Neraca Al-Quran Dari Ghazali

Oleh: M. Farhan Sufyan*
(Foto: Dok. Pribadi)


Judul Buku: Qisthâsul Mustaqîm
Penulis: Imam Ghazali
Penerbit: Dar Minhaj
Tahun Terbit: 2019
Nomor Edisi: 9789953620145
Jumlah Halaman: 192


“Kudengar, kamu itu orang yang beretorika tajam dalam berhujjah dapat menundukkan lawan dengan sempurnanya pengetahuan tak tertandingi oleh lawan. Lantas timbangan apa yang kamu gunakan dalam membenarkan apa yang kamu anggap benar dan menyalahkan apa yang salah?” 

Saya menjawab: Bil Qisthâsil Mustaqîm! 

Duhai insan, itulah cuplikan ringkas yang tertera jelas di kerangka dialog antara sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali dan seorang punggawa hebat dari kaum Ahli Ta’lim. Ahli Ta’lim adalah mazhab yang lahir di Iran. Mazhab ini merupakan cabang dari Syiah, mereka berpandangan tetap segala keputusan dan pendapat itu harus di bawah arahan sang Imam Ma’shum.

Dalam catatan yang dituliskan oleh Imam Ghazali ini, tersadurkan gestur bahasa yang mudah, serta pemahaman bagi siapa yang membacanya. Kendati disarikan dengan ilmu Mantiq yang dikenal susah, tapi kelihaian Imam Ghazali dalam menuangkan hasil dialog ilmiah dapat direguk bagi siapa saja yang hendak menyelaminya.

Ketahuilah, buku tipis itu bertajuk Qisthâsul Mustaqîm. Dimulai dengan untaian kata pemikat jiwa berselimutkan mutiara, dengan penyampain sopan membuat pembaca merasa terbawa ke alam sadar penuh ketakjuban.

Simaklah dialog berjuntai yang diwawancarai oleh si Ahli Ta’lim dan Imam Ghazali sebagai narasumber. Dengan pembukaan yang bersastra, beliau berujar:
"Adakah bagiku siapa yang merasa rela untuk meminjamkan pendengarannya? Sungguh diri ini ingin berkisah malam yang penuh dilema menyesakkan dada. Kala itu, seorang ahli logika dari kaum Ta’lim mendatangiku ingin bertukar pikiran dengan terbuka dan lapang dada, tetapi kritis dengan sikap beradab."

Dia berkata: "Dengan keagungan yang engkau dapati dari manusia dan dalilmu banyak meruntuhkan argumen lawan. Apakah neraca/timbangan yang kamu anggap itu berupa Ra’yu dan Qiyas? Sementara keduanya itu dapat menimbulkan pertikaian berat antara manusia. Atau dengan timbangan kami, Ahli Ta’lim yang mengikuti tiap tutur sang Imam Ma’shum. Jawablah, aku ingin tahu sebesar mana tonggak kesungguhanmu dalam mencari jawaban pada perkara ini?"

Saya menjawab: "Jika dengan timbangan Ra’yu dan Qiyas, kukembalikan diri berlindung kepada Allah. Sungguh itu metode syaithan. Dan jika di antara muridku ada yang menganggapnya sebagai neraca pengetahuan, semoga Allah menjauhi hal tersebut. Karena musuh yang cerdas lebih baik daripada teman yang bodoh."
 
"Dan seandainya kebenaran meliputi mereka (kaum yang mengikuti tiap perintah Imam Ma’shum), maka pastilah kisah yang dilalui oleh Sayyiduna Ibrahim telah mereka dalami sebagai sumber hikmah yang dapat menjembatani agar mencapai pada neraca pengetahuan yang benar."
 
"Dan rahasia dustur Ilahi ini hanya didapatkan oleh mereka yang dianugerahi cahaya hidayah kenabian. Oleh karena itu, kaum Ahli Ta’lim terhalang untuk menerimanya dan terbias akan pemahaman tersebut." 

Dia berkata kembali: "Kamu tak mengetahui hakikat kebenaran kami dan dalilmu itu lemah. Jika benar, apa neraca yang kamu jadikan timbangan dalam menghukuminya?"

Saya menjawab: "Kutimbangi dengan Qisthasul Mustaqim, untuk menjelaskan padaku arti dari kebenaran dan kebatilan. Lurus ke depan atau belok berliku-liku. Murni mengikuti Al-Quran yang diridhai oleh Allah dengan cara menceburkan diri menyelami tutur sang baginda Nabi Muhammad Saw."

Dia bertanya: "Apa itu Qisthasul Mustaqim?" 

Saya menjelaskan: "Dia adalah lima timbangan/neraca yang diturunkan langsung oleh Allah di kitab suci Al-Quran. Dan Allah-lah yang mengajarkan pada utusan-utusan mulianya. Barang siapa yang belajar dari para rasul-Nya dan menimbang dengan neraca tersebut, sesungguhnya dia termasuk dalam golongan orang yang mendapatkan hidayah. Dan bagi siapa saja yang menggunakan neraca Ra’yu dan Qiyas, ketahuilah dia tenggelam dalam jurang kesesatan dan kebimbangan." 

Ia berujar kembali: "Lantas, apa timbangan yang dapat menghasilkan nilai kebenaran ataupun kebatilan? Apakah semata dengan akalmu? Atau dengan Imam Ma’shum yang terbenar dan dianya itu mazhabku..." 

