Syekh Sayyid Usamah Al-Azhari Adakan Majelis Kitab Al-Buldaniyyat Karangannya

Oleh: Muhammad Gia Nabila* 

Sumber: UsamahAlAzhari/instagram

Pukul 15.00 WLK, pemandangan tidak biasa terlihat di masjid Bilal bin Rabah. Lautan manusia sedang berkumpul di pekarangan masjid yang berada di distrik al-Muqattham tersebut seakan sedang menanti sebuah momen yang luar biasa. Tampak kerumunan massa terfokus di sebuah gerbang aula masjid dengan dua pintu besar terletak tepat di bawah bangunan utama masjid. Dengan banyaknya  jumlah orang yang mayoritasnya adalah pelajar, mereka berdesak-desakan di ambang gerbang, hingga sempat membuat petugas kewalahan untuk menertibkan keadaan. Gelagat para pelajar yang mengantre di depan aula yang tak sabaran dan khawatir tak kebagian tempat duduk di dalam aula seolah sudah memberikan clue kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depan masjid bahwa seorang yang tersohor nan memiliki pengaruh besar akan hadir di aula sana.

Benar saja, para pelajar dari berbagai negara itu sedang ingin bertemu dengan seorang ulama besar al-Azhar asy-Syarif di dalam sebuah majelis ilmu. Beliau adalah Syekh Dr. Usamah As-Sayyid Mahmud Muhammad Al-Azhari. Beberapa menit kemudian semua orang sudah tampak duduk dengan rapi di dalam aula, bahkan sampai terus menjalar ke bagian luar aula, bukan lantaran tempat yang kecil tetapi karena besarnya antusiasme pelajar dalam menghadiri majelis dengan  ulama besar yang satu ini, hingga menyebabkan kapasitas aula membeludak. Bagaimana tidak, kesempatan hadir di majelis beliau sangatlah langka dikarenakan padatnya jadwal beliau dan segala kesibukannya. Pelajar yang paling berhoki pun mungkin hanya bisa bertemu beliau dua tahun sekali jikapun ada dan itu bisa dihitung dengan jari.

Di sore hari sabtu (13/11) yang cerah ini, Syekh yang saat ini sedang dipercayakan sebagai penasihat kepresidenan Republik Arab Mesir ini dijadwalkan untuk membacakan sekaligus memberikan ijazah kitab beliau "Al-Buldaniyyat arba'un haditsan 'an arba'in syaikhan min arba'in baladan qad dakhaltuha" yang berisi kumpulan 40 hadis yang beliau dengar melalui 40 orang guru dari 40 negeri dan kota, hadis-hadis yang jalur periwayatannya bersambung dari guru beliau hingga ke Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Majelis dibuka dengan pembacaan ayat suci al-Quran diikuti dengan kata sambutan dari Syekh Dr. Ahmad Nabawi selaku penyelenggara majelis dan ketua Akademi Ihya' yang berpusat di aula majelis hari itu. Majelis hari ini sendiri merupakan sebagai simbolis dimulainya kegiatan di akademi yang berfokus pada pengembangan keilmuan Al-Quran dan Syariat. Sejurus kemudian, majelis pun dimulai dan sesuai dengan tradisi para ulama hadis dari zaman dulu hingga sekarang, Syekh Usamah memulai majelis dengan membacakan hadis musalsal bil awwaliah dengan sanad beliau dari guru-guru beliau hingga sampai kepada sahabat kemudian Rasulullah, yang mana hadis ini merupakan hadis pertama yang didengar dari guru-guru perawi tersebut dan mengatakan "ini merupakan hadis pertama yang kudengar dari guru saya ini", kemudian beliau memberikan ijazah hadis musalsal ini kepada seluruh hadirin, yang barangkali hadis ini pun merupakan hadis pertama yang mereka dengar dari Syekh Usamah.

Setelah selesai mukadimah, Syekh Usamah mulai memperkenalkan kitab "Al-Buldaniyyat" beliau serta menjelaskan syarat dan metode ulama-ulama hadis terdahulu sebelum beliau dalam mengarang kitab "Al-Arba'in Al-Buldaniyyat".

Sumber: UsamahAlAzhari/instagram

"Yang pertama sekali mengarang kitab hadis dengan corak ini adalah Al-Imam Al-Hafizh Abu Thahir As-Silafi yang wafat pada tahun 576H di umur yang ke-100. Beliau tinggal di Alexandria, Mesir selama lebih dari enam puluh tahun, belajar dan mengajar ilmu hadis di sana. Dikenal sebagai seorang ulama dengan Ilmu yang yang melimpah dan pengetahuan luas, menjadikan Al-Hafizh Abu Thahir sebagai ulama yang didambakan oleh setiap pelajar kala itu dari ujung barat hingga ujung timur oleh karenanya mereka berbondong-bondong menuju Alexandria  demi berguru ke beliau."

