Merancang Formulasi Masisir Ideal Berdasarkan Prespektif Kesejarahan
Oleh: M. Azzam Al Faruq
*Juara kedua lomba menulis opini se-masisir.
Dok. Pribadi |
Pendahuluan
Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan pada Ahad 28 November 2021 bertempat di Al-Azhar Convention Center cukup menyita perhatian penulis. Pasalnya, acara yang mengusung tema “Peran Strategis Alumni Al-Azhar dalam Konteks Tantangan Bangsa di Masa Depan” menghadirkan pemateri-pemateri besar seperti Prof. Dr. KH. Amal Fathullah Zarkasyi, MA., Komjen Pol (P) Dr. Syafruddin, M.Si., KH. Luqman Al-
Hakim Harist Dimyati, dan Dr. H. Das’ad Latief S.Sos., S.Ag., M.Si., Ph.D. Poin penting yang disampaikan oleh para pemateri mengarah pada pertanyaan, bagaimana alumni Al-Azhar asal Indonesia dapat berkiprah sepulangnya ke tanah air nanti. Dan masing-masing pemateri memberikan sudut pandangnya tersendiri.
Selain dari materi yang disampaikan, melihat profil dari para pemateri ikut menambah inspirasi bagi penulis pribadi. Salah satunya adalah KH. Luqman Hakim Harist Dimyati yang memiliki nasab sampai kepada orang Indonesia pertama yang belajar di Universitas Al-Azhar. Garis keturunan pengasuh pondok pesantren Tremas, Pacitan ini rupanya mengarah kepada sosok Kyai Abdul Manan Dipamenggala yang sekaligus pendiri pondok tersebut. Menurut catatan sejarah, diperkirakan beliau datang ke AlAzhar pada tahun 1850. Pada saat itu, beliau berguru salah satu Imam Besar Al-Azhar, Syaikhul Islam Ibrahim Al-Baijuri, pengarang kitab Fath al-Mubin yang merupakan syarahan dari kitab Umm al-Barahin.[1]
Dengan demikian, diaspora pelajar muslim Indonesia di Universitas Al-Azhar Mesir sudah terjadi pada waktu yang sangat lama. Eksistensi yang mereka tinggalkan pun tak semata tanpa meninggalkan bekas begitu saja. Dalam dinamikanya, banyak sumbangsing dan peranan mahasiswa Indonesia di Mesir (sebut: masisir) yang amat berharga untuk dilupakan. Penelusuran dan analisis historis yang menjadi konsen penulisan kali ini, diharapkan dapat menghasilkan alternatif rekomendasi role model masisir ideal di masa mendatang.
Azhari dalam Lintasan Histori
Diantara sekian penelitian yang banyak mengulas seluk beluk kehidupan mahasiswa Al-Azhar (khususnya asal Indonesia), nama Mona Abaza mungkin tidak bisa dilewatkan. Melalui bukunya, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar yang merupakan terjemahan dari Islamic Education Perception and Exchanges, Indonesian Student in Cairo sedikit banyak mengulas analisa ciamik dalam memahami gerak alur masisir pada masanya.
Dalam salah satu pembahasannya, dengan cermat Abaza mengkategorisasi orientasi angkatan alumni Al-Azhar menurut periodenya. Yakni di masa penjajahan (kolonialisme), masa pasca kolonialisme, dan masa kontemporer antara tahun 70-an sampai 80-an (abad 20).[2] Masing-masing angkatan memiliki kekhasan orientasi dan paradigmanya sendiri. Begitu pula, tantangan dan konteks yang dihadapi satu sama lain juga saling berbeda.
Di sini penulis akan memfokuskan pembahasan pada dua kelompok awal; masa kolonialisme dan pasca kolonialisme. Meski terpaut waktu yang tidak sedikit, namun dibalik itu terlihat jelas ikatan relevansi dan model spirit yang sama. Dalam frame yang terjalin rapi antara keislaman dan kebangsaan.
