Kok Segini? Harusnya Lebih Banyak!
Oleh: Naufal Bahar*
Mari kita buka dengan indahnya firman Allah subhaanahu wa ta’ala yang berbunyi,
Sumber foto: republika.co.id |
Mari kita buka dengan indahnya firman Allah subhaanahu wa ta’ala yang berbunyi,
اللهُ الصَّمَدُ
Artinya: “Allah tempat meminta segala sesuatu.” (Q.S. Al-Ikhlas [112]: 2)
Jawabannya serupa tapi tidak sama. Untuk pembicara pertama, ia baru saja melupakan rasa syukur atas apa yang ia terima dan kepedulian atas apa yang mungkin menimpa saudaranya sehingga kadar bantuannya berbeda. Ia juga melupakan keadaan saat dulu ia sangat membutuhkan bantuan sehingga kadar bantuan yang ia terima lebih banyak dari saudaranya tadi. Juga tentu ia tidak berusaha mengingatnya hingga membuat kata-kata seperti itu terlontar begitu saja.
Sungguh tidak banyak yang kita lupakan akhir-akhir ini, walau beberapa darinya memerlukan sedikit usaha untuk mencoba mengingatnya kembali, tapi tetap pada akhirnya kita tidak lupa, sebab rasa khawatir pasti datang saat kita tersadar akan adanya hal yang luput dari ingatan. Walau hanya sesaat. Berkat anugerah rasa khawatir itu, setelahnya pikiran kita akan lebih keras bekerja untuk tidak melewatkan sesuatu apapun kecuali mengingatnya. Semata untuk menenangkan hati kita dan berharap bisa membuat segalanya menjadi lebih baik.
Sikap yang sekiranya singkron dengan sifat lupa adalah abai atau acuh tak acuh. Suatu keadaan dimana rasa khawatir itu hilang walaupun sejatinya sesuatu yang hilang ini patut dikhawatirkan. Itulah sisi pikiran yang paling sering menyiksa hati nurani dan hampir tidak bisa dielakkan. Dari sikap ini berkembanglah yang namanya rasa kurang peduli dan banyak mengeluh.
Mengapa bukan aku, padahal aku berhak? Kenapa harus ini, sedangkan dia dapat itu? Bagaimana bisa begini, sedangkan kita berharap yang lebih baik dari ini? Beriringan kata-kata ini membanjiri pikiran, dan terus saja tanpa akhir. Ia akan ada di pikiran kita tanpa memandang keadaan, hanya mungkin berbeda intonasinya. Saat mendapatkan bantuan misalnya, kata berikut akan terdengar, “Kenapa segini? Padahal kan rumah kita lebih banyak orangnya dibanding rumah dia. Dia justru lebih banyak dikasih tadi aku liat” (semoga tidak akan terdengar lagi setelah ini). Mari tanyakan, apa yang si pembicara lupakan dan tidak berusaha mengingatnya?
Atau saat ada berita dibagikannya uang untuk pelajar yang membutuhkan, kata berikut akan terdengar, “Kita gak pernah dikasih uang kayak gitu, padahal kita dan mereka sama-sama pelajar dan sama-sama membutuhkan” (semoga tidak akan terdengar lagi setelah ini). Mari tanyakan lagi, apa yang diabaikan si pembicara dan seharusnya ia pikirkan sebelum melontarkan kata itu?
Sumber foto: She.Id |
Jawabannya serupa tapi tidak sama. Untuk pembicara pertama, ia baru saja melupakan rasa syukur atas apa yang ia terima dan kepedulian atas apa yang mungkin menimpa saudaranya sehingga kadar bantuannya berbeda. Ia juga melupakan keadaan saat dulu ia sangat membutuhkan bantuan sehingga kadar bantuan yang ia terima lebih banyak dari saudaranya tadi. Juga tentu ia tidak berusaha mengingatnya hingga membuat kata-kata seperti itu terlontar begitu saja.
Untuk yang kedua, si pembicara seharusnya memikirkan kehidupan yang dijalani saudaranya sebagai pelajar sehingga membuat ia dianggap layak untuk mendapatkan uang, tapi hal itu diabaikannya begitu saja. Ia sepatutnya menganggap kondisi kehidupannya selaku pelajar yang jarang merasakan kekurangan dan bisa memenuhi kebutuhan sebagai sebuah nikmat yang sangat diinginkan kawan-kawannya yang lain, akan tetapi hal itu juga diabaikan.
Sikap mengabaikan dan acuh tak acuh ini yang akan menutup rasa simpati, sikap ini juga yang bertanggung-jawab atas jauhnya diri dari rasa puas dan kata cukup atas apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini sifat manusiawi yang berbahaya. Tapi beruntunglah kita sebab Allah tidak pernah mengabaikan obat yang akan menyembuhkan kita dari sikap itu. Bahkan obatnya bukan satu, ada banyak disebutkan dalam firman-Nya. Salah satunya adalah doa, sesuai dengan firman Allah yang artinya, “Allah tempat meminta segala sesuatu”.
Doa itu obatnya. Doa juga yang mengantarkan kita pada obat-obat yang lain untuk membuang sikap berbahaya tadi. Obat ini cukup mudah diaplikasikan dan cukup masuk akal dipertimbangkan, juga cukup nyata hasilnya. Tidak berhenti sampai di situ, dalam ayat lain disebutkan,
وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَ لْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُم يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186).
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo.
Posting Komentar