Mengqada Shalat karena Haid?
Oleh: Setia Farah Dhiba*
![]() |
(Image: kompas.com) |
Seorang perempuan, apabila ia mendapati dirinya haid bersamaan dengan masuk waktu shalat dan belum mendirikannya. Bagaimana pandangan ulama pada hal ini? Dalam kitab Fatawa Nisa’ karangan syekh Ali Jumah beliau menjelaskan bahwasannya perempuan dalam keadaan tersebut harus mengganti (qadha) shalat yang belum ia dirikan karena sudah berada dalam waktu shalat dan menjadi tanggungannya. Waktu mengganti shalat tersebut adalah ketika masa haid si ukhti telah usai dan kembali berada dalam masa suci.
Persoalan lainnya, jika seorang perempuan telah suci dari haid sebelum matahari terbenam; maka bagi
si ukhti wajib mendirikan shalat Magrib
dan Isya. Kemudian jika ia sudah suci sebelum matahari terbit; wajib baginya mendirikan shalat mulai dari
waktu Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya.
Adapun
pada shalat fardu yang
berdampingan; Magrib dan Isya, juga Asar dan Zuhur, maka perempuan yang telah suci dari haid di waktu Asar baginya juga wajib mendirikan shalat Zuhur tepat sesudah menunaikan shalat Asar. Demikian jika ia usai dari haid pada waktu Isya, wajib untuknya mengganti shalat Magrib. Perhatikan ya salihah! Apabila suci dari haid tiba di waktu Magrib atau Zuhur, maka pastilah wajib mendirikan shalat
pada waktu tersebut tanpa perlu mengganti shalat yang sebelumnya.
Kemudian bagaimana dengan perempuan yang ingin mendirikan
shalat di awal waktu yaitu ketika
azan baru saja berkumandang sedang ia baru mendapati bahwa dirinya haid? Ya, dalam kitab Fiqih Manhaji ‘Ala Mazhab Imam Syafi’i, taklid melalui azan adalah salah satu jalan kita dalam
mengetahui tanda masuknya waktu shalat selain mengetahuinya dengan ilmu yakin
dan ijtihad.
Merujuk
pada persoalan di atas, maka seorang perempuan
tersebut mesti tetap meng-qadha shalat pada waktu datangnya haid tersebut,
karena adanya azan adalah bagian
dari pertanda sudah masuk waktu shalat dan itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Namun, disebabkan adanya mani’ (halangan) yang menghalangi
sahnya shalat yaitu haid, maka kewajiban mengganti shalat tersebut dapat
dilaksanakan seperti yang telah sedikit kami coba uraikan sebelumnya.
Ragu-ragu Ketika Haid
Sebut saja namanya Mawar. Ia menduga adanya haid, lantas ia tidak mendirikan shalat Isya dan Subuh. Setelah diperjelas kembali, ternyata hal
tersebut bukanlah haid. Apakah Mawar harus mandi wajib terlebih dahulu sebelum kembali melaksanakan shalat? Atau apakah wajib baginya meng-qadha shalat? Dan apakah meninggalkan shalat sebelumnya termasuk kesalahan (dosa)?
Selama sudah jelas bahwa daurah syahriyah (haid)
itu tidak muncul, maka tidak perlu mandi wajib jika ingin kembali shalat. Mawar mempunyai kewajiban untuk mengganti shalatnya yang ditinggalkan-sebab dugaan
haid-dengan niat qadha selama telah keluar dari waktu shalat tersebut.
Juga tidak termasuk sebuah kesalahan (dosa) bagi Mawar atas meninggalkan shalat
tersebut selama itu tidak disengaja.
Beda halnya ketika darah haid yang
keluar hanya berupa darah tipis atau sedikit noktah.
Si perempuan tetaplah
harus menunda shalat
dan puasanya hingga sempurna haidnya selama 6-7 hari pada kebiasaannya atau mencapai batas maksimal 15 hari. Apabila lebih dari batas tersebut
hendaklah ia mandi wajib, sehingga kembali dapat mendirikan shalat dan berpuasa. Ada pun darah yang masih tetap mengalir tersebut dinamakan istihadhah (darah
penyakit). Wallahu a’lam.
*Penulis merupakan mahasiswi tingkat akhir jurusan Syari'ah Islamiah, Universitas Al-Azhar, Kairo.
Posting Komentar