Cara Kembali ke Al-Quran dan Sunnah Ala Alumni Hijrah

Oleh: Annas Muttaqin*

(sumber foto: instagram/hijabrevivalofficial)

Sebagai seorang mahasiswa yang mendalami Ilmu Islam, saya sangat terkesan dengan perkembangan dakwah Islam yang terjadi di Indonesia. Saat ini semangat dakwah pemuda sepertinya semakin besar. Ditambah lagi semangat para akhie dan ughtea fillah dalam menambah follower berdakwah. Jika dulu semangat dakwah hanya bisa didapat di mesjid dan balai pengajian, kali ini balai-balai dan masjid-masjid tersebut bisa saja pindah ke beranda akun media sosial kita.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga dibalik semangat dakwah-dakwah Islam yang sangat gencar saat ini terdapat berbagai macam paham yang sangat getir yang dapat merusak ukhwah Islam, bahkan tidak mencerminkan Islam itu sendiri. Entah paham itu dibuat-buat kemudian mengatasnamakan Islam ataupun memang segelintir kelompok gagal paham saat belajar tentang Islam. Dari dua kelompok ini hanya salah satu dari mereka yang bisa kita salahkan yaitu kelompok  menciptakan pahamnya sendiri kemudian mengatas namakan Islam untuk menarik umat manusia yang didominasikan oleh kaum muslimin saat ini. Sedangkan yang satunya lagi tidak bisa kita salahkan sepenuhnya kepada mereka yang sedang belajar, melainkan harus kembali pada introspeksi kita sebagai pelajar agama dalam memperkenalkan Islam.

Katakan saja slogan yang sering digunakan untuk menarik simpati orang Islam “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” atau boleh juga kita gunakan bahasa keren yang biasa di sablon di baju-baju  akhie “ Turn back to Al-Quran and Sunnah”. Slogan ini seakan dikatakan oleh orang yang sedang berada di dalam rumah kepada orang tersesat di hutan untuk pulang agar selamat “kembalilah ke rumah kalian”. Namun, sayangnya orang tersebut hanya menyerukan perintah tersebut tanpa menjelaskan cara dan jalan yang benar agar bisa sampai ke rumah dengan selamat.

Baca juga: Kawan, Kitalah Pengubah Sejarah!

Begitupun slogan yang biasa terpampang di baju sebagian akhie-akhie. Slogan tersebut seolah-olah mengajak kita membaca kitab-kitab hadis dan Al-Quran, tapi tidak menjelaskan bagaimana cara membaca dan memahami Al-Quran dan Sunnah secara baik dan benar. Sama halnya seperti menyeru kembali orang yang tersesat di hutan ke rumah tadi, tapi hanya disuruh melihat kompas atau peta tanpa menjelaskan bagaimana cara menggunakan dan memahaminya.

Tapi jangan gundah kawan, cara dan jalan untuk “kembali ke Al-Quran dan Sunnah” secara baik dan benar tersebut akan kita bahas sekarang. Oh ya sedikit tambahan sebelum memulai biar gak salah paham, yang dimaksud Sunnah di sini adalah Hadis Nabi Saw, bukan Sunnah yang dimaksudkan dalam ilmu Fiqh atau Ushul Fiqh. Pembahasan kali ini mungkin agak sedikit panjang, semoga saya bisa memb­­ahasnya dengan bahasa yang tidak membosankan dan mudah dipahami agar kelak kita tidak hanya bisa mengajak “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” tapi juga bisa menjelaskan bagaimana cara kembali ke Al-Quran dan Sunnah secara baik dan benar. Tanpa banyak ngebacot lagi mari kita mulai pembahasannya.

(source: pexels)
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Al-Quran dan Sunnah diturunkan dan dilafazkan dalam bahasa Arab. Maka sudah tentu untuk memahaminya, hal pertama yang harus kita kuasai adalah pengetahuan tentang ilmu-ilmu menyusun bahasa Arab itu sendiri. Secara garis besar ilmu-ilmu tersebut bisa kita bagi dalam empat bidang ilmu pengetahuan.

1. Ilmu bahasa Arab itu sendiri, artinya penguasaan kosa kata beserta makna dari kosa kata dalam bahasa Arab. Ya, hal ini sudah menjadi suatu hal yang sangat maklum. Sama halnya saat kita ingin mempelajari bahasa Inggris atau bahasa lainnya maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah menghafal dan menguasai sebanyak mungkin kosakata dalam bahasa tersebut. 

