Di Dalammu, Ada Kamu


Oleh: Haris Akbar Zahari*
Sumber foto: @hafizuddinn

Setelah ditinggalkan kekasihku dua tahun lalu, aku lebih mudah mengerti segala jenis perasaan di bumi. Sayang, benci, takut, gelisah, ragu, dan andai kutuliskan semua perasaan yang pernah kuteguk itu, maka tulisan ini tidak akan usai.

Di antara timbunan perasaan itu, aku paling lihai dalam mengendalikan kesepian. Kekasihku adalah satu-satunya orang yang kukenal, kuanggap keluarga walaupun belum sepat kulamar. Dia pergi karena sudah waktunya pulang ke Tuhan dengan usia muda. Semenjak itu, aku tahan banting dengan rasa sepi. Jika orang-orang melihat hujan turun bersama kenangan, maka aku tidak, walaupun sendiri menikmatinya, tidak pernah kurasakan kesepian itu.

Seolah-olah waktu mendidikku dengan baik, lantas mengirim seorang pria kekar dan merobek dadaku dengan belati untuk mencabut rasa sepi itu. Aku tidak pernah membual dan menceritakan nasibku pada orang, toh aku tidak sendiri, dalam setiap orang pasti ada orang lain yang tidak tampak.

Kuhitung sekarang sudah 734 hari semenjak kepergian kekasihku, atau 17.616 jam. Maka secara tidak kebetulan dan tidak diduga, hari ini aku merasakan kesepian itu. Ada sesuatu yang hilang, agaknya semalam seorang pria kekar itu datang lagi dan menancapkan perasaanku kembali. Kuanggap ini hari bersejarah, maka kuceritakan tualangku pada kalian semua.

Aku bergegas mandi, berangkat ke toko baju dan membelikan sebuah kemeja berwarna hitam, celana panjang legam, tali pinggang, flat cap hitam kotak-kotak, jenis topi ini sering digunakan pekerja kasar, anak muda atau preman sialan. Oh aku hampir lupa, sebelum pulang ke rumah, kubelikan juga sepatu sport hitam kekinian, kaca mata musim panas, dan sebuah amplop merah jambu keimutan.

Setelah jok mobil belakangku penuh dengan barang baru, aku meluncur ke rumah, mengambil hape di sakuku dan langsung menekan nomor yang sudah kusiapkan. Maka sedetik kemudian, 3 kilometer dari tempatku, telepon genggam milik toko bunga tersohor di kotaku berdering. Dalam hitungan detik pula, seorang pelayan dengan senyumnya mengangkat panggilan itu, seolah-olah dia sudah menunggunya dengan lama.

“Bersama siapa?” tanya suara serak dari toko bunga masyhur itu, kusumpahi toko itu agak bodoh, lebih baik jika yang melayani panggilan adalah seorang perempuan dengan suara yang bisa menenangkan. Lagian ini toko bunga, ladang kerjanya wanita.

“Berikan bunga paling bagus dari tokomu,” aku tidak acuh dengan basa-basinya. 
“Semuanya bagus, Pak.”

Aku tidak setua itu. Berani-beraninya dia menyebutku bapak-bapak. Ah, naik pitam tiba-tiba.

“Yang paling mahal kalau begitu.” 
“Baik, kami punya bunga tulip istimewa, harganya 1,5 juta” 
“Langsung bungkus.” 
“Anda bisa bernego, Pak.” 
“Tidak usah, kirimkan sekarang juga, alamatnya sudah kukirim ke surelmu.”

Butuh beberapa detik, suara parau itu baru menjawab. Sepertinya dia terperangah mendengarku yang tidak mau berkompromi soal harga dan basa-basi sejenak.

“Baik, ini untuk kekasih Anda atau bagaimana, Pak? Sebagai hadiahkah? Apa perlu kami selipkan nama penerima, pengirim dan kata-kata romantis seputar cinta mungkin?” 

Pelayan itu bertanya panjang lebar, dia sudah mengerti sikapku yang tidak suka bertele-tele. Maka kujawab dengan mudah, tanpa menarik napas berkali-kali. Setelah selesai, kututup panggilan itu dengan cepat.

Matahari siang menyiram bumi dengan baik, seperti titah Tuhannya. Kiriman itu akan sampai 6 jam lagi. Kutanyakan mengapa sangat lama. Mereka berdalih butuh dua jam untuk menyiapkan kiriman, empat jam kurang lebih menuju alamatku. Sangat tidak profesional, katanya toko terkenal.

Kusabet handuk, tertatih-tatih aku ke kamar mandi. Hari yang spesial, aku harus tampak bersih. Bukannya sedang gila hingga mandi dua kali dalam 3 jam. Aku hendak merayakan hari istimewa ini, kalian juga akan melakukan hal serupa, Kawan.