Tradisi pengumpulan hadis dengan sebanyak 40 hadis di dalam sebuah kitab khusus sudah banyak ditemukan di dalam dunia literasi islam sejak lama. Para ulama menyusun 40 hadis pilihan dalam satu bab tentang permasalahan tertentu, dan ini merupakan bentuk pengamalan mereka terhadap hadis Nabi shalallahu alaihi wasallam yang berbunyi :

«مَن حَفِظَ عَلى أُمَّتِي أرْبَعِينَ حَدِيثًا من أمرِ دِينها بَعَثهُ اللَّهُ ﷿ فقِيهًا، وكنْتُ لَهُ شافِعًا وشَهِيدًا»


"Barangsiapa di antara umatku yang menghafalkan 40 hadis tentang permasalahan agama, niscaya Allah akat membangkitkannya sebagai orang fakih, dan aku akan menjadi pemberi syafaat kepadanya dan sebagai saksi"

Hadis ini diriwayatkan oleh sebelas orang sahabat dengan lafal yang sedikit berbeda-beda, dan semua jalur periwayatannya lemah. Namun, para Ulama sepakat untuk mengamalkan isi kandungan dari hadis ini.

Bahkan terkadang sebagian mereka mengatakan : "Kalaupun hadis ini dhaif, terdapat hadis lain yang bisa dijadikan sandaran terhadap karya ini yaitu hadis Rasulullah yang memerintahkan untuk menyampaikan hadis beliau kepada generasi berikutnya".

Ulama yang mengumpulkan hadis dengan corak "Al-Arba'inat" (pengumpulan 40 hadis) ini sangatlah banyak, bahkan salah seorang sarjana dan peneliti kontemporer bernama Sahl Al-A'un membuat sebuah kitab berjudul "Al-Mu'in fii dzikri man allafa fil arba'in". Disini ia menyebutkan sederetan jumlah ulama dengan kitab "Arba'in" sebagai karangannya hingga mencapai lebih dari 530 Ulama disebutkan.

Syekh Usamah melanjutkan : "Dan salah satu andil besar yang dilakukan Syekh Abu Thahir di kitabnya "Al-Buldaniyyat" tersebut beliau mengatakan : "Demi mencari dan mendengarkan hadis Nabi saya sudah mengelilingi negeri yang banyak, dan dari negeri itu semua saya menyeleksi 40 negeri, dan di setiap negeri saya hanya memilih satu orang guru dari sekian guru yang saya jumpai di negeri tersebut, dan dari setiap satu guru-guru ini saya hanya memilih dan menyebutkan satu hadis dari mereka di dalam kitab ini"

Model penulisan seperti ini kemudian diikuti oleh Ulama yang hidup semasa dengan beliau yaitu Abu Al-Qasim ibn Asakir (W. 571 H), dan seterusnya diikuti oleh banyak ulama yang mengumpulkan hadis dengan metode yang sama seperti : Al-Hafizh Abu Ya'qub Yusuf Asy-Syirazi (W. 585 H), kemudian Al-Qadhi Abul Barakat Muhammad bin Ali Al-Anshari Al-Maushili Asy-Syafi'i (W. 600 H)  dan yang lainnya, hingga terakhir berhenti sesaat pada pertengahan abad kesepuluh disusun oleh Syekh Muhammad Ibnu Thulun Ash-Shalihi Ad-Dimasyqi (W. 953 H).

Dalam kurun waktu 4 abad ini, terdapat juga beberapa ulama besar para musnid yang berusaha untuk menghidupkan lagi tradisi karangan serupa, seperti : Syekh Abdul Hayy Al-Kattani Al-Maghribi Al-Faasi (W. 1382 H), Syaikh Al-Qadhi Abu Muhammad Abdul Hafizh Al-Faasi Al-Fihri (W. 1383H), dan Musnidul 'Ashri wal Waqti Musnidud dunya Syaikh Muhammad bin Yasin Al-Fadani Al-Makki (W. 1410 H).

Kendati demikian, penyusunan hadis yang dilakukan para Ulama tersebut ternyata belum lah benar-benar memenuhi salah satu syarat utama dari karakteristik kitab bertajuk Al-Buldaniyyat. Yaitu melakukan perjalanan ke 40 negeri untuk menghafal hadis bersanad dari 40 syekh, bukannya menghafal hadis dari satu tempat dimana di situ terdapat beberapa syekh yang berasal dari negeri-negeri yang berbeda, hal serupa pun pernah terjadi di kitab Al-Buldaniyyat yang disusun oleh Al-Faqih Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il Al-Yamani Asy-Syafi'i (W. 609 H) dimana beliau meriwayatkan 40 hadis dari 40 syekh dari negeri yang berbeda-beda dan mereka semua beliau jumpai di Mekah. Karena salah satu tujuan dari "Al-Buldaniyyat" itu sendiri adalah untuk menunjukkan kegigihan para ulama demi menghafalkan hadis dari banyak guru dengan melakukan perjalanan ke negeri yang berbeda-beda.

