Oleh: Muhammad Farhan Sufyan*
![]() |
Dok. Pribadi |
Sebagai
daerah utama penyuplai dana kemerdekaan Indonesia, Aceh ternyata tak hanya
memiliki keistimewaan khusus dalam pengorbanannya. Ada juga seorang tokoh yang
memiliki garis keturunan Aceh berkiprah mati-matian membela harga diri bangsa
nun jauh di benua Afrika, beliau ialah Prof Nur Asyik. Putera Aceh
yang turut andil memperjuangkan kemerdekaan RI di timur tengah, khususnya
Mesir. Peran beliau Bersama rakan-rakan
beliau telah berhasil membuka hati masyarakat Mesir bahkan lembaga pendidikan
tertua di dunia, Al-Azhar untuk melihat Indonesia sebagai negara yang patut
diperjuangkan hak dan kebebasannya. Inilah segelintir hikayat yang semestinya
dibaca dan diteladani.
Riwayat Hidup Prof. Nur Asyik dan Pendidikannya
Prof.
H.M. Nur Asyik, MA lahir di Lomtega, Sigli, Aceh, pada tahun 1911 M. Ayahnya bernama
H. M. Asyik - seorang Qadhi yang berkedudukan di Peureulak, Aceh Utara
dan Ibundanya, Maryam Hadijah berasal dari Pidie.
Ia
menyelesaikan pendidikan resmi di Hollandsch Inladsche School, kemudian pindah
melanjutkan ke pesantren yang berada di Blang Paseh, Sigli. Pesantren itu
dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh, Pesantren Sa’adah Adabiyyah.
Kala itu
tradisi kependidikan yang diterapkan, semua disampaikan dalam Bahasa Arab,
antara lain berhitung (Ilmu Hisab), Ilmu Bumi (Ilmu al-Jughrafiyyah),
Sejarah Islam (at-Tarikh al-Islami), Sejarah Umum (at-Tarikh
al-‘Am), Ilmu Ukur (Ilmu al-Handasah). Prof Nur Asyik belajar Bahasa
Arab khusus dengan Teungku Muchtar, asal Padang, Musthafa Hamid, asal Idi, Aceh
Utara -kala itu-, Abdullah Ujung Rimba, asal Pidie, keduanya alumni Mesir.
Setelah
enam tahun menyelesaikan pendidikannya di pesantren, mengikuti arahan kedua orang tua untuk meneruskan
kembali ke Padang, ia dikirim ke sekolah yang pimpinannya Mahmud Yunus, tapi di
sana beliau merasa sedih karena tidak mendapatkan lebih apa yang telah
dipelajari di Aceh. Bersamaan dengan itu, Nur Asyik bertemu dengan Yusuf Muda
Dalam, adiknya Mahmud Yunus, keduanya merencanakan untuk merantau ke Mesir dan
belajar.
Berangkatlah
keduanya mengurus paspor di konsuler Belanda, Sigli. Tapi gagal, impiannya itu kandas
di kantor assidant resident, petugas di sana tak memberikan izin
semerta-merta. Karena orang Aceh, jika diizinkan keluar negeri akan berontak ke
Belanda ketika kembali.
Nur
Asyik muda pulang ke Peureulak dengan rasa patah semangat dan putus asa.
Cita-citanya yang haus akan ilmu dan ingin mencari pengalaman merantau ke luar
negeri seakan sirna begitu saja. Namun itu tak berlangsung lama. Ia memiliki ide
untuk mengikuti kapal jamaah haji, sekaligus menunaikan rukun Islam yang ke lima.
Pada bulan November, Nur Asyik Bersama jamaah berangkat dan tiba di Jeddah usai
melakukan perjalanan selama 13 hari.
Setiba
di Makkah, ia menginap di rumah orang Aceh yang dekat dengan Mas’a. Kesan
pertama yang dirasakannya, rasa takjub
melihat anak-anak Saudi yang telah hafal Alquran pada umur belasan tahun. Bermula
dari itu pula lahir keinginan untuk menghafal Alquran, dan ia berhasil
menghafal sebanyak 7 juz selama 6 bulan pertama. Di Saudi, Nur Asyik tidak
belajar di lembaga formal. Ia hanya menghadiri halaqah yang terdapat di
Masjidil Haram. Usai 8 bulan di Makkah, tubuhnya tak sanggup lagi menahan suhu
panas di Saudi dan semangat belajarn kian menurun drastis disebabkan cuaca yang
tidak mendukung. Sembari belajar, ternyata Nur Asyik punya seorang teman kenalan,
namanya Syekh Muhammad Asyi, dari situ timbullah keinginannya untuk melanjutkan
pendidikan kembali ke Mesir.