Saya berkata: "Demikian pula, aku mengetahui dengan cara belajar. Akan tetapi kepada baginda Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib kendatipun mata tak pernah bertemu langsung dengannya. Karena seluruh pemahaman ini kuwarisi secara bersambung yang tidak ada sedikitpun keraguan padanya, yaitu melalui Al-Quran yang menjadi sumber pembelajaran." 

Dia kembali membantah: "Mana? Bahkan di Al-Quran saja tak pernah disebutkan kata (الميزان)? Adakah ini umpan jawaban yang benar? Ah, ini hanya bungkusan dialog yang tidak berakar. "

Saya kembali bertanya: "Tidakkah kamu memperhatikan ayat suci Al-Quran?"

ٱلرَّحۡمَٰنُ  ١ عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ  ٢ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ  ٣ عَلَّمَهُ ٱلۡبَيَانَ  ٤ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٖ  ٥ وَٱلنَّجۡمُ وَٱلشَّجَرُ يَسۡجُدَانِ  ٦ وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلۡمِيزَانَ  ٧ أَلَّا تَطۡغَوۡاْ فِي ٱلۡمِيزَانِ  ٨ وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ  ٩ 

1. (Tuhan) Yang Maha Pemurah. 2. Yang telah mengajarkan al Quran. 3. Dia menciptakan manusia. 4. Mengajarnya pandai berbicara. 5. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. 6. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. 7. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). 8. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. 9. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

"Sudah jelaskah hal demikian? Apakah kamu berkhayal bahwa neraca yang tertera di dalam dustur Ilahi itu adalah timbangan yang sama seperti yang digunakan untuk menimbang emas dan perak? Apakah kamu mengira bahwa timbangan itulah yang diletakkan oleh sang pencipta untuk menimbang langit dan bumi?"
 
"Sebagaimana ayat, وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلۡمِيزَانَ. Bertakwalah kepada Allah. Jangan terlampau jauh menakwilkan kalam-Nya!"

Dia berkata menjawab lagi: ...
Baca juga resensi buku lainnya: Bangun Cinta, Bukan Jatuh Cinta!

Inilah segelintir tanya jawab yang terekam dalam pergolakan hidup Imam Ghazali. Pertanyaan begitu terus kritis tapi penyampaian lihai dengan retorika indah nan tajam juga tak padam. Imam Ghazali mengatur berbagai jawaban dengan begitu tepat dan tersusun berurutan. Memahamkan dari dangkal hingga ke puncak. Mulai dari pengibaratan yang mudah. Kisah yang logis. Sehingga terus merajut membentuk tangga pemahaman.

Ke depannya Imam Ghazali akan terus mengupas kisah Nabi Ibrahim yang didapati dalam Al-Quran, serta menyimpan rahasia tak tampak bagi mereka yang berpikir dangkal. Yang mana kemenangan diraih mutlak oleh Sayyiduna Ibrahim ketika berdebat dengan lawannya tentang urusan "menghidupkan dan mematikan". Pemahaman yang didapati oleh Nabi Ibrahim ketika beliau berujar,

"Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan makhluk".

Akan tetapi lawannya memahami bahwa menghidupkan itu adalah memberikan kewenangan bagi setiap ibu untuk melahirkan anaknya. Dan mematikan adalah dengan cara membunuh. Maka Nabi Ibrahim tak lagi beragumen panjang lebar. Beliau paham akan kondisi musuh tak bernalar tinggi sehingga melangsungkan umpan jawaban yang dapat melumpuhkan lawannya terdiam seribu kata ternganga.

"Tuhanku adalah yang mampu menerbitkan matahari dan menenggelamkannya".

Dan tidak hanya itu, Imam Ghazali juga jeli memainkan logika sehingga kaidah-kaidah Mantiq yang berat dapat disisipi melalui kisah Nabi Ibrahim. Lalu penjelasan mengenai lima neraca yang akan diulas, yaitu al-Mizanu at-Ta’adul, al-Mizanu al-Awsat, al-Mizanu al-Ashghar, Al-Mizanu at-Ta’anud, dan Mawâzinu asy-Syaithan.

Sebagai pembaca pula, kita akan dihidangkan Ilmu Mantiq dengan penyampaian tersirat. Dan di sini, Mantiq yang digunakan itu Mantiq 'Am, bukan Mantiq Khas. Mantiq 'Am disuguhi bagi mereka kalangan umum manusia, sementara Mantiq Khas itu terkhusus bagi mereka yang berlabel pelajar bisa lebih memahaminya. Apalagi nanti semua penyampaian Mantiq itu di bentuk dalam dialog yang mudah serta pengibaratan dari hal yang terjadi sehari-hari.

Dari kitab tipis ini, kita akan diajari cara membangun argumen dengan kaidah-kaidah yang tertata rapi. Seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dalam menjawab pertanyaan lawannya ketika ditanyai perihal Tuhan dan metode berpikir Nabi Ibrahim dalam mencari jati kebenaran Tuhan.

Begitulah sekilas ulasan yang dapat diutarakan. Jalan berliku akan lurus bagi siapa yang memiliki tujuan. Jika berkeinginan menjejaki kenikmatan jawaban yang tak terduga tapi memberi kepuasan dan ketenangan batin, maka sediakanlah waktu untuk memahaminya. Karena tenangnya hati, datang jawaban yang memuaskan atas penasaran kita. Wallahu a’lam.


*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar - Kairo.
Editor: Syafri Al Hafidzullah

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top