Berlagak Tak Kenal Pahlawan
Oleh:
Musrifa Saldi
(Ilustrasi: Google) |
Siapa
tak kenal dengan Soekarno, Mohammad Hatta, Pangeran Diponegoro, Cut
Nyak Dhin, R.A. Kartini. Ya, tentu kita
mengetahui mereka. Nama-nama mereka tak asing di telinga. Apalagi yang begitu bersemangat belajar IPS di sekolah dulu. Bukan
hanya itu, semua uang rupiah pun memapang wajah orang-orang luar biasa ini.
Sekali
lagi dapat dipastikan hampir semua kita mengenal mereka. Namun demikan, sikap
anak muda kini seolah
tak berhenti menanyakan “Siapakah
mereka?”, “Siapa sederet nama tersebut?”. Baru-baru ini memang Indonesia berhasil dibuat bangga
oleh anak muda bangsa. Sepasang
atlet bulu tangkis wanita, berhasil meraih emas di Olimpiade Tokyo. Kabar membanggakan juga sering datang dari berbagai
bidang prestasi lain.
Namun
disisi lain, Indonesia kian sering dibuat kecewa oleh anak-anak muda yang
diharapkan akan membangun negara ini ke depannya. Tawuran misalnya, polah
anarkis pemuda ini kian hari kian marak terjadi. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Tak
jarang banyak pemuda yang harus mengorbankan nyawanya hanya demi tindakan mempertahan
ego tersebut. Di samping itu minuman keras pun semakin
mudah mendapat akses. Tak sulit bagi para
anak muda menemukannya, pedagang-pedagang menjual minuman-minuman ini secara luas dan ilegal. Kemudian di teguk bak air mineral yang dikonsumsi
sehari-hari.
Belum
lagi berbicara pendidikan. Jika
kamu merupakan seorang siswa yang tidak sabar menunggu esok hari agar segera
mungkin mengikuti seluruh materi pelajaran dari gurumu di ruang belajar
hingga selesai, kemungkinan
besar kamu merupakan kaum minoritas. Sedangkan
kaum mayoritas merupakan sebaliknya. Mereka lebih memilih bolos masal, atau
berfoya-foya di tongkrongan saat jam pelajaran. Aksi mereka ini
tak lain adalah bentuk pelecehan terhadap pendidikan Indonesia.
(Foto: kompasiana.com) |
Generasi yang diharapkan bangsa adalah generasi yang cerdas secara intelektual dan etika. Namun demikain generasi ini tak akan terwujud jika generasi bangsa kita didominasi oleh para perusak fisik dan moral mereka sendiri. Jelas sangat mungkin, kelak faktor keluarga, individu, pergaulan, adalah hal yang mendorong mereka mengambil keputusan umum. Hal ini tentu tidak bisa menjadi pegangan bagi pemimpin. Kita tentu tidak rela jika nanti golongan-golongan ini yang akan memimpin kita. Mereka pasti akan lebih sibuk memperbaiki pribadi dan kelompoknya terlebih dahulu dari pada harus memperbaiki masyarakat luas.
Sepatutnya pemuda-pemudi bangsa saat ini telah berada
pada titik sadar. Kita tak bisa terus membiarkan moral dan intelektual
terjajah dengan berbagai tidakan-tindakan labil. Mengaku mengenal pahlawan. Namun seolah tak mengenal mereka? Mengaku
kenal para pejuang, Namun sikap dan karakter yang kita praktikkan justru
berlawanan dengan nilai-nilai perjuangan. Mengaku
mengenal mereka, tapi tak ada kesan yang membuktikan
bahwa kita benar-benar mengenalnya.
Kebobrokan
ini sangat mungkin bisa diatasi jika kita mulai saling bergandengan tangan. Bersama menjaga
diri serta mengajak sekitar melakukan hal-hal positif dengan cara-cara yang baik. Perlahan kita akan membentuk lingkungan-lingkngan positif. Begitupun
lingkungan media sosial, perlahan kita bisa mengendalikannya. Dengan begitu, kita telah bersama berpartisipasi dalam membangun bangsa, berangus habis pikiran-pikiran
kerdil. Hapus semua sekat yang ada dalam diri kita, di mana pun kita, siapa pun kita, siswa atau para pekerja. Mari fokus kepada keahlian yang sedang kita
rajut, kemudian bersatu padu, bersama membangun negeri tercinta, melanjutkan
perjuangan para pahlawan bangsa.
Editor: Annas Muttaqin S
Penulis merupakan Mahasiswi tingkat III Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar, Kairo
Posting Komentar