Tatkala itu,
berangkat ke Mesir dari Saudi Arabia bukan perkara mudah. Karena harus
berhadapan dengan konsul Belanda. Jadilah
Nur Asyik mencari kenalan dengan seorang Syeikh yang menurutnya dekat dengan sang
konsul. Usahanya pun berhasil mendapat izin.
Tiba di
Mesir, ia tinggal di atas gedung (sutuh). Kemudian pindah tinggal di
asrama belajar orang Turki (taqiyyah) yang berdekatan dengan Azhar.
Kemudian beralih lagi ke ruwaq untuk tinggal di sana sambilan dapat belajar bersama
guru-guru.
Selama
di Mesir, Nur asyik harus mengikuti persamaan tingkat Ibtidaiyyah. Setelah
dinyatakan lulus, ia diperbolehkan mengikuti jenjang pendidikan tingkat
tsanawiyyah, yang harus diselesaikan dalam waktu 5 tahun. Dua pendidikan
tersebut di bawah naungan Jami’ah al-Azhar (Universitas Al-Azhar). Setelah menyelesaikan berbagai jenjang yang telah disyaratkan itu, Nur Asyik
melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi. Hanya ia dan temannya, Toha Yahya,
Mansur Zuhry yang diterima di fakultas syari’ah (kulliyyatusy-syari’ah)
tahun itu. Pada tahun 1372 H/ 1953 M, ia kembali berhasil menempuh
pendidikan Takhassus “kependidikan” – syahadah al-‘alamiyyah ma’a al
ijazah fi at-Tadris.
Nur
Asyik memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar karena
fasilitas yang disediakannya mudah didapat. Bahkan ketika masih tsanawiyyah pernah
mendapat beasiswa 30 piester sebulan.
Ini
merupakan segelintir prestasi hebat yang telah ditempuh oleh Prof Nur Asyik. Hal
ini sangat istimewa dan perlu dicatat oleh sejarah. Beliau mampu menempuh
jenjang pendidikan yang begitu lama serta berjenjang hingga program
pascasarjana. Sebagai orang asing, ia telah mampu menyelesaikan pendidikan di
fakultas syariah, yang tempo itu sangat jarang kita dapati. Kemudian seluruh
aktivitasnya juga diselesaikan ketika kondisi negerinya yang bergejolak dijajah
oleh Belanda dan Jepang. Lagi, ketika memasuki masa kemerdekaan, ia juga tidak
segan-segan menghabiskan waktunya demi kemerdekaan bangsa. Mempertahankan
kemerdekaan RI bersama rekan-rekannya.
Nur Asyik dan Gerakan Diplomasi Revolusi
Perjuangan
Nur Asyik dan rekan-rekannya selama di Mesir telah lebih dahulu dimulai sebelum
hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka berjuang memperkenalkan
agar RI dihargai dan diakui oleh masyarakat international. Tatkala itu, para
pelopor ini tercatat sebagai aktivis dalam sebuah organisasi sosial yang erat
kaitannya dengan perjuangan diplomasi kemerdekaan.
Pada
tahun 1923, di Mesir lahir sebuah organisasi sosial bernama Perpindom. Akronim
dari Perhimpunan Pemuda Indonesia-Malaya. Organisasi ini bermula Bernama Aljam’iyyah
al-hairiyyah aljawiyyah. Secara aktif, dipimpin oleh Janan Thaib dan
memiliki sejumlah majalah, yang bertajuk “Seruan Al-Azhar”, “Pilihan Timur”,
“Merdeka” dan “Usaha Pemuda”. Memantau pekembangan dengan lahirnya organisasi
yang sadar dan memiliki solidaritas nasional di luar negeri, Belanda dan
Inggris tak segan melakukan berbagai tindakan baik itu dengan menghalang-halanginya
atau bahkan melancarkan politik pecah belah melalui agen-agen yang dikoordinir
melalui kedutaan-kedutaan mereka di Mesir khususnya.
Tak lama
kemudian, kabar mengenai Belanda yang telah bertekuk lutut terdengar. Setelah
hengkangya Ratu Yuliana ke London, akibat kalah telak pertempuran dengan
Hitler. Kala itu, posisi Indonesia kembali dikuasai oleh Jepang. Tapi juga tak
bertahan lama, usai bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Indonesia tak menunggu
kesempatan kedua kali, itu merupakan peluang emas untuk menyatakan merdeka yang
ditandai dengan proklamasi kemerdekaannya, pada 17 agustus 1945.
