Sejenak Merasakan Beban Moral Mereka yang Terjangkit Virus Corona
Penulis: Annas Muttaqin*
Ilustrasi fenomena yang terjadi sekarang ini |
Sebagai seorang mahasiswa yang belajar di negeri orang, selain dianggap mahasiswa asing kadang-kadang kami juga dianggap orang asing. Anggapan orang asing ataupun turis ini biasa timbul dari meraka para pedagang dan orang awam di Mesir. Jika kami berkunjung ke pasar-pasar di Mesir biasanya para penjaja dagangan menyapa kami orang asing dengan “shiniy” ataupun ada sebahgian pedagang menyapa dengan menambahkan kata “Nihaow” itung-itung biar dapat perhatian. Jika sudah begitu lengkaplah sudah mereka menggap kami sebagai orang Cina. “Shiniy” sendiri merupakan bahasa arab jika diartikan dalam bahasa Indonesia artinya orang Cina, sedangkan “Nihaow” (ditulis sesuai didengar) merupakan bahasa mandarin, kalau gak salah saya artinya kalimat ini digunakan untuk menanyakan kabar.
Namun
yang anehnya sapaan “shiniy” ini tak hanya terbatas pada orang-orang Cina
yang berkunjung ke Mesir yang mayoritasnya berkulit putih bermata sipit
disertai rambut lurus. Saya yang berambut keriting kulit sawo matang dan kawan
saya yang kulitnya sawo kelewatan matang (coklat gelap) matanya bulat kayak
bola pimpong juga dipanggil “shiniy” oleh mereka. Jika dipikirkan ini
bukan sebuah sapaan ramah melainkan tanda-tanda ngajak ribut. Padahal secara
kasat mata jelas- jelas wajah saya dan teman saya 359,9 derajat berbanding terbalik
dengan wajah orang-orang Cina. Tak jarang karena panggilan tersebut saya rela berhenti
sambil nge-gass bilang “ ana musy Shiniy ya hag!” (saya bukan
orang Cina ya pak!) Entah apa yang merasuki mereka!
Sejak
saat itu saya mulai berpikir apakah “shiniy” yang mereka maksud adalah
artinya benar orang Cina atau jangan-jangan arti dari “shiniy” sendiri
merupakan sebutan untuk seluruh orang yang berparas non-Arab. Seperti orang
aceh memanggil untuk orang asing yang datang ke Aceh dengan istilah “bulek”
misalnya. Ataupun kemungkinan lainnya lantaran barang-barang yang di pasok di Mesir
ini kebanyakan dari Cina, jadi sebahgian masyarakat awamnya cuma tau kalau di
dunia ini Cuma ada dua negara yaitu negara mereka sendiri dan negara Cina.
Ataupun jangan-jangan dipandangan mereka wajah saya dan teman saya yang kayak
kulit sawo ini memang benar-benar mirip orang Cina. Tapi untuk yang terakhir
ini memang halu sih.
Begitulah
gambaran singkat saat kami berhadapan langsung dengan masyarakat Mesir
khususnya para pedagang di pasar-pasar tradisional beberapa bulan lalu. Namun
setelah negara api virus corona menyerang pandangan masyarakat awam
Mesir berubah dratis, bukan hanya pandangan sebenarnya, panggilanpun berubah. Mereka
yang dulunya memanggil kami “shiniy” sekarang malah memanggil dengan
“kurona” (red: corona) terlebih para bocah-bocah. Pernah beberapa kali saat
saya sedang berjalan santai menikmati sore sama teman di salah satu kawasan Downtown,
kairo. Gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba
ada bocah dengan santai jalan disamping kami.
“Kurona,
kurona?” kemudian lari dengan rasa tak bersalah.
Ya,
kami apa boleh buat cuma bisa tersenyum melihat bocah menahan ubun-ubun yang
agak hangat sambil berusaha berpikir positif. Wajar sih, masih kecilkan.
Akalnya belum sempurna.