Seperti rencanaku, aku memakai semua barang yang kubeli tadi. Segala sesuatu yang melilit tubuhku itu barang baru. Kuingatkan lagi, hari yang spesial. Aku berlari naik ke mobil sedan hitamku, lalu bersegera menuju kafe terkeren di kota ini. Itulah alamat yang kukirimkan ke pelayan toko tadi.

***

Sumber foto: @oldtowncairo

Harga menu di kafe ini keterlaluan, memang cocok dengan tempatnya yang megah. Tapi sangat disayangkan, hanya ada beberapa orang yang datang. Masalah keuangan di semua kota tetap sama, merosot sekali. Mungkin cuma para pejabat yang bisa singgah di sini.

Setelah menunggu 5 jam setengah. Seorang perempuan dengan kostum pelayan toko berwarna merah sudah berdiri di samping mejaku. Kutatap dia yang tersenyum semringah, aku membalas, melepas kaca mata hitamku dan mepersilakannya duduk di depanku. Di tangan gadis itu ada seikat tulip merah.

Tiba-tiba napasku menderu. Senyumnya masih tergantung di sana, abadi. Semilir angin tiba-tiba membawa gerimis yang sederhana. Senar gitar dipetik, lagu-lagu romansa membuat kodok-kodok kota berdansa di selokan jalan raya. Serunai kebahagiaan mulai terdengar. Denting kenyamanan dipukul. Dupa asmara menyala-nyala. Untuk pertama kali dalam dua tahun terakhir, wajah manis seseorang mengalir di dadaku.

“Ini kiriman Anda, Mas?”

Aku terpaku menatap tulip merah itu disodorkan. Butuh beberapa waktu, aku kembali mengendalikan perasaanku dan bisa berlaku biasa. Aku tidak mengambil bunga itu, hanya mengangguk membenarkan bahwa itu pesananku.

“Siapa namamu?” tanyaku. 
“Bunga.”

Namanya bunga? Atau dia sedang menyebutkan nama profesinya sebagai tukang bunga?

“Namaku Bunga, Mas. Kebetulan sekali aku kerja di toko bunga juga.” Gadis itu menjawab kebingunganku. Ia masih saja tersenyum. Membuat darahku membeku.

“Bisa bantu aku?” tanyaku. Dia mengangguk.

“Bacakan tulisan di kertas-kertas itu.” Aku menunjuk kertas putih dengan hiasan pita di atas bunga tulip itu. Bunga menatap heran, kerut wajahnya bertanya tanpa suara, ia bingung. Aku tersenyum.

“Bunga, buka kertas berpita itu, bacakan setiap tulisannya kepadaku, anggap saja aku ini buta huruf,” kataku menjelaskannya. Dia pun mengangguk dan siap membaca.


Kepada: Sebiru

Selamat ulang tahun, kudoakan kebaikan selalu menyertaimu. Ingat selalu, di dalammu ada seorang lelaki gagah yang selalu menemani kesendirianmu. Kau tidak pernah sendiri. Aku juga ada di sana, menjadi temanmu, agar kau lupa apa itu sepi.

Dari: Aku


“Terima kasih, Bunga.” Aku bangun, mengambil tulip itu. Bunga ikut bangun dan masih heran.

“Sebiru itu namamu?” tanya Bunga dengan senyum tanggung. 
“Iya.”
“Kau membeli bunga itu untuk dirimu sendiri? Tidak ada pacar atau istri?” 
“Kekasihku sudah lama pergi.” 
“Ini hari ulang tahunmu?” 
“Iya.” 
“Kau….”

“Iya, aku sendiri, tanpa siapa-siapa. Jadi kuputuskan menghadiahkan diriku sendiri seikat bunga di hari ulang tahun ini. Lengkap dengan ucapannya, dan tak kusangka juga dengan suaramu yang merdu membacakannya. Terima kasih banyak, Bunga.”

Aku merapikan kemeja, mengambil amplop merah jambu dari sakuku dan meletakkannya di atas meja.

“Ini, ambillah.”

Belum sempat pelayan toko bunga itu bertanya apa isinya. Aku langsung membuka pintu. Menyeberang jalan mencapai titik mobilku. Bagian atas kepalaku ditembaki hujan bertubi-tubi, aku tidak basah sama sekali. Hatiku mengembang mengingat ucapan di kertas putih tadi. Itulah kalimat terakhir kekasihku dulu, sebelum meninggalkanku.

Aku tidak pernah sendiri lagi.




*Penulis adalah mahasiswa tingkat 1 Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top