Tindakan
proklamasi ini pun ditolak oleh Belanda. Bahkan mereka membentuk kembali
kekuatan sekutu dengan Inggris untuk hegemoni imperialisme di Indonesia. Salah
satu usahanya, mereka membendung semua informasi kemerdekaan baik itu di dalam
maupun di luar negeri. Akan tetapi, bagaimana pun ketatnya, berita tersebut tiba
di Mesir dan telah didengar oleh sebagian masyarakat Indonesia di sana.
Mengetahui
informasi tersebut, dengan sigap Parpindom membentuk sebuah panitia untuk
membela kemerdekaan. Nama yang disepakati ialah Perkumpulan Kemerdekaan
Indonesia (Jam’iyyah Istiqlal Andunisiyya). Nur Asyik dipercayai untuk
menangani bagian keuangan.
Segala
bentuk dana yang diterima baik itu dari masyarakat Mesir maupun dari buruh pelabuhan,
semuanya digunakan untuk kegiatan kemerdekaan, di antaranya dakwah
memperkenalkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, memakai stensil untuk
mengirimkan berita kepada surat-surat kabar. Bahkan uang tersebut juga
digunakan untuk membantu mahasiswa yang berada di Hijaz untuk membeli beras dan
keperluan-keperluan mereka.
Awalnya,
prinsip panitia ini hanya mempertahakan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi,
berita tentang Belanda yang semakin bergerilya untuk menduduki Indonesia tak
membuat mereka duduk menyilangkan kaki. Bahkan oleh Belanda masih belum
mengakui kemerdekaan Indonesia karena menurut mereka tidak pantas merdeka
setelah PD II. Dari situlah, muncul gagasan ingin memperjuangkan Indonesia
dengan pengakuan dari negara-negara Arab.
Kondisi
semakin getir. Belanda semakin semena-mena melancarkan serangannya, bahkan di
Mesir mereka mengambil kembali hak paspor yang dikeluarkannya untuk pemuda
Indonesia dan segala bentuk bantuan juga diputuskan. Tidak hanya itu, segala
bentuk blokade juga datang bertubi-tubi. Mereka juga turun menghalangi orang
Indonesia yang hendak kembali ke tanah air.
Nur
Asyik dan rekannya merasa hampa. Seakan tak ada tempat lain untuk mengharap
dana dan bantuan, kecuali Al-Azhar satu-satunya. Dengan konsep pergerakan mengenalkan
Indonesia dengan masyarakat yang seakidah dan seiman, melalui pidato-pidato
sebagai negara yang menganut agama Islam. Maka Al-Azhar dan masyarakat Mesir
juga tak diam melihat aksi perjuangan tersebut. Bahkan selain memberikan dana,
Al-Azhar juga membantu mengeluarkan surat khusus sebagai pengganti paspor.
Melalui
hubungan yang baik dengan masyarakat Mesir dan rangkaian acara yang turut dihadiri
oleh pemuda Indonesia, berbagai informasi juga datang tak terduga dari
kawan-kawan Mesir. Mereka sangat berharap Indonesia akan merdeka. Lagi, ketika
ada gerakan demonstrasi oleh para pemuda Indonesia di kedutaan Belanda,
Pemerintahan Mesir berpihak pada pemuda Indonesia, dengan memanggil duta Belanda,
menyarankan agar diberikan bantuan kepada para demonstran -yang masa itu rakyat
Indonesia di luar negeri masih sebagai status warganya-.
Perjuangan mendapat pengakuan secara De Facto dan De Jure
Dalam
rangka memperjuangkan kemerdekaan RI di Timur Tengah, maka Perkumpulan
Kemerdekaan Indonesia (Mesir, Iraq, Saudi Arabia) sepakat mengadakan
“Konferensi Kerja” di Makkah, pada 13 November 1945.
Melalui
Konferensi kerja diputuskan, pertama, kerajaan Belanda sudah takluk
dalam PD II dan tidak jelas di mana kekuatan yang sebenarnya dihimpun kecuali
harus membonceng kekuatan Inggris; kedua, andaikata warga Indonesia di
luar negeri dapat de facto dibebaskan dari perwakilan (kedutaan) kerajaan
Belanda maka secara yuridis telah lepas dan bebas de facto terbebas dari
perwakilan Belanda dan kebebasan tersebut dengan sendirinya diakui oleh negara
setempat sekaligus mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto; ketiga mesir
berkedudukan sebagai markas Liga Arab, maka sepantasnya dan Langkah yang
strategis Kairo ditetapkan sebagai panitia pusat.
Aksi
solidaritas untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia semakin nyata ketika
bergabungnya sejumlah politisi Mesir sekaligus mendapat dukungan dari Raja
Farouk, mengakui secara de facto atas kemerdekaan RI, yang kemudian diikuti
oleh negara-negara Arab lainnya.
