Fikri Aslami, Perjalanan Menuju Cinta Sejati

Perjalanan Menuju Cinta Sejati. (Dok. Pribadi)

"Plup...Plup.." jempol virtual bermunculan dari ujung layar handphone. Ratusan komentar membanjiri seisi layar. Melalui pemilihan secara online, ia terpilih menjadi ketua Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) masa "pandemi" 2020-2021. Kupiah Meukeutop sebagai tanda kepemimpinan dipakaikan di atas kepalanya. Ia berdiri tegak menghadap ratusan warga Aceh yang menonton live streaming. Wajahnya tersingkap tanda siap, matanya melihat lurus ke masa depan. Pada sambutan pertamanya ia menyampaikan satu kalimat yang redaksinya mudah dipahami. Namun, implementasinya sukar dikuasai, "Bantu saya demi KMA ini". 

Ekspresinya setelah acara selesai tak tampak menyenangkan, ia hanya duduk bersandar serta diam seribu bahasa, entah apa yang dipikirkannya.Namun, yang jelas, hal seperti ini pasti terjadi pada seluruh ketua KMA yang terpilih. 

***

Ia adalah Fikri Aslami Hasballah. Orang yang baru mengenalnya mungkin akan agak segan duluan menyapa, wibawanya sangat terasa, dan wajah gantengnya terpancar dari kulit hitam manis yang dimilikinya. 

Pria hebat tersebut merupakan putra dari bapak Ir. H.Hasballah Wahab dan ibu Hj. Rosmiana, Fikri lahir di Banda Aceh, 8 Mei tahun 1994. Ia anak kedua dari empat bersaudara. Fikri menghabiskan masa kecilnya di Banda Aceh. Meski tumbuh di ibu kota Aceh tersebut, Orang tuanya sejak kecil telah menanamkan nilai-nilai keagamaan yang luhur dalam keluarga mereka, serta mendidik anak-anak agar menjadi sosok muslim ideal luar dan dalam. 

Ia menempuh pendidikan dasarnya di MIN 1 Banda Aceh atau lebih dikenal dengan MIN Model. MIN Model merupakan salah satu madrasah ibtidaiah yang unggul di Banda Aceh. Enam tahun bersekolah disana, yang umumnya memiliki kadar pembelajaran agama lebih tinggi dari sekolah dasar biasa, memantapkan niatnya untuk masuk ke pesantren. Pilihannya jatuh pada Dayah Modern Tgk. Chik Oemar Diyan. Di pesantren, khususnya masa SMP, Fikri bukanlah sosok yang mencolok, ia menghadapi masalah yang dihadapi pula oleh remaja-remaja seumurannya, dan melakukan hal-hal yang dilakukan remaja pesantren pada umumnya. 

Sebelum membulatkan tekadnya melanjutkan SMA di pesantren tersebut, ia sempat ingin mencukupkan kehidupan pondoknya di tingkat SMP dan ingin pindah ke SMA lain. Namun, tampaknya Tuhan punya rencana yang lebih hebat baginya, seorang ustadz yang baru saja kembali dari Mesir memperkenalkan bumi kinanah, Al-Azhar, serta KMA kepadanya. Fikri remaja yang saat itu ingin pindah mengurungkan niatnya, dan memilih untuk tetap di pesantren. Ia telah jatuh hati pada Mesir, Al-Azhar, serta KMA jauh sebelum dia melihatnya, rasa cintanya ini yang membuat Fikri bertahan tiga tahun lagi di pesantren. 

(Dok. Pribadi)

Di masa SMA, ia mulai aktif di organisasi siswa, ia sempat menjadi bagian kantin hingga bagian keamanan, hari-hari SMA yang indah baginya dipergunakan dengan baik seraya berusaha memantaskan dan melayakkan diri demi cintanya, Mesir, Al-Azhar, dan KMA. 

Pada Tahun 2012, dia berhasil menamatkan pendidikan SMA-nya dengan baik. Saat itu, penyebaran informasi tidak secepat hari ini, sehingga Fikri Aslami yang sedang semangat-semangatnya menunggu info dibukanya pendaftaran ke Mesir, malah ketinggalan informasi. Pendaftaran untuk melanjutkan kuliah ke Mesir telah ditutup. Saat itu, ia sangat bimbang dan galau, hal yang selama ini diharapkannya sirna hanya karena ketinggalan informasi. 