Namun
panggilan tersebut tak hanya berakhir di situ. Biasanya dulu saat kami keliling
pasar ataupun area-area pembelanjaan para pedagang mesir mencuri perhatian kami
dengan memanggil kami “shiniy” namun sekarang sudah ada yang memanggil
dengan panggilan “kurona”. Lagi-lagi salah satu pedagang yang entah
berantah sambilan menebar senyum kearah kami,
“kurona?”
ucapnya diakhir senyumnya yang menawan tadi. ini apaan sih!
Jelas
dong kami yang tadinya membalas
senyum penjual tersebut lebih lebar lagi, langsung saling menatap aneh bin
receh. Saya mulai berpikir mereka ngeledek atau jangan-jangan benar-benar lagi jualan
virus corona, gak jelas amat! Datang-datang langsung nanyain corona.
Hmm,
dua pengalaman tadi terjadi di ibukota Mesir sendiri yaitu Kairo. Saya masih
berusaha positive thinking. Mungkin wajar ibu kota, informasi
cepat menyebar di masyarakat. Terlebih virus yang saat ini sedang naik daun
roket ini.
Kemudian
beberapa hari lalu saya ikutan rihlah ke Sinai Selatan dan Dahab. Perlu diketahui
daerah Sinai yang saya kunjungi ini bisa di bilang daerah pedalaman. Soalnya
dari rute yang kami lalui, kami hanya sekedar melihat pemukiman-pemukiman kecil
dan gunung-gunung batu diiringi gurun luas tidak ada gedung-gedung seperti
daerah Kairo dan sekitarnya antara satu pemukiman dan pemukiman lainnya pun
terpisah jauh. Untuk kedai dan pasar pun sejauh rute yang kami lewati sangat
jarang tampak, hanya gubuk-gubuk kecil dengan atap dari pelepah pepohonan. Pakaian
masyarakatnya pun masih sangat tradisional. Pula daerah yang kami singgahi
untuk istirahat ini tepat di kaki gunung. Makanya dari situ saya berkesimpulan
daerah ini merupakan salah satu pedalamannya Mesir.
Sangkaan
saya, dengan daerah seperti ini dan mayarakat yang lumayan tradisional
informasi yang mereka dapatkan juga akan terbatas dibandingkan di Kairo dan
panggilan-panggilan “kurona” yang sempat di tujukan untuk kami saat di
Kairo dulu tak terdengar lagi. Namun perkiraan saya salah lagi saat saya dan
beberapa teman sedang menuju ke salah satu supermarket kecil-kecilan dua orang
bocah sedang bermain sesamanya mengikuti kami dari belakang. Melihat wajah kami
merupakan wajah asing ia tak segan-segan melemparkan senyum jahat sejenak
kemudian,
“kurona?
Anta kurona?” (Corona, kalian Corona?) ucap salah satu bocah tadi seenak
jidatnya.
Ah,
lagi-lagi saya dan teman saya tersenyum beberapa diantara kami tertawa sambil
ngebalas
“Anta
kurona!” bocah tadi Cuma terkekah. Dasar bocah!
Dan
yang terakhir ketika panggilan ini terdengar saat kami mengunjungi Dahab. Salah
satu kota kecil di Mesir yang terletak di pantai tenggara semenanjung Sinai.
Daerah ini memang dikenal dengan pariwisatanya Mesir. pantainya yang menawan
serta ombaknya memberi daya tarik tersendiri bagi para pendatang.
Malam
itu saya dan beberapa teman saya berkeliling pasar Dahab yang tepat berada di
bibir pantai. Salah satu pasar yang menjual berbagai macam buah tangan untuk
dibawa pulang. Tak heran jika tempat ini sangat padat oleh pendatang mancanegara.
Saat saya sedang asyik berjalan santai dan melihat kiri-kanan sambil menikmati
angin pantai lagi-lagi seorang bocah dengan asyiknya sambil lompat-lompat
berteriak.
“Kurona,
ma’aka kurona?” (Corona, sama kalian Corona ya?) lagi-lagi walaupun sudah
berpindah provinsi, dari ibukota ke Dahab tempat yang notabenenya disinggahi
turis bahkan kepelosok gunung sekalipun panggilan-panggilan itu masih tak
luput.
