Ekstrem Kiri dan Kanan

Oleh: Farhan Jihadi*

(Image: @faten09 via Pinterest.com)

Samuel Paty (47) tak mengira bahwa hidupnya pada suatu hari ia akan berakhir dengan cara cukup mengenaskan: disembelih hidup-hidup. 

Sejak awal bulan Oktober 2020, Paty yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah di pinggiran kota Paris sudah menuai kontroversi. Ia menunjukkan kepada siswanya karikatur Nabi Muhammad Saw. dari surat kabar satir sarat masalah Charlie Hebdo selama diskusi kelas tentang kebebasan berekspresi. Kejadian ini memicu amarah dari sejumlah orang tua siswa yang menuntut penguduran dirinya, karena telah melecehkan simbol dasar Islam. 

Untuk membuat suasana lebih tenang, pihak sekolah mengadakan pertemuan dengan guru, dan otoritas pendidikan setempat. Namun, nampaknya keadaan berjalan tidak baik. Paty tidak tenang, ia terkadang mendapat ancaman.

Paty tinggal tidak jauh dari sekolah dan terbiasa pulang dengan berjalan kaki melalui hutan. Di tengah kontroversi pelajarannya, karena merasa terancam, ia memutuskan pulang melalui jalur pemukiman. 

Pada Jumat (16 Oktober), Abdullah Anzorov—pemuda berusia 18 tahun yang lahir di Moskow dan berdarah Chechnya—membuntuti Paty. Sebelumnya, Anzorov datang ke Perancis dengan status pengungsi dan beberapa kali tersangkut masalah hukum dengan dakwaan ringan. Ia tak pernah memiliki catatan buruk di kepolisian antiteror. 

Hal yang ia lakukan kemudian ialah tindakan di luar prediksi polisi antiteror, bahkan oleh manusia berakal sehat seperti kita. Ia membuntuti Paty yang pulang dari sekolah, menyerang kepala dengan pisau, dan menggorok leher Paty hingga terlepas dari tubuh. 

Hal yang kemudian membuat geram adalah Anzorov sempat meneriakkan “Allahu Akbar”—kalimat suci yang melekat dengan agama Islam—ketika melakukan aksinya. Dari banyak kalimat, mengapa ia harus memilih kalimat suci ini, padahal ada kalimat lain yang mungkin bisa ia gunakan, misalnya "I hate You 3000".

Di saat tokoh-tokoh muslim lainnya sedang memperbaiki citra muslim di dunia Barat, kejadian jahat ini terjadi. Sebagai muslim, kita merasa terhina dua kali. Pertama, saat ia membunuh atas pemahaman agama keliru yang ia anut dan kedua, saat ia membunuh sambil meneriakkan lafaz "Allahu Akbar".

Jika saja ia menggunakan kalimat lain, memang tidak bisa mengurangi rasa sedih dan kemarahan kita, tapi setidaknya tidak membuat kita tambah bersusah hati. Anzorov membuat kalimat "Allahu Akbar" terdengar sebagai legitimasi atas perbuatan terornya tersebut. Ini yang kemudian membuat kita makin sakit hati. 

Nah, kalau sudah begini, mau tidak mau kejadian ini mengingatkan kembali aksi kekejian dengan dalih agama dan menegakkan kalimat "Allahu Akbar" yang kerap dilakukan gerombolan ISIS di Timur Tengah. Jauh lebih parah, ISIS malah membantai dan menyembelih orang-orang yang masih satu agama dengan mereka. Hal yang hanya masuk di akal orang sinting lagi gila.

Miris sekali memang, tapi setidaknya kita bisa belajar bahwa seseorang dengan dalih kebebasan berekspresi, telah mencederai nilai sakral yang dianut pemeluk agama. Di sisi lain, seseorang dengan dalih agama, telah dengan tega menyembelih seseorang yang bahkan terkadang masih satu agama karena dianggap telah menjadi kafir (dalam kasus ISIS misalnya). Ada benturan pemikiran yang sangat kontradiktif sedang terjadi di sini. 

Wujud paling menyeramkan dari radikalisme—terlepas agama apa pun—adalah pembunuhan yang dilakukan atas atau dengan dalih agama. Di Timur Tengah kita mengenal Al-Qaeda, ISIS, dan Taliban sebagai wajah radikalisme dan ekstremisme Islam. Di Afrika Tengah, terdapat milisi Anti-Balaka, wajah dari radikalisme Kristen. Di Myanmar, kita tahu ada kelompok Budha radikal. Di India, ada gerombolan Hindu radikal. Pun di Israel terdapat kelompok Yahudi radikal. Gerombolan sakit jiwa seperti ini ada di mana-mana dan sangat berbahaya.

Lalu pertanyaannya, apakah lantas agama kemudian berbahaya? Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib, berkata bahwa terorisme maupun radikalisme bukanlah produk agama, walau mereka mengibarkan tanda dan memakai simbol agama. Mereka adalah produk akumulasi pemahaman yang keliru tentang agama, hasil dari kebijakan salah yang melahirkan kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan. 

