Jika Itu Takdirnya

 Oleh: Nabil Akhtiar*

(Sumber:Al Ahram)
 “Teeett!!!”

Suara klakson dari jalanan daerah Waili itu membuyarkan lamunanku yang sedang terduduk lesu, memikirkan  jawaban  dari ujian yang  telah mendekati separuh akhir dari waktu disediakan. Ujian mata pelajaran Nahu, Imtihan Syahadah Tsanawiyyah Azhariyyah Buuts atau setara dengan Ujian Nasional Sekolah Menengah Atas (SMA) itu selalu menjadi momok untuk siswa tahun terakhir Al-Azhar Islamic Mission Institute Kairo. Wajar saja, mengingat pada ujian tersebut mereka dibebankan sepertiga akhir dari kitab  Syarah Ibn ‘Aqil ‘ala Alfiyah Ibn Malik yang terkenal rare  dan legend di pondok-pondok tradisional di Indonesia, sedangkan Matan Al-Ajurrumiyyah saja aku lupa-lupa ingat. Soalan tentang kaedah Nahu dalam Alfiyah, penjelasan matan, wajah istisyhad dari syawahid dalam kitab Syarah Ibnu ‘Aqil merupakan bentuk soal yang patut diwaspadai siapapun.

“Yanhar Iswed!!(Sial), gara-gara ibu itu aku lupa semua bab inigerutuku dalam hati mengingat kejadian tadi pagi. Semenjak hampir setengah jam yang lalu aku masih termenung melihat soal nomor dua ini, tak henti-hentinya aku menggerutu melemparkan kesalahan ke seorang ibu di jalanan pagi tadi yang sudah mengambil waktuku yang berharga.  

Sebelum kuceritakan lebih dalam kejadian itu, baiknya kudeskripsikan dulu keadaan saat ini, supaya dikau bisa membayangkan cerita ini dengan baik.

Namaku Zaki Mukhtar, tinggal di Alf Maskan, Gesr Swesry Street, Nozha District, Cairo. Setiap harinya aku harus menaiki dan berganti tiga minibus untuk sampai  ke sekolahku di Abbasiyyah District sana. Kalau dikau mau membayangkan diriku, ketahuilah aku ini berkulit gelap, berwajah agak india tamil sedikit, berambut semi-afro, berbadan ideal namun perutku agak tambun sedikit. Dengan perawakan yang sedemikian rupa, plus kumal dan dekil, aku selalu dikira sebagai orang Sha’idi (Daerah selatan Mesir) oleh orang Mesir, bahkan orang Asia Tenggara sendiri juga menganggap diriku  adalah orang Mesir. Tak jarang dari situ, aku mendapatkan perlakuan rasis secara oral dan verbal, yang kebanyakannya dari orang Indonesia sendiri. Aneh bukan?

Tak jarang pula orang Mesir yang tersesat di jalanan bertanya kepadaku. Namun, lantaran aku juga bukan Asoe Lhok (Pribumi Mesir), aku hanya bisa angkat tangan seraya berkata :

“Ma’rafsy wallah!!” (Maaf, gak tau pak)

Bisa dibilang aku sudah menikmati peranku sebagai orang Sha’idi semenjak beberapa tahun terakhir. Walaupun tak bisa kukatakan bahwa kisah peranku ini selalu menjadi happy story. Hari pertamaku sekolah misalnya, baru setengah langkah melewati gerbang kampus, para penjaga sekolah langsung menarikku ke kantor satpam, lalu menginterogasiku. Butuh setengah jam bagiku untuk membuktikan diri pada mereka bahwa aku bukan orang Mesir. Sial bukan?

Oke kembali ke laptop, eh maksudnya ke cerita kita. Nah, pagi ini rencananya aku mau berangkat lebih awal, walaupun ujian baru dimulai jam 9 pagi, ada dua hal yang kutargetkan pagi ini. Pertama, aku ingin mencoba menaiki metro (kereta listrik dalam kota)  jalur ketiga yang baru minggu lalu diresmikan Presiden Mesir. Dengan metro ini aku duduk tenang dari stasiun Alf maskan sehingga sampai ke stasiun Abdou Pasya, dan lalu berjalan sejauh 300 meter ke kampus. Target kedua, mengulang kembali bab ‘Adad, bab terakhir dari kitab Syarah Ibn ‘Aqil. Sebenarnya sudah dua kali kubaca bab itu. Namun, itu dua bulan yang lalu. Makanya ingatanku tentang bab itu masih sangat samar, layaknya pandanganku yang samar saat melihat wajah orang di jalanan karena mataku yang rabun ini. Tempo haripun ketika pelajaran berlangsung,  aku tidak sempat datang karena sibuk mengurus teman yang digigit anjing gila.

