakan salah satu dari empat fakultas di Universitas Al-Azhar yang menjadi pilihan mayoritas mahasiswa asing. Selain karena pelajarannya yang berbasis agama, biaya kuliah di empat fakultas tersebut juga gratis. Di antara empat fakultas tersebut, fakultas Lughah termasuk yang sedikit peminatnya. 

Ketika dijawab “Ana fi kulliah Lughah ''Arabiyah” atau “Saya di fakultas Lughah, Ustazah”, macam-macam akan kita dapati ekspresi lawan bicara. Dari yang biasa-biasa saja sampai yang luar bisa pun ada. Macam-macam pula tanggapannya. 

“Kenapa pilih Lughah, bukannya itu susah?” 

“Wah, segan nih.” 

“Kenapa harus Lughah? Masyarakat lebih butuh jebolan Syariah atau Ushuluddin, loh.” 

“Oh Lughah. Jarang-jarang soalnya mahasiswa Indonesia milih jurusan itu.” 

Najah kan tahun ini? Maqbul ya?” 

Bahkan sebelum berangkat ke Mesir pun, sudah banyak desas-desus tentang fakultas ini. “Nggak usah milih Lughah kalau nggak mau lama-lama di Mesir,” atau “Fakultas Lughah itu susah, mahasiswanya banyak yang rasib.” 

Susah dan banyak yang rasib seakan-akan sudah menjadi stereotipe. Banyak calon mahasiswa yang sudah gentar duluan sebelum mencoba. Bahkan kebanyakan mahasiswa yang pada akhirnya memilih jurusan Lughah pun sempat melalui drama dan dilema, “Aku mampu nggak ya?" 

Sebagian orang merasa bingung, sebenarnya apa sih yang ada di pikiran mahasiswa fakultas Lughah? Kenapa mereka memilih untuk belajar di fakultas ini? Belajar bahasa kan sudah cukup di pondok dulu. 

Sebagian lagi heran, apa sih faedahnya anak-anak Lughah ngafalin syair-syair yang kebanyakannya mengisahkan kebucinan para penyair Arab kuno. Jauh-jauh ke Mesir kok malah belajar nge-bucin? Intinya fakultas Lughah itu udah susah dan nggak penting. 

Saya yakin inilah yang banyak berseliweran di fikiran sebagian orang tanpa menafikan sebagian lain yang berpikiran bijak dan paham. 

Sebelum berbicara tentang fakultas Bahasa dan Sastra Arab, mungkin ada baiknya kita mengkaji kembali visi dan misi Al-Azhar. Al-Azhar ingin mencetak seorang Muslim yang ber-manhaj wasathi dan memahami ilmu syariat secara utuh. Tentu saja untuk mencapai tahap ini bukanlah hal yang mudah. Kuliah saja tidak cukup, harus dibarengi dengan mengikuti berbagai pengajian atau talaqqi

Perjalanan untuk menjadi seorang Azhari sejati bukanlah perjalanan singkat dan instan. Untuk memahami ilmu syariat kita harus memulai dengan mempelajari ilmu alat seperti: Mantiq, Nahwu, Sharf, Balaghah dan seterusnya. Semua ilmu ini saling berkaitan dan saling melengkapi dalam membangun pondasi yang kuat sebelum kita mempelajari ilmu syariat seperti Hadis, Fiqh dan Tafsir. Jika ilmu syariat ini diibaratkan sebuah bangunan maka ilmu alat adalah pondasinya. Bagaimana kita akan membangun sebuah bangunan yang kokoh jika pondasinya saja belum kuat? 

Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan sebagian mahasiswa fakultas Lughah dalam menentukan pilihannya. Menjadikan fakultas ini sebagai pijakan awal untuk menjadi seorang Azhari sejati yaitu mendalami bahasa Arab yang merupakan asas dalam mempelajari Ilmu Syariat. Ilmu Syariat yang tumpuan utamanya adalah Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman seorang Muslim tertulis dalam bahasa Arab. Maka sudah pasti kunci utama untuk membuka gerbang keilmuan ini adalah bahasa Arab. Akan tetapi kunci ini tidak akan berguna jika kita tidak berusaha untuk mencari gerbang dan membukanya. Gerbang tersebut ada di pengajian-pengajian dengan berbagai masyayikh

Sedangkan bagi mahasiswa Syariah dan Ushuluddin gerbang tersebut sudah ada di depan mata. Yang diperlukan adalah melengkapi ilmu alat yang masih kurang diajarkan di kuliah untuk mendapatkan kunci terbaik. Kunci tersebut juga ada di pengajian-pengajian dengan berbagai masyayikh

Maka pada akhirnya menurut saya sama saja. Di fakultas apapun kita belajar, kuliah tidaklah cukup. Apakah kuliah di fakultas Syariah menjamin kita bisa menjadi seorang faqih yang bisa menjawab seluruh persoalan umat? Apakah kuliah di fakultas Lughah menjadikan kita buta sama sekali tentang agama? Tidak peduli di fakultas apapun, pada akhirnya yang membedakan adalah sebesar apa pengorbanan yang mau kita ambil dalam menuntut Ilmu. Sebesar apa tekad dan kesadaran untuk melengkapi kekurangan masing-masing. 