2.  Ilmu Sharaf, yaitu bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk kata yang dibangun dalam bahasa Arab. Ilmu ini bisa dikatakan salah satu ilmu yang dikhusukan saat belajar bahasa Arab. karena dalam bahsa Arab sendiri kadang satu kata memiliki dasar huruf yang sama. Namun, dengan baris (harakah) dan beberapa tambahan huruf yang berbeda. Nah, setiap perbedaan baris atau pertambahan huruf pada huruf-huruf dasar tersebut akan menjadikan berbedaan pula pada makna yang akan dihasilkan oleh kata tersebut.

3. Ilmu Nahwu, ya ilmu ini mungkin terkesan sulit bagi orang-orang  baru menginjakkan langkah dalam belajar bahasa Arab. Namun, Ilmu ini merupakan Ilmu sangat penting untuk mengetahui susunan kata dalam bahasa Arab. Mana yang menjadi pelakor pelaku (fa’il), pekerjaan (fi’il), dan apa/siapa objek perkejaan tersebut (maf’ul), mana yang menjadi objek (mubtada’dan penjelasan terhadap objek tersebut(khabar). Karena, kadang kala suatu susunan kalimat dalam bahasa Arab tersusun tidak mengikuti pola biasanya. Bisa jadi objek ditulis lebih awal dari pelaku, ataupun  suatu pekerjaan tidak membutuhkan pada objek sama sekali. Semua susunan-susunan ini dipelajari dalam bidang ilmu Nahwu.

Baca juga: Islam Tidak Pernah Sunyi dari Kejayaan

4. Yang keempat ini mungkin sudah berkaitan dengan sastra Arab, ilmu ini disebut ilmu Balaghah. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui makna terselubung dari suatu ungkapan yang bukan pada tempatnya. Misalnya,” Zahed ingin menikahi bunga desa kampungnya”. Nah, kata bunga desa tersebut tentulah bukan makna sebenarnya. Karena jika itu makna sebenarnya maka Zahed kemungkinan besar mengidap fetish atau kelainan seksual (maaf cakap). Maka dari itu kata “bunga desa” harus ditinjau sesuai dengan konteks pembicaraan. Dalam bahasa Indonesia kalo gak salah saya, hal seperti ini dikenal juga dengan istilah konotasi (bukan makna sebenarnya).

Itulah empat modal awal ilmu yang  harus benar-benar dikuasai oleh mereka yang ingin mengetahui arti yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, (Nash). Atau kalo Syekh pembimbing kami bilangnya gini,

"و كل هذه العلوم لفهم كل ما ورد في لسان العرابي عامة" )فضيلة الشيخ حسام رمضان)

“Itulah empat ilmu yang harus dikuasai untuk memahami perkataan orang-orang Arab secara umum” ya maksud beliau, Al-Quran dan hadis merupakan dual hal yang dilafazkan dalam bahasa Arab. Maka untuk memahami keduanya harus memahami bahasa Arab terlebih dahulu. Ingat baru hanya sekedar mengetahui perkataan Arab!

Namun,  apakah empat ilmu itu cukup untuk bisa  “Kembali pada Al-Quran dan Sunnah”? Jawabannya ada dua. Jika yang dimaksud “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah” adalah sekedar mengetahuinya dari segi keduanya dilafazkan dari perkataan Arab biasa maka empat ilmu itu lebih dari cukup. Namun, jika yang dimaksud “Kembali pada Al-Quran dan Sunnah” adalah memahami dan mengetahui perkataan bangsa Arab dari segi keduanya bersumber dari kalam Allah dan Nabi-Nya, bisa meng-istinbat hukum (mengeluarkan hukum) atau memahami maksud kata yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah apalagi untuk bilang “ini haram!, itu haram!” maka empat hal tadi sangat jauh dari kata  cukup wahai para akhie, ughtea.

(source: instagram/islamkingdom1)

Diperluklan tambahan ilmu khusus yang berhubungan dengan,“thariqatu at tanzil wa asaniduha” yaitu dari segi Al-Quran dan Sunnah merupakan dua hal yang dilafadzkan dalam bahasa Arab.Namun, memiliki proses penurunan serta periwayatannya. dua hal inilah yang membedakan antara perkataan Arab biasa dan kalam Allah serta Nabi-Nya yang sama-sama dilafazkan dalam  bahasa Arab. dua hal ini juga yang membuat seorang yang ingin memahami lafadz Al-Quran dan Sunnah serta men-istinbat hukum selain harus menguasai empat hal tadi juga harus menguasai ilmu Tarikh At Tasyri’ (sejarah pensyariatan) Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) asbabul wurud (sebab terjadinya sebuah hadis), ilmu hadis dan metode-metode periwayatan.

