“Kalau Memang Dia, Takkan Kemana”
Oleh: Deffa Cahyana Harits
Sumber: Muslim.or.id |
“Amar,
jadi setoran sore ini?” tanya Ahmad meyakinkan diriku untuk tidak lupa
mengajaknya nanti.
Ahmad
Al farisi alias Memed bisa dikatakan adalah teman dekatku. Kami tinggal di gedung
yang sama juga di sepetak kamar. Bedanya, orang-orang bilang aku agak sedikit introvert.
Sedangkan Memed punya jiwa sosial yang tinggi. Bagaimana tidak, baik laki-laki
maupun perempuan mudah untuk bisa berurusan dengannya, dalam tanda kutip dia
punya sikap ramah yang baik tanpa belok ke kiri.
“Iya,
Med. Jadi in syaa Allah” balasku melempar senyum sembari mengangkat kedua alis
dan izin untuk segera berangkat kuliah. Tak lupa sepasang penutup kepala kubawa.
Peci ketika bertatap muka dengan dosen, topi untuk menghindar dari terik matahari atau pandangan-pandangan genting, juga ransel hitam praktis, minimalis ples
legendaris.
Soal
penampilan aku tak terlalu memperdulikan. Baju empat tahun yang lalu masi
terlipat rapi di lemari dan kupakai setiap kali keluar rumah. Bahkan agaknya orang-orang
juga sudah tak asing lagi dengan warna, corak, motif, pola, ukuran, dan lain
sebagainya dari segala sisi baju pemberian ibuku ini. Bukan tak ingin membeli
untuk mengganti atau tak punya duit, memilih hemat dan menabung adalah cara
terbaik menurutku. Hitung-hitung untuk cicilan modal di masa depan. Setidaknya
akan sedikit membantu.
Menjadi
seorang lelaki tentu punya banyak tanggung jawab. Apalagi anak pertama. Aku
merasa seperti hero yang dinantikan kemenangannya atau Naruto yang bercita-cita
untuk bisa menjadi hokage alias ninja terkuat. Karena untuk menduduki posisi
tersebut butuh perjuangan yang cukup sulit, bukan karena aku menjadi hokage
lalu orang-orang akan mengakuiku tetapi ketika orang-orang telah mengakuiku maka
aku akan menjadi hokage. Dahlah, percuma kujelaskan panjang lebar. Si
Markonah pasti tetap tidak akan bisa paham.
Menduduki
tingkat akhir di perkuliahan, jutaan beban-beban juga pertanyaan mulai menghantui.
Parahnya, ternyata pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan ke seniorku dulu juga
terwarisi pada diri ini. Padahal kami tak punya hubungan ahli waris sama
sekali. Mending kalau pertanyaannya seputar pendidikan lanjutan. Mirisnya,
pertanyaan yang sering membayang-bayangi pikiran justru soal perasaan, pujaan
hati, dia yang kelak akan mengisi kesendirian, menjadi pelengkap senja, penyeduh
kopi, dan deretan halu-an lainnya.
***
“Ta’allamuu
lita’maluu walaa tata’allamuu litatakallamuu..”, belajarlah untuk kalian amalkan
jangan kalian belajar hanya untuk kalian sampaikan.
Secercah
nasehat di akhir materi perkuliahan hari ini sangat membekas juga merehatkan otak
sejenak dari masalah pergerakan orang-orang orientalis yang terus
menentang akan keontetikan Al-qur’an. Bid’u Tafaasir, sebuah buku yang
menjadi diktat mata kuliah Ad-dakhil fii tafsiir khusus mahasiswa
jurusan Tafsir termasuk aku yang dari dulu berkeinginan untuk tak sekedar
menghapal Al-qur’an tapi juga dapat memahi ilmu-ilmunya. Sebenarnya pembahasan
pada diktat ini lebih ke membenarkan tafsiran yang kurang tepat. Dan kebanyakan
tafsiran yang kurang tepat ini adalah dari segi bahasa.
“Assalamualaikum,
ustad.”
“Besok
kite kenak mulai bimbelnya pukul berape?”
Dua
pesan masuk menempel di layar ponselku.
“Wa’alaikumussalam,
lepas shalat Ashar langsung kite mulai in syaa Allah” balasku spontan
membukanya tanpa basa-basi menjawab pesan dari perempuan berdarah negara
malaysia itu.
“Siap,
ustad. Hanan akan sampaikan kat kawan-kawan.”
“Terimekasih...”
Hanan
Humaira, dua kata dari rangkaian huruf yang dikenalkannya padaku sebulan yang lalu
via whatsapp. Bukan iming-iming modus tapi tulus meminta untuk dapat mengajarkan
mereka diktat-diktat perkuliahan semester lima jurusan Tafsir.
Aku
tak heran lagi, sudah pasti Memed yang mengenalkan pada mereka. Sebab Memed
sudah lebih dulu mengajar. Tapi entah kenapa, menjelang akhir pertemuan bimbel
ini rasanya seperti akan kehilangan seseorang. Ya, Hanan berhasil
mengalihkan jiwaku yang selama ini hanya fokus pada tujuan awal yaitu belajar, belajar
dan belajar.
Hanan
memang berparas cantik tapi bukan itu yang membuatku tertarik, melainkan akhlaknya
yang baik. Karena selama ini banyak yang cantik tapi hanya sekedar kulirik. Andai
saja setiap wanita sadar tentang hal ini, bahwa innerbeauty terkadang
lebih sering dikedepankan laki-laki dalam memilih pasangan.
“Mar,
kok akhir-akhir ini setoran kamu seperti kurang lancar?” singgung Memed
di sela-sela perjalanan kami menuju markaz tahfiz.
“Entahlah
Med, aku ragu pelabuhan ini benar atau salah.”
“Maksudmu?”
“Hanan
seperti akan menjadi pelabuhan setelah selama ini aku mengarungi samudra yang
sangat luas” lanjutku seakan samar-samar menyalahkan bayangan Hanan yang tanpa
permisi suka bergentayangan dalam sepekan terakhir. Takut saja kalau tak segera
kusampaikan niat baik ini, Hanan akan didatangi pemuda johor bagian malaysia sana
atau mungkin saja dia sudah dalam pinangan orang lain.
“Mar,
percaya kan jodoh itu sudah diatur Tuhan?”
“Pasti,
Med. Tapi kan juga butuh diikhtiarkan.”
“Minimal
kamu selesaikan dulu sisa-sisa pendidikan di masa akhir sekarang. Setidaknya,
nanti sudah ada segaris cahaya tentang masa depanmu” ucap Memed merangkul
pundakku dan menepuk-nepuknya seolah tak terima curhatan tentang gemuruh
perasaan yang tengah berusaha kulawan dan mengarah untuk menikah di usiaku yang
tergolong muda bagi kalangan lelaki.
Aku
pribadi sama sekali tak ingin mengajak Hanan menikah saat ini juga, lebih
tepatnya berkomitmen sementara. Toh aku belum siap apa-apa. Setidaknya,
Hanan perlu tau tentang benih yang baru tumbuh ini.
“Kalau
memang dia, takkan kemana, Mar. Nanti jika sudah saatnya langsung kau jemput” ujar
Memed menyemangati sembari menjelaskan bahwa tak baik rasanya hati seseorang
diberi harap terlalu lama.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Tafsir fakultas Ushuluddin universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Editor: Ali Akbar Alfata
Posting Komentar