Tentu saja ini hanya alasan sebagian mahasiswa fakultas Lughah. Sebagian lain bisa jadi berkeinginan mendalami sastra arab, menuruti permintaan orang tua, ingin mencoba hal baru, ingin terhindar dari menghafal ikhtilaf para ulama dalam permasalahan fiqh, atau hanya ikut-ikutan teman dan ingin samaan dengan doi. 

Apa saja sih sebenarnya yang dipelajari di fakultas ini? Hanya Nahwu dan Sharf? Ilmu bahasa Arab itu luas, Teman! Bahkan Nahwu dan Sharf itu sendiri tidak sesimpel yang dipelajari di pondok dulu, terlebih yang belajar di pondok modern. Kitab “Annahwu Alwadzih” yang kita pelajari hanyalah 10 persen jika dibandingkan dengan luasnya ilmu Nahwu dan Sharf. Tahun pertama kuliah kita sudah disodorkan kitab “Awdhahul Masalik”, maka minimal ketika memasuki kuliah kita sudah melewati tahapan mubtadi’ dan mutawassith dalam Ilmu Nahwu, kalau nggak ya bakalan kewalahan. Mengutip perkataan salah satu senior saya, Al-Azhar dengan metode pembelajarannya seakan menampar kita secara tidak langsung “Yakin Kamu mau masuk Al-Azhar?”. 

Selain Nahwu dan Sharf kita juga mempelajari Linguistik, sejarah sastra dari Arab kuno sampai sastra modern, analisa sastra, kritik sastra, wazn dan musik puisi Arab klasik dan masih banyak lagi. Sekarang pertanyaannya adalah apakah semua ini memiliki korelasi dengan ilmu syariat? Menghafal puisi-puisi para pujangga zaman dahulu yang sebagiannya mengisahkan tentang perjalanan cinta yang terkadang kandas dan segala bentuk kebucinan lainnya apakah penting? 

كان ابن عباس يقول : إذا قرأتم شيئا من كتاب الله فلم تعرفوه فاطلبوه في أشعار العرب فإن الشعر ديوان العرب. وكان إذا سئل عن شيء من القرآن أنشد فيه شعرا. 

Ibnu Abbas berkata : Jika kamu membaca Al-Qur'an dan mendapati sesuatu yang tidak kamu ketahui maknanya maka carilah di syair-syair Arab, sesungguhnya syair adalah diwan bangsa Arab. Dan Ibnu Abbas jika ditanyakan kepadanya suatu permasalahan di dalam Al-Qur'an maka beliau akan menjawabnya dengan senandung syair. 

Syair atau puisi adalah rekaman jejak bangsa Arab mulai dari sejarah, keturunan, gaya hidup, lingkungan dan bahasa. Jika ingin benar-benar mendalami bahasa Arab tentu saja penting sekali untuk mengetahui syair-syair mereka. 

Syair merupakan salah satu rujukan terpenting ilmu Nahwu dalam ber-istisyhad untuk sebuah kaidah bahasa Arab setelah Al-Qur'an dan Sunnah. Menghafal syair-syair arab bukan untuk belajar nge-bucin, tapi memerhatikan tata kalimatnya, pemilihan kosakatanya, gaya bahasanya, keindahan sastra dan keautentikan bahasanya. Maka tidak heran jika dalam ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah bahkan Tafsir banyak kita dapati dalil atau syahid dari syair-syair arab khususnya syair arab jahily dan shadrul Islam. 

Bahasa di syair tidaklah sesederhana bahasa percakapan kita sehari-hari, terlebih lagi syair arab jahily. Banyak kita dapati kosakata, nama tempat, nama qabilah yang sama sekali asing bagi kita. Inilah salah satu tantangan mahasiswa fakultas bahasa Arab. 

Jadi, apakah fakultas ini semengerikan desas-desus yang sering kita dengar? Apakah sesusah yang dikatakan orang-orang? Setelah bertanya pendapat beberapa teman fakultas Lughah saya menyimpulkan bahwa fakultas ini tidaklah mudah tapi bukan berarti tidak bisa ditaklukkan. Di samping itu, sesuatu yang susah bagi kita bukan berarti susah bagi orang lain begitu pula sebaliknya. Mungkin bagi si A menghafal syair lebih mudah daripada menghafal pendapat-pendapat para ulama yang segitu sebanyaknya sedangkan bagi si B malah kebalikannya. 

Menurut saya tantangannya adalah mata kuliah yang benar-benar asing dan tidak pernah kita pelajari sebelumnya. Berbeda dengan Nahwu, Tafsir, Fiqh, Hadis yang namanya sudah kita kenal, walaupun pembahasannya nanti akan lebih kompleks pastinya. Bagi sebagian orang ini malah menjadi sebuah kesempatan, terkadang sesuatu yang baru menimbulkan rasa penasaran yang berlebih. Rasa penasaran ini akan memicu kita untuk belajar lagi dan lagi. 

Setiap fakultas memiliki tantangan dan kesulitannya tersendiri, karena tantangan itulah yang membuat kita berkembang dan layak naik kelas. Jangan takut untuk melangkah hanya karena bisikan tetangga. Jika ada orang yang bisa kenapa kamu masih tidak berani mencoba? 


*Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top