Sumber: UsamahAlAzhari/instagram

Di tengah penjelasannya, Syekh yang kini masih berumur 45 tahun ini mengatakan bahwa inspirasi beliau untuk menulis hadis-hadis ini bermula ketika beliau sedang melakukan perjalanan ke Yaman, setelah mengelilingi banyak kota/negeri di sana, beliau menyadari bahwa ternyata jika dihitung-hitung, beliau sudah singgah berguru hingga mencapai lebih dari 30 kota. Sejak itu, beliau pun berniat untuk kembali ke beberapa guru tempat beliau mengambil sanad dari berbagai negara demi menyempurnakan daftar 40 negeri, bahkan lebih dari itu beliau akhirnya mampu mengunjungi 60 negeri. Namun, di kitab ini beliau hanya menyebutkan 49 negeri dari 49 guru demi tetap menjaga dan berada dalam hitungan 40 hadis sebagaimana karakteristik asal dari kitab-kitab dengan nama Al-Buldaniyyat.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa kitab karangan yang masuk kategori Al-Buldaniyyat ini terakhir kali disusun oleh ulama-ulama pertengahan abad kesepuluh oleh Syekh Muhammad ibnu Thulun, hingga akhirnya jadilah kitabnya Syekh Dr. Usamah As-Sayyid Al-Azhari ini sebagai kitab yang sesuai dengan format yang dan syarat yang sudah diikuti para ulama terdahulu, setelah terputus 4 abad lamanya. "Dengan demikian, jadilah kitab Al-faqir (Saya) ini sebagai kitab pertama yang melengkapi syarat "Al-Buldaniyyat" berdasarkan metode para muhaddisin, setelah sempurna 400 tahun lamanya". Kata Syaikh Usamah.

Adapun negeri-negeri yang belum beliau sebutkan di kitab ini, kemudian beliau sebutkan di kitab yang beliau susun setelahnya yang diberi nama "Al-Buldaniyyat As-Sughra". Di kitab yang lebih tipis dari kitab sebelumnya, mencakup negeri dan guru yang belum disebutkan juga meliputi negeri yang baru beliau kunjungi di kemudian hari.

Setelah menjelaskan latarbelakang sedemikian rupa, Syekh Usamah mulai masuk ke dalam hadis pertama dari kitabnya, dimulai dengan negeri Madinah disertai kelebihan dan keutamaan Madinah beserta beberapa kisah luar biasa yang beliau alami di sana terus dibarengi nama-nama guru yang beliau jumpai di sana lalu menyebutkan sanad beliau hingga ke Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Dilanjutkan dengan negeri Mekah, Jeddah, Negeri-negeri di Mesir, Syam, India, Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait, negara-negara di Afrika, Britania Raya, Malaysia, Indonesia dan lainnya hingga sampai ke penghujung kitab.

Majelis yang berlangsung selama tiga jam tersebut diselangi dengan shalat Maghrib dan Isya berjamaah, lantunan nasyid dari munsyid kondang Mostafa Atef, dan juga pembacaan syi'ir pujian terhadap Syekh Usamah oleh salah seorang pelajar asal Nigeria. Pembacaan nasyid dan qashidah madih ini pun merupakan salah satu tradisi untuk melunakkan hati (turaqqiq al-qulub) yang dilakukan para muhaddisin zaman dulu dalam majelis mereka. Syahdan, maka majelis pun beliau tutup dengan wasiat-wasiat kepada para penuntut ilmu sebelum akhirnya memberikan ijazah sanad hadis dari kitab Al-Buldaniyyat tersebut kepada seluruh hadirin, baik yang berada di dalam aula maupun yang duduk rapi berbaris di ambang pintu gerbang yang dibiarkan terbuka supaya Syekh tetap bisa terlihat dari kejauhan.

"Dengan demikian, saya mengijazahkan hadis-hadis yang sudah saya dengar dari guru-guru saya kepada seluruh hadirin sekalian dengan ijazah 'ammah, disertai  syarat-syarat yang sudah muktabar di kalangan para muhaddisin. Saya berharap doa dari semuanya untuk kebaikan saya, guru-guru kita, orang tua kita dan seluruh kaum muslimin. Saya berwasiat agar terus belajar, dan jangan malu mengatakan "Aku tidak tau" di permasalahan yang memang tidak dia ketahui, dan saya juga berwasiat agar semuanya giat dalam menuntut ilmu, dan agar seluruh hadirin tidak bergantung pada sanad ini, karena ia hanyalah bagian dari pelengkap ilmu. Karena ilmu itu pada dasarnya adalah dengan menguasai hakikat dari permasalahan-permasalahan pokok ilmu syariat. Dengan ini saya telah mengijazahkan kepada hadirin sekalian dengan ijazah 'ammah""

Qabilna...[]

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Hadis wa Ulumihi di Universitas Al-Azhar, Mesir.

Editor: Ali Akbar Alfata

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top