(Potret kesibukan salah satu stasiun Metro pagi hari. Sumber: Dokumen Pribadi)

Belum sempat aku menaiki metro,  tiba seorang ibu paruh baya memanggilku. Aku datang mendekatinya, perlahan beliau berbisik padaku seraya meminta bantuanku untuk mengangkat barang dari rumah beliau di Masakin Ains Syams, lalu menaiki metro serta membawanya ke Attaba. Tanpa pikir panjang, aku menurut saja, toh mungkin ini menjadi wasilah najah di ujian nanti, husnudzzan-ku dalam hati. Kuikutilah perjalan kerumah ibu paruh baya tadi yang berjarak 30 menit berjalan kaki dari Stasiun metro Alf Maskan. saat sampai dirumahnya iapun mengambil sebuah kotak yang agak besar, lalu meletakkannya ke pundakku. Akupun menerima saja walaupun  hati kecil ini menangis menahan berat barang tersebut. Aku tak tau isinya apa, yang kutahu benda itu cukup membebaniku.

Setelah beberapa waktu kemudian tibalah kami ke tempat yang dituju. Spontan kuraih hape di kantong celana untuk melihat jam.

“Jam 9 tepat!!” gerutuku, aku lari meninggalkan ibu tadi, kemudian bergegas pergi menuju metro Attaba. Saat beranjak, terdengar suara ibu tersebut yang sibuk memanggilku. Namun aku tak lagi menghiraukannya, tak berapa lama suaranya tenggelam di tengah bisingnya lalu lintas Attaba pagi itu.

Aku tiba di ruang 15 menit lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Hampir saja tak diizinkan masuk. Namun, setelah bertekak panjang dengan pengawas ujian, mereka terpaksa mengizinkanku masuk.

Aku terpaksa duduk di samping jendela yang menghadap langsung ke jalanan kota Kairo yang bising. Lalu kuamati soal yang diberikan, kemudian sedikit tersenyum gembira melihat soal pertama, soalan klasik istikhraj dan i’rab.

“Berkah membantu orang di jalan!!” ujarku dalam hati.

Lanjut soal nomor dua. Tapi, kali ini berbeda, aku terdiam, mukaku menjadi cemberut, tak henti-hentinya aku mengumpat, menggerutu, menyalahi ibu yang barusan kubantu.

“Gara-gara dia aku tak sempat baca bab ‘Adad ini!!”

Bab ‘Adad memang bab yang sering diremehkan orang, tapi tidak dengan pembahasan ‘Adab dalam Alfiyah Ibn Malik. Pembalikan nomor, dan segala macam masalah nomor, sungguh membuatku pusing tujuh keliling. Padahal pikirku (sombongku-red), aku ini sangat jenius masalah matematika sampai kelas 3 MTs Pondok Pesantren dulu. Namun, yang mengherankan, saat duduk di bangku MAN aku justru mengambil jurusan Bahasa sehingga tidak terlalu fokus pada matematika. Bahkan saat itu pula aku sempat mengajar tentang ‘Adad di Dayah Qaranfil di Bireuen. Padahal pembahasan ‘Adad ini bahkan lebih simpel daripada geometri, pytagoras, dan kawan-kawan, nah yang membuatku pusing saat ini adalah kedudukan kata-katanya dalam bahasa arab.

Aku terus melamun, tak kupikirkan lagi isi lembaran jawaban tadi, yang ada hanya rasa benciku yang semakin bertambah dengan ibu tadi.

“Teeett!!!”

 Suara keras klakson dari truk Fuso di jalanan Waili yang membuyarkan lamunanku.

Yanhar Iswed!!, gara-gara ibu itu aku lupa semua bab inigerutuku lagi.