Era Penjajahan
Pertama, di masa penjajahan. Di sini, setelah melihat kekalahan umat Islam pasca perang dunia kedua dengan banyaknya negeri-negeri yang dijajah, membuat hawa politik saat itu tampak mengagitasi kalangan muda untuk bangkit dari keterpurukan. Keadaan ini pula tak lepas dari kontribusi para pembaharu Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, dan Rasyid Ridla. Menurutnya, apa yang dianjurkan Al Afghani memadukan antara agama dan rasa kebangsaan. 3 Sementara ‘Abduh lebih menekankan adanya suatu elit baru, atau tipe ulama baru dan suatu kelas menengah untuk melakukan sebuah perubahan, selain mengajurkan pula pentingnya pendidikan teknologi.[3]
Dua corak inilah yang akhirnya membawakan arah perjuangan baru bagi kalangan mahasiswa Islam, terutama yang berasal dari Indonesia. Seperti dengan dibentuknya Jam’aah Al-Khairiyyah Al-Thalabiyyah Al-Azhariah Al-Jawah atau Persatuan Kesejahteraan Mahasiswa Jawa di Universitas Al-Azhar yang mewadahi mahasiswamahasiswa asal Nusantara. Program kerjanya pun cenderung bermuatan politis sekalipun dibungkus secara akademis. Salah satunya, menerbitkan majalah-majalah berkala seperti Seruan Azhar dan Pilahan Timor. Terlihat sekali bila konten yang diusung membahayakan kedudukan imperialis. Akibatnya, kedua majalah ini dilarang beredar oleh pemerintahan kolonial Belanda.[4] Selain itu, tendensi sebagian lain alumni pada angkatan tersebut (sekitar tahun 30-an) juga terobesesi untuk memodernisasi ranah pendidikan karena terinsiprasi ide Muhammad Abduh. Salah satunya yang dilakukan H. Muhammad Basyumi Imran yang mendirikan Al-Jamia Al-Islamiyyah Al Sultaniyyah di Sambas dan H. Abdul Rasjid yang mendirikan sekolah Normal Islam pada tahun 1928. Modernisasi juga terlihat lewat pengadaan buku-buku cetakan Mesir.[5]
Diantara tokoh-tokoh pada masa tersebut, salah satunya adalah Djanan Thaib. Ia adalah mahasiswa pertama asal Indonesia yang mendapatkan gelar ‘Alamiyya dari Universitas Al-Azhar pada tahun 1924. Semasa berkuliah, ia aktif berkecimpung di Jami’ah AlKhairiyyah dan menjabat sebagai redaktur Seruan Azhar. Disebutkan pula dalam majalah tersebut, bahwa ia ikut ditunjuk sebagai anggota dalam Konferensi Islam Pertama yang diadakan di Mekah pada tahun 1926. Hingga akhirnya, ia menghabiskan sisa hidupnya di kota tersebut sebagai pengajar di Masjidilharam. Bahkan juga mendirikan sekolah Indonesia yang diberi nama Madrasah Indonesia al-Makkiah dan bertahan 40 tahun lamanya. Ia wafat pada tahun 1945 di Mekah.[6]
Era Pasca Penjajahan
Pada masa ini perjuangan sebagian besar alumni lulusan Kairo terkonsentrasi pada pembangunan negeri setelah terjadinya ekses kemerdekaan nasional. Ranah yang ditempuh kebanyakan dengan menduduki pos-pos penting dalam struktur negara. Sementara itu, mereka juga bersumbangsih dalam mewujudkan perlembagaan Islam bersamaan perluasan jaringan dalam pemerintahan.[7] Dengan kata lain, dalam periode ini kebanyakan alumni menjadi teknokrat/birokrat seiring mencuatnya signifikasi ajaran Islam dalam ruang publik. Hal ini akan nampak jelas dalam profil dan sumbangsih para alumni yang akan dijelaskan sebagaimana berikut.
Salah satu nama beken yang merepresentasikan angkatan ini tidak lain nama Mohammad Rasjidi. Putera asal Kotagede, Yogyakarta ini menempuh pendidikan tingginya di Universitas Kairo pada Fakultas Filsafat[8]. Dan ternyata karena keahlian inilah yang membuatnya ditarik ke dalam struktur pemerintahan Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Seperti pada tahun 1946, ia diangkat sebagai Menteri Agama pertama. Selain itu, ia juga pernah didaulat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Mesir, Arab Saudi, dan Pakistan pasca kemerdekaan[9]. Karir politisnya yang cemerlang, terlihat serasi berpadu dengan karirnya di dunia akademis. Terbukti, ia berhasil menyandang gelar Ph.D pada tahun 1956 dari Universitas Sorbonne dengan tesis berjudul Document pour servir a I’histoire de I’Islam a Java di bawah bimbingan salah seorang orientalis kawakan asal Perancis, Louis Massignon.[10] Menurutnya, Rasjidi merupakan fenomena generasi pejabat agama pemerintahan yang memiliki hubungan erat dengan organisasi-organisasi agama resmi.12 Nama lain yang menjadi partner seperjuangan Rasjidi adalah Kahar Muzakkir. Kesamaan kampung halaman di Indonesia tidak membuat tokoh kelahiran 1903 tidak memiliki obsesi yang otentik. Di Kairo, ia mengeyam studi di Darul Ulum (Universitas Kairo) pada tahun 1925. Selama di sana, ketertarikan pada dunia politik tersalurkan dalam perlbagai wadah. Satu diantaranya menjadi pemimpin Persatuan Internasional Pemuda Muslim, selain juga tenggelam dalam dunia jurnalistik lewat Seruan Azhar.13
Sekembalinya ke tanah air, sumbangsihnya begitu nyata. Sejarah mengingatnya sebagai salah seorang pendiri