Lagi-lagi, Tuhan punya skenario lain baginya, seorang sahabatnya memberitahukan kepadanya tentang jalur lain berangkat ke Mesir, yaitu jalur "terjun bebas". Yang dimaksud terjun bebas adalah keberangkatan tidak melalui prosedur pemerintah, namun jalur mandiri, mengurus visa, dan berangkat secara mandiri ke Mesir. Ia nantinya tidak akan langsung terdaftar di kuliah, namun harus menempuh pendidikan di ma'had terlebih dahulu. Di samping juga ada resiko keterlambatan kuliah, bahkan resiko gagal yang menyebabkannya harus pulang. Karena tekadnya yang sudah bulat, ia memilih untuk menghadapi semuanya dan kap igoe memantapkan diri berangkat ke Mesir. 

Pada 29 september 2012 ia dan tiga sahabat surganya tiba di bumi kinanah ini. Pada awal kehidupannya di Mesir ia mengalami kesulitan yang umumnya dihadapi mahasiswa baru. Terutama makanan Mesir yang sangat berbeda, belum mampu mengalahkan lidah Aceh yang sering dimanjakan pliek ue; tak lupa juga lingkungan yang ekstrim, serta udara yang semakin sejuk menjadi momok baginya. 

Kesulitan terbesar yang dialami Fikri adalah, keharusannya untuk masuk ke ma'had terlebih dahulu. Dirinya diporsir untuk mempelajari materi setingkat SMP dan SMA Mesir selama kurang lebih setengah tahun. Di setiap bulannya ia dipaksa keadaan untuk mengikuti ujian dengan materi tersebut, apabila ia tidak lulus disana selama waktu yang ditentukan, maka ia harus mengulang beberapa tahun lagi di Mesir. Demi menghindari itu ia berusaha sekuat tenaga demi cinta sejatinya yang telah tertambat dalam hati sejak tahun terakhirnya di SMP. 

Mahasiswa Aceh yang sampai ke Mesir saat itu tinggal di Mathariyah. Mathariyah saat itu dan sampai sekarang pun menjadi poros pendidikan warga Aceh di Mesir. Sehingga, berkat lingkungan yang tepat, dukungan dari para senior yang suportif, serta sokongan teman seperjuangannya, ia berhasil melewati itu semua, dan berhasil masuk ke Universitas Al-Azhar seperti teman-temannya yang lain. Kemudian ia memilih Fakultas Syariah wal Qanun Jurusan Syariah Islamiyyah. 

Selama kuliah, selain menunaikan kewajibannya menuntut ilmu sebagai mahasiswa, ia juga aktif di KMA. Menurutnya, KMA merupakan sarana untuk belajar bersosial, karena KMA dia yakini merupakan miniatur tanoeh rincong Aceh tercinta, membuatnya dapat belajar melebur dalam masyarakat. Selain itu, KMA juga dapat menjadi sarana mendalami skill individu, seperti edit gambar dan video, kepenulisan, dan sebagainya. Yang sedikit banyak merupakan aset penting dalam berdakwah di masyarakat 4.0 alias millenial. 
(Dok. Pribadi)

Karena sering aktif di kepengurusan KMA, pada awalnya di tahun 2014 ia bergabung dalam Departemen Kesejahteraan. Lalu tahun 2015, ia pun diangkat menjadi anggota Departemen Bakat dan Seni. Kemudian di tahun 2016 ia diangkat menjadi Badan Pengurus Harian (BPH) KMA, tepatnya sebagai Sekretaris II, sehingga kemampuan sosial dan individunya berkembang lagi. Pada tahun selanjutnya, ia terpilih menjadi kepala Sekolah Menulis KMA, di bawah komandonya, beberapa buku warga KMA lahir saat itu. 