Kemudian seorang pengawas berbadan tegap pergi ke arahku, seraya berpesan :

Ittaqillah!!!” (sadarlah nak!)

Akupun tersadar, lalu beristigfar. Tak kusangka aku jatuh terlalu dalam, lancang sekali aku menyalahkan taqdir yang Allah berikan padaku.

Anta tasyaa’ , Ana asyaa’ , Wallaahu yaf’alu maa yasyaa’...(Kamu berkehendak, Aku berkehendak, tapi Allah melakukan apa yang Ia kehendaki...)

lalu menyambungnya,

“Aku tahu apa yang kamu lakukan tadi pagi, santai saja jangan panik jawab ujiannya!!!”

(Potret Zaki yang biasa mengulang pelajaran di metro dalam perjalanan)

Seketika rasa percaya diriku kembali, aku mengatur niat dan kembali berhusnudzan kepada Allah. Mungkin Allah punya rencana yang lebih baik untukku. Kubacalah beberapa ayat suci Al-Quran. Kulihat kembali pada soal ujian, seketika itu juga ilham datang kepadaku. Entah bagaimana ceritanya, seluruh lembaran bab ‘Adad terpampang jelas dalam benakku. kujawab seluruh sisa soal dengan tenang.

Aku bersyukur kembali, mungkin ini yang terbaik. jangan-jangan kalau aku tak membantu ibu tadi aku tak dapat futuh di ujian ini.

Setelah menyerahkan lembaran jawaban, pengawas tadi kembali menghampiriku, lalu berkata :

“Mudir Aam li syuun at- tullab bi Jami’at Al-Azhar bitendak” (Kepala bidang kemahasiswaan Universitas Al-Azhar memanggilmu.) 

“Ada gerangan apa ini?” tanyaku.

“Ikuti saja aku!!” ujarnya.

Bapak tersebut kemudian membawaku ke Kantor Syaikhul Ma’had, lalu dihadapkan ke seorang  ibu paruh baya.

Alangkah terkejutnya batinku ketika mengetahui ternyata beliau adalah orang yang kubantu tadi dijalanan.

“Syukran ya bunayy!!, Inta ‘Arif eih hiyyal hagat illi syiltuha fil kartunah?? (Terima kasih nak!! Kau tahu tidak barang apa yang ada di kotak yang kamu angkat tadi) tanyanya padaku.

“Laa ya Madam!!” (Gak tau bu) ujarku sambil menggeleng kepala.

“Itu adalah karya mahasiswa teknik Al-Azhar yang menang lomba robot tingkat dunia minggu lalu, kemarin ada penjahat yang mencoba mengincarnya, makanya saya minta bantuan kamu untuk membawanya. Nilai barang yang kamu bawa itu mencapai 1 juta US Dollar”

Kami yang berada di ruangan terkejut.

“Kamu sudah punya beasiswa?” Tanya ibu itu kembali.

“Belum buk!”

“Besok kamu harus datang ke Masyikhah, bawa paspor dan kerneh. Jumpai Ustaz Mamduh, dan katakan padanya Ustazah Radhwa menyuruhmu datang kesitu!!”

Terdiam diriku mendengar kata-kata tersebut. Tak pernah terlintas dibenakku akan ditawari beasiswa dari Al-Azhar As-Syarief. Toh, semua tahu betapa sulit untuk menembus beasiswa yang diincar oleh ribuan pelajar dan mahasiswa di Al-Azhar.

Memang kehidupan ini tak selalu seperti kita bayangkan, tapi hendaknya kita berusaha dan kemudian bertawakkal, dan selalu husnudzdzan dengan ketetapan-Nya. Mungkin dibalik sekelumit kesulitan yang kita hadapi, ada mufajaah (kejutan) yang lebih besar disiapkan oleh Allah SWT. untuk kita. Walaupun sekiranya tak demikian, jangan lupakan bahwa balasan di akhirat tentu lebih indah dari sekedar balasan dunia. La’alla fiha khair, Wallaahu ta’alaa a’laa wa a’lam.

 *Penulis merupakan mahasiswa tingkat II Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al Azhar

    Editor: Annas Muttaqin           

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top