Dunia Sophie: antara Belajar Filsafat dan Ironi Wanita
Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
Sampul depan (Dok. Pribadi). |
Judul Buku: Dunia Sophie (Original: Sofies Verden)
Penulis: Jostein Gaarder
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 1991 (Berbahasa Norwegia)
Edisi Pertama: Februari 2008 (Bahasa Indonesia)
Edisi Baru: Oktober 2019
Jumlah halaman: 798 Halaman
Ini merupakan novel fiksi semi non-fiksi yang bertemakan sejarah filsafat dari masa ke masa. Novel ini lebih cocok dikategorikan sebagai novel setengah fiksi dan setengah non-fiksi karena isinya selain mengandung cerita khayalan juga mengandung banyak pelajaran atau fakta mengenai filsafat.
Menceritakan seorang putri berkebangsaan Norwegia bernama Sophie yang kesehariannya berubah setelah menerima surat misterius yang berisikan pertanyaan “hoem er du?” (siapa kamu?) dan pertanyaan “hvor denne verden kom fra?” (dari mana dunia ini berasal?”. Pertanyaan ini juga sudah pernah menjadi persoalan sejak abad klasik, ini menjadi pembuka atau sambutan cerita yang bagus sebagai novel yang ingin memperkenalkan filsafat. Berhari-hari kemudian, Sophie terus mendapatkan surat-surat misterius itu yang isinya pelajaran filsafat. Tapi surat-surat yang sampai kepadanya bukan saja surat yang dialamatkan padanya, ada juga surat yang dialamatkan pada wanita seusianya yang tak dikenal bernama Hilde Moller Knag. Sophie hidup bersama ibunya, teman dekatnya yang bernama Joanna, guru filsafatnya Alberto Knox, Hilde sebagai wanita misterius yang terus dicari-cari identitasnya, tambah satu lagi pria misterius yang terus mengirimkan suratnya bertuliskan nama Hilde.
(Dok. Pribadi) |
Pembahasan utama buku ini adalah memperkenalkan sejarah filsafat dari mulai dari sekitar abad ke-4 SM yakni masa filsuf alam (naturalive philosopher) seperti Thales, Anaxagoras, Parmenides, Heraclitus, Democritos dan lain-lain. Kemudian berlanjut ke filsafat Yunani kuno, Socrates sebagai bapaknya, Plato sebagai murid sekaligus anak didik dari Socrates, Aristoteles sebagai anak didik dari Plato sekaligus cucu didik dari Socrates. Berlanjut terus sampai ke Helenisme, Indo-Eropa, abad pertengahan, Renaisans, abad pencerahan, lika-liku kaum empiris dan rasionalis, Kant, romantisisme, Hegel, sampai abad ke-20. Semua pengenalan mengenai sejarah filsafat ini akan dapat dinikmati dalam bentuk cerita yang menarik dan dengan banyak contoh yang akan membuka cakrawala kita untuk bisa memahami berbagai nuansa pemikiran yang tak biasa.
Buku-buku yang membahas filsafat secara umum dapat dikatakan sebagai buku-buku yang sulit dipahami, tapi buku ini sepertinya termasuk buku yang paling mudah untuk memahami apa itu filsafat, pertanyaan filosofis dan nalar kritis.
Dari sudut pandang pribadi, dari segi materi, Socrates dan Darwin adalah dua sosok favorit saya dari segi perjalanan hidup dan sifat kepribadian mereka. Socrates adalah seorang filsuf yang sangat rendah hati dan sederhana, sedangkan Charles Darwin adalah seorang ilmuwan yang sangat cinta alam dan penuh kehatian-hatian dalam mengeluarkan teori atau pendapat. Kemudian, Aristoteles adalah sosok yang paling mempengaruhi saya dari segi pemikiran, setelah membaca di bagian Aristoteles, saya tiba-tiba tergerak untuk merapikan kamar yang semula berserakan tidak jelas. Maka Aristoteles dikenal sebagai penemu klasifikasi alam dalam biologi, dia yakin bahwa setiap yang ada di alam ini ada klasifikasinya kecuali sebab pertama yang diistilahkan dengan “Tuhan”, dia yakin bahwa ada sebab pertama atau ada satu Tuhan yang menciptakan ini semua. Dalam filsafat Aristoteles juga diperkenalkan apa itu sebab terakhir, logika aristotelian (Mantiq Qadim), Tangga Alam, Metafisika dan Abstraksi. Dia juga mengkritik gurunya sendiri, Plato mengenai dunia dua dimensinya terkhusus soal dunia ide.