Al-Azhar Mesir langsung mengambil sikap tegas, mengecam keras insiden terorisme Paris tersebut. Al-Azhar menegaskan penolakannya atas kejahatan keji ini dan menyatakan bahwa tindakan teroris dan pembunuhan tersebut adalah kejahatan yang tidak dapat dibenarkan dengan cara atau alasan apa pun. 

Al-Azhar menegaskan seruan yang terus menerus untuk menolak ujaran kebencian dan kekerasan dalam apa pun bentuknya, pelakunya, maupun sebabnya. Menurut Al-Azhar, setiap orang berkewajiban menghormati kesucian dan simbol agama, menahan diri untuk tidak menimbulkan kebencian dengan menghina agama tertentu. 

Menyikapi kasus ini dan kasus serupa yang kerap terjadi, Al-Azhar menyerukan pentingnya menyusun undang-undang internasional terkait kasus penghinaan agama dan simbol sucinya, sehingga orang-orang punya batasan dalam berekspresi. 

Benar, kegilaan seperti ini harus dihentikan, kebebasan berekspresi harusnya dibatasi agar tidak semena-mena menyinggung atau melecehkan sesuatu yang dianggap suci oleh seseorang atau suatu kelompok. Tentu saja, para pemeluk agama juga tidak boleh bersikap ekstrem yang kemudian menyebabkan agama itu sendiri dinilai aneh dan asing oleh orang awam yang tak mengerti apa-apa. 

Lalu, apakah hanya "kegilaan" beragama yang membunuh? Tidak juga, jauh dari agama secara ekstrem juga sangat berbahaya. Dalam sejarah dunia, bukan hanya kelompok agama garis kanan ekstrim yang membawa petaka. Penulis Goenawan Muhammad, pernah menyebut bahwa gerombolan penganut paham kiri pun pernah mengukir sejarah berdarah-darah. Sejarah pembantaian dan kekejaman mereka bahkan masih membekas sampai sekarang dalam ingatan dunia.

Sebut saja misalnya Nazisme, Rezim Hitler dan para pengikutnya di Jerman yang membantai ratusan ribu hingga jutaan Yahudi tak berdosa. Di Kamboja, kita mendengar Khmer Merah dan rezim Pol Pot yang membantai jutaan rakyat Kamboja. Kemudian, ada Joseph Stalin dengan Stalinisme di Soviet dan Mao Zedong di Cina, yang juga tak kalah keji dengan membantai jutaan manusia beramai-ramai. Akibat ulah mereka, bumi penuh dengan kuburan-kuburan massal manusia tak berdosa.

Kisah kekejaman ini dicatat dengan tinta hitam sejarah dan dikenang sebagai kejadian mengerikan dalam lintasan sejarah. Gerombolan penyakit dunia ini bagian dari kelompok kiri. Kiri yang paling keji dalam lintasan sejarah kemanusiaan.

Dalam konteks keislaman, gerombolan ini mengingatkan saya pada perkataan Syekh Abdullah bin Bayyah, “Orang bodoh yang terlalu radikal bisa-bisa mengkafirkan orang dan jika terlalu liberal bisa-bisa menjadi kafir”. 

Tak perlu berbangga diri menjadi kiri dan tak pantas berbesar kepala menjadi kanan. Ekstrem kanan dan kiri sama-sama punya dosa pembantaian dan sejarah kelam lagi hitam yang sama. "Mereka bagaikan dua sisi mata uang," setidaknya begitulah kata Syekh Ali Jumah pada suatu saat, ketika berbicara tentang radikalisme Islam, sekuler, dan liberal.

Paham sekuler dan liberal dengan kebebasan berekspresi berlebihan yang dianut Samuel Paty sampai-sampai menghina dan melecehkan agama tentu tak layak ditiru, pun begitu dengan sikap Abdullah Anzorov tersebut. Kita mesti mengecam tindakan tercela mereka berdua. Sebagai Muslim, kita sangat tidak dianjurkan berat sebelah, oleng ke sisi kiri atau ke sisi kanan. Kedua sisi ini punya mudharat dan mafsadah tersendiri dalam kehidupan kita sebagai manusia, terutama sebagai muslim. 


Sebagai muslim, kita belajar dari Rasulullah Saw. bahwa Islam menganjurkan pemeluk agamanya untuk hidup dalam keadaan seimbang, berada di tengah-tengah atau washathi dalam setiap permasalahan, baik dalam ibadah maupun muamalat. Tidak melebih-lebihan atau memberat-beratkan dan juga tidak memudah-mudahkan atau menyepelekan. 

Seperti inilah harusnya Islam dianut dan diajarkan, seperti halnya pendidikan Al-Azhar Mesir yang moderat dalam menyikapi permasalahan umat. Saya juga ingin sekali seperti ini, menjadi muslim moderat dalam beragama, tidak condong ke kanan atau ke kiri. Saya tentu saja, maunya juga di tengah-tengah, apalagi di tengah-tengah keluargamu yang sudah lama kuimpikan itu.[]

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Duwal 'Arabiyah.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top