Hanya
saja, sidang selanjutnya ialah mengamanatkan Sekjend Liga Arab untuk
menyampaikan keputusan tersebut kepada pemerintah RI. Lagi, perkara itu tidaklah
mudah. Sejumlah hambatan datang untuk mewujudkannya. Hambatan yang tidak hanya
datang dari Belanda tapi juga Inggris yang ketika itu masih menguasai di
sepanjang jalan ke Timur. Melalui kekuasaannya, Inggris tidak bersedia
memberikan visa kepada sekjend Liga Arab untuk melewati daerah-daerah kekuasaan
hingga ke Ibukota Indonesia, Yogyakarta.
Lantas
bagaimana solusinya?
Pelaksanaannya
berjalan dengan baik karena Sekjend Liga Arab mengontak Kementerian luar negeri
Mesir yang berada di India, untuk menugaskan Mohammad Abdul Mun’im, yang pada
saat itu sedang memiliki tugas konsul jenderal Mesir di sana untuk berangkat ke
Indonesia mengantarkan surat pengakuan tersebut.
Sementara
di Indonesia, Belanda masih terus melakukan tindak blokade ketat terhadap siapa
pun yang hendak memasuki wilayah RI. Sekalipun demikian, utusan dari Liga Arab
berhasil menembus blokade dan tiba di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta.
Utusan diantar dengan mobil dinas pick up tua ke istana kepresidenan RI,
di sana mula-mula diterima oleh Mr A.G Pringgodigdo, selaku Sekretaris
Kepresidenan dan Presiden RI sedang memimpin sidang kabinet.
Kehadiran
Abdul Mun’im di istana kepresidenan Yogyakarta, kemudian diterima oleh Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dengan upacara penyambutan resmi.
Itu merupakan utusan resmi negara asing yang datang ke Indonesia setelah
merdeka. Tugas utamanya ialah menyampaikan surat pengakuan atas kemerdekaan RI,
juga minta diatur kemungkinan yang bisa dilakukan bagi Kerjasama antara RI dan negara-negara
Arab yang telah sepakat mengakui masalah Indonesia di depan persidangan
DKK-PBB.
Usai
upacara penerimaan, utusan negara Mesir dan sekaligus utusan Liga Arab
tersebut, melakukan sholat Jum’at di Mesjid Besar Kauman, Yogyakarta, disambut
oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan kaum muslimin-muslimat.
Begitulah
rangkaian singkat tentang kisah hidup dari Prof Nur Asyik dan rekam jejak
perjuangannya dalam diplomasi kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya masih terlalu
luas yang hendak disampaikan penulis. Namun, tujuan dari penulisan ini hanyalah
sebagai batas pengenalan tokoh, bukan penelitian yang mendalam dan detail.
Dari
kisah hidup Prof Nur Asyik, kita semestinya sadar akan pentingnya rasa cinta
terhadap negeri. Serta cerminan kesungguhan dalam belajar. Hal yang paling
membuat penulis takjub, ialah meskipun kesibukan Prof Nur Asyik yang fokus
dengan pendidikannya, beliau masih saja menyempatkan diri untuk memikirkan
bangsa dan nasib negara. Perjuangannya patut ditiru dan teladani oleh generasi
penerus bangsa.
Tulisan
ini merupakan ringkasan dari penelitian yang dilakukan selama setahun oleh DRS
H Budi Sulistiono, MHum yang berjudul LAPORAN PENELITIAN PERANAN PEMUDA
INDONESIA DALAM GERAKAN DIPLOMASI REVOLUSI DI MESIR; STUDI KASUS PROF HM NUR
ASYIK, MA. Penulis telah mencari dan mendapatkan banyak berkas mengenai sang
tokoh dari hasil yang telah lama dikumpulkan oleh saudara Nabil
Akhtiar baik itu hasil wawancara dengan Dr H. Fakhrul Ghazi Nur Asyik, anak
dari Prof. Nur Asyik ataupun data dan surat-surat lainnya. Semoga ke depannya
akan lahir karya yang merangkum tokoh-tokoh dari Aceh yang merantau ke Mesir
dan memiliki pengaruh hebat ketika menempuh pendidikan maupun ketika mengabdi
untuk negerinya.
Akhirnya,
semoga kisah ini menjadi pemantik rasa kecintaan terhadap bangsa dan negara
serta harapan bangsa yang menginginkan lahirnya Kembali Prof Nur Asyik
selanjutnya yang siap mengedepankan jiwa membela bangsa serta siap memikirkan
pendidikannya tak tertunda. []
*Penulis merupakan mahasiswa fakultas Bahasa Arab,
Universitas Al-Azhar.
Editor : Nada Thursina