Pada tahun 2017 itu ia pulang, tepatnya bulan Oktober, ia menyelesaikan studi strata satunya. Setelah lulus dan wisuda, ia memilih untuk bertolak pulang ke kampung halamannya. Awalnya ia sudah mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Mesir, dan ingin mengakhiri napak tilasnya di bumi anbiya ini. Namun, setelah berkonsultasi dengan salah seorang seniornya, ia kembali membulatkan tekadnya untuk melanjutkan pendidikan di Mesir.


Selain karena waktu yang telah dilaluinya disini masih dirasa belum cukup untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, ia juga percaya bahwasanya di Aceh sendiri belum banyak sanad-sanad keilmuan yang tinggi seperti di Al-Azhar. Sehingga dengan melanjutkan pendidikan di Mesir, harapannya bisa membawa sanad tersebut ke Aceh, karena memang, mencari sanad yang tinggi juga merupakan perkara yang mustahab dalam agama. Pada akhir tahun 2017 dia bertolak pulang seraya meninggalkan Mesir yang merupakan separuh cintanya, dengan harapan, ia dapat menjemput kembali cintanya beberapa bulan ke depan. Tujuan pulang saat itu tak lain dan tak bukan adalah untuk kembali. 

Ketika berada di Aceh, ia mengetahui bahwa ia harus menunda keberangkatan ke Mesir karena masalah administrasi, sehingga ia harus rela merindu selama setahun di Aceh. Allah Maha Baik, selama kurun waktu setahun itu Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) yang saat itu sedang gencar-gencarnya melaksanakan program. Lantas mengajaknya untuk bergabung, ia pun menyambut ajakan tersebut dengan baik. 

IKAT Aceh. (Dok. Pribadi)

Selama setahun penuh, Fikri terlibat di berbagai agenda IKAT, salah satu agenda terbesar saat itu ialah tim dakwah Ustadz Abdul shomad, ia pun terlibat di dalamnya dan berkeliling ke hampir seluruh daerah di Aceh. Selama berkecimpung di IKAT, semakin hari niatnya untuk melanjutkan s2 di Mesir semakin mantap lagi. Ia melihat sendiri dengan mata dan kepalanya apa yang dibutuhkan Aceh saat ini. 

Dia meyakini bahwsa Aceh butuh pada gerakan dan gebrakan yang dilakukan banyak orang. Misalnya saja program tahsin baca al-Quran, ia melihat program seperti ini masih sedikit di Aceh, sehingga alumni Timur Tengah yang nantinya pulang harus bahu-membahu melaksanakan hal tersebut. Aceh menurutnya juga butuh gerakan orang banyak yang membawa nilai-nilai wasathiyyah yang dapat merangkul setiap elemen masyarakat. IKAT yang dilakoninya selama setahun itu menurutnya contoh tepat untuk gerakan yang mampu merangkul tersebut. 

Tak lama setelah kembalinya ke Mesir, Maret 2019, Amaril, teman seperjuangannya yang saat itu baru terpilih menjadi ketua KMA, meminta bantuannya untuk menjadi Wakil Ketua KMA, dan ia menyanggupi permintaan tersebut. 

Pada saat menjadi BPH, Ia juga dipilih sebagai Direktur Utama KMA Tv, bahkan sempat menggantikan Amaril sebagai Ketua KMA selama sebulan lebih yang saat itu harus pulang ke Aceh karena keperluan darurat. Masa-masa tugasnya kali ini dilakukan dengan khidmat, walaupun ini kali keduanya menjadi bagian dari BPH dan tak sedikitpun menyurutkan semangatnya berkhidmah untuk KMA. 

Setelah masa jabatannya sebagai BPH berakhir, ia terpilih menjadi ketua KMA, Fikri saat itu menerimanya dengan lapang dada, meskipun agak tampak lesu. Namun, sorot matanya tidak berubah, ia hanya seseorang yang ingin berkontribusi bagi KMA. Tak terbayang, seorang Fikri muda yang saat itu dalam gundah gulana mengenal Mesir, Al-Azhar, dan KMA, kemudian muncul benih cinta dalam hatinya, jatuh bangun mengejarnya, hingga ia bisa sampai di tempat dia berdiri hari ini. Tabek Hormat! 




Penulis: Ali Akbar Alfata*
Editor  : Muhammad Syukran
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top