“Nanti
jika ada yang manggil lagi kita dengan corona ludahin aja biar tau rasa dia!”
ucap kawan saya kesal.
Entah
apa yang bocah-bocah itu imajinasikan terhadap virus korona sehingga menjadi bahan
candaan untuk para pendatang. Sungguh, walaupun hanya sekedar bercanda sangat
tidak enak rasanya dipanggil dengan panggilan rasis demikian. Bahkan saya
merasa lebih baik dipanggil “Shiniy” deh
daripada “kurona”. Ya, walaupun yang memanggilnya cuma anak kecil
dan orang-orang awam Mesir, tapi sangat risih rasanya. Dari sini secara tidak
langsung saya mengerti bagaimana rasanya mereka yang benar-benar dinyatakan
positif terjangkit virus corona harus diisolasi, bahkan diasingkan dari
masyarakat.
Kemudian
apa yang keliru dari perkataan bocah-bocah tadi? jawabannya tentu bocah-bocah
tadi tak bisa disalahkan sepenuhnya mereka hanya sebatas anak kecil yang
mencoba merayakan kebahagiaan mereka
dengan caranya masing-masing diringi dengan akalnyanya belum sempurna. Yang
keliru adalah disaat kita yang sudah memiliki akal sempurna masih mencoba
berlaku rasis. Dan yang tak habis pikir lagi adalah beberapa media yang sengaja
menjadikan isu corona untuk mengejar trend berita. Dengan tidak ragu mereka
membeberkan Identitas lengkap para
korban yang seharusnya ditutup agar tidak timbul rasis kelak diantara
masyarakat.
Yang
lebih keliru lagi lagi adalah ketika ada orang dewasa beragama Islam yang
menganggap orang yang positif terjangkit virus corona ini merupakan azab dari
Allah swt. Dengan percaya diri mereka meneriakinya sambil membawa dalil-dalil
yang belum tentu penafsirannya seperti yang mereka tafsirkan. Dan yang lebih
merisihkan lagi mereka mengklaim bahwa yang mereka katakan merupakan pandangan
Islam sepenuhnya untuk kondisi dunia saat ini. Dari situ saya mulai curiga,
jangan-jangan media yang menyebarkan identitas serta orang-orang yang
mengatakan mereka yang terjangkit virus corona merupakan azab isi pikirannya
tak jauh berbeda dengan orang yang memanggil kami dengan “kurona”.
Padahal
dalam Islam sendiri mencela orang lain merupakan hal yang dilarang. Dalam Islam
dianjurkan untuk saling mendoakan saudara-saudara kita yang terjangkit terkena
musibah ini, siapapun itu baik saudara seagama maupun tidak. Dengan mereka yang
tidak seagama kita bisa membagikan hal-hal positif yang dapat menumbuhkan
semangat bagi para penderitanya.
Kebayangkan,
gimana rasanya dikata-katain orang. Saya dan teman-teman saya saja yang sempat
dipanggil dengan sebutan corona rasanya sangat menjengkelkan, apa lagi mereka
yang positif terjangkiit virus ini dan sedang dalam tahap penyembuhan tentu
lebih menyakitkan dibanding dengan apa yang pernah kami rasakan.
Dianggap
berbahaya oleh masyarakat, dijadikan bahan ghibahan bahkan dijadikan headline berita
dibeberapa media, bahkan sampe kotanya di blokade, sangat terpukul tentunya.
Maka dari itu fungsi kita sebagai sesama manusia adalah saling meringankan
beban. Sudah cukup beban penyakit yang mereka emban jangan lagi menambah beban
sosial. Saling menyemangati sebagai satu bangsa, sebagai sesama penduduk planet
bumi, bukan berlaku rasis sambil mencerca mereka. Mereka yang sedang dalam
tahap penyembuhan sedang berjuang butuh semangat bukan cerca dan cacian. Mari sama-sama membagikan hal-hal positif, mari
sama-sama mengecam hal-hal rasis, mari sama-sama saling berbuat baik tanpa merasa
diri kita yang terbaik. Mari kita kenalkan Islam yang ramah, Islam yang tamah
bagi seluruh jagat raya.[]
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat II Jurusan Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo
Posting Komentar