(Dok. Pribadi) |
Kritik
1. Walaupun Aristoteles sebagai filsuf favorit dari segi pemikiran, tapi saya pribadi termasuk penulis dari buku ini mengkritik keras akan pendapat Aristoteles mengenai “wanita” yang sangat keliru. Ini wajar karena Aristoteles sendiri tidak banyak pengalaman praktis menyangkut kehidupan kaum wanita dan anak-anak. Setelah kita tahu bagaimana pendapat Aristoteles dan St. Thomas Aqunias mengenai wanita, sebagai muslim, kita sadar bahwa Rasulullah Saw. adalah sosok sebenarnya sebagai penyelamat hak dan pemberdayaan wanita sebagaimana tertera dalam ajaran Islam.
2. Dalam buku ini, sama sekali tidak disinggung bagaimana kiprah filsuf muslim yang juga banyak mempengaruhi dunia filsafat itu sendiri. Penulis lebih fokus ke sejarah filsafat atau pemikiran Eropa. Mengenai agama samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi) ada dijelaskan sedikit dalam pembahasan Bangsa Semit.
3. Balik lagi ke masalah wanita, menurut saya, disini Jostein Gaarder sebagai penulis ingin bertanya sekaligus mengkritik masa-masa kejayaan filsafat “mana kiprah wanita dalam dunia filsafat? Apakah senaif itu kaum pria dalam menutup-nutupi hak kaum wanita?” Tapi hakikatnya, kita tidak tahu secara pasti juga apakah sebenarnya wanita itu memang sengaja dibatasi haknya dalam berargumen atau memang wanita di masa lalu tidak suka berfilsafat, penulis tidak yakin dengan kemungkinan kedua. Maka mungkin ini menjadi alasan kalau penulis buku mengangkat wanita sebagai tokoh utama dalam novel ini. Penulis juga berkali-kali mengulang penjelasan kalau wanita terkadang lebih ilmiah ketimbang pria.
Disini penulis hanya menyebut 2 filsuf wanita secara spesifik: Hildegard dan Olympe de Gouges. Olympe de Gouges, kepalanya dipenggal pada tahun 1793 (dua tahun setelah revolusi Perancis) karena sangat gigih dalam menerbitkan deklarasi hak asasi kaum wanita, dia menuntut seluruh hak yang sama bagi kaum wanita sebagaimana kaum pria. Maka ini bisa jadi alasan bagi Jostein Gaarder untuk mengangkat derajat kaum wanita agar lebih banyak berkiprah dalam dunia filsafat suatu saat nanti karena yang sebelum-sebelumnya, status wanita dalam sejarah filsafat agak ironis.
4. Dari segi cerita dan alur, banyak yang mereview kalau ceritanya tidak menarik dan endingnya tidak sesuai ekspektasi. Tapi menurut saya pribadi setelah membaca buku ini dengan seksama dan penuh penghayatan, dari segi cerita mungkin bisa dikatakan biasa-biasa saja, tapi untuk konsep, prinsip atau filosofi yang digunakan oleh penulis sangat-sangat menarik, penulis meminjam konsep “dunia ide” dalam cerita ini, maka bagi yang paham betul bagaimana filsafat Plato, justru akan lebih memahami dan paham bagaiamana menariknya konsep cerita yang disajikan.
5. Bagi yang belum sama sekali tahu atau baca buku non-fiksi tentang filsafat dari segi etimologi dan terminologi, akan sulit untuk memahami buku ini, tapi ini termasuk buku yang mengangkat tema filsafat termudah. Maka disarankan kepada pembaca untuk benar-benar fokus dalam membacanya. Direkomendasikan untuk membaca di taman atau kamar sendirian.
Lebih dan kurang, seperti ini resensinya. Saya memberikan nilai 85 (1-100) untuk buku ini dan sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin tahu apa itu filsafat.
*Penulis adalah Mahasiswa Tingkat 2 Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo.
Posting Komentar