Nah, untuk memahami ilmu-ilmu inilah dibutuhkan lagi ilmu-ilmu lainnya. Misalnya untuk menguasai ilmu hadis, kita harus paham berbagai tingkatan hadis baik dari segi qabul wa rraddu (diterima atau di tolaknya hadis) atau dari segi man udhifa ilaihi (disandarkannya sanad) atau berbagai segi lainnya yang tidak bisa saya bahas di sini. Dari segi qabul wa rrad misalnya terbagi pada hadis sahih, shahih-pun terbagi shahih li dzatihi dan shahih ligairihi, hadis hasan, hadis hasan juga demikian terbagi pada hasan lidztihi dan hasan lighairihi, hadis dhaif, hadis daif-pun ditinjau lagi dari berbagai sebab, sehingga menghasilkan hadis mualaq, mursal, mu’dhal, hadis tadlis, dan lain sebagainya.

Apalagi untuk menguaisai metode-metode periwayatan maka kita harus mengkaji dan mengusai  ilmu rijalul hadis (ilmu yang membahas tentang sejarah perawi hadis perindividual), ilmu jarah wa ta’dil (ilmu untuk menghukumi bagaimana derajat perawi dalam meriwayatkan hadis atau ayat Al-Quran) yang di dalamnya dibahas segudang permasalahan yang sangat komplek.

Baca juga: Memaknai Seruan Al-Azhar "Kembali ke Turats"

Begitu juga untuk memehami asbabun nuzul dan asbabul wurud harus diiringi dengan mengetahui nasikh dan mansukh, mana lafadz yang bermakna umum dan mana lafadz yang bermakna khusus, mengapa dalam Al-Quran “Aqimu as shalah” bisa bermakna wajib sedangkan “fa uktubuu hu” dalam ayat hutang tidak wajib padahal keduanya merupakan fiil amar (kata perintah) dalam Al-Quran dan masih banyak lagi ilmu-ilmu lain yang harus dikuasai. Ilmu-ilmu inilah nantinya yang akan tersusun dalam ushul Fiqh, fiqh, Tafsir ayatul ahkam, Tafsir ahadisul Ahkam dan ilmu-ilmu lainnya.

Alhasil, untuk bisa “kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” dengan maksud memahaminya sebagai lafadz yang berbahasa Arab yang bersumber dari kalam Allah dan Rasul-Nya, memahami lafadz-lafadz ayat dan hadis serta meng-istinbath hukum harus melewati fase yang sangat-sangat panjang dan bertahap, tidak bisa semudah membalik daun mangga di depan rumah, atau ngilangin “Tuperrware” emak. Semuanya butuh pendalaman ilmu yang matang.

Ulama-ulama kita dahulu, untuk bisa meng-istinbath hukum saja butuh belajar secara bertahap, berpuluh-puluh tahun lamanya agar ilmu-ilmunya matang dan berbuah manis. Nah kita? Tapi gak papa sahabatku ikhwan fillah jangan insecure. Sebagai alumni “Pemuda Hijrah” saya juga pernah berada di posisi antum. kendati kita baru belajar agama beberapa tahun, kita juga bisa kok kembali pada Al-Quran dan Sunnah. Karena kembali ke Al-Quran dan Sunnah juga gak mesti selalu berhubungan dengan halal atau haram, tapi juga bisa dengan saling bersimpati pada sesama kawan, memindahkan duri dari jalanan, memberi minum binatang kehausan, nyiram bunga dihalaman, berbakti kepada orang tua dan berbagai tindakan baik dalam tatanan sosial kita. Yang terpenting, segala sesuatu dengan tujuan baik harus ditempuh dengan cara baik pula, termasuk menjaga perasaan orang lain.[]

 

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah tingkat dua Universitas Al-Azhar.

Editor: Teuku Rizki Maulana Utama



Note: Sebagian besar isi tulisan merupakan hasil dari salah satu dars bersama Fadhilatu Syekh Husam Ramadhan pembina ruwaq al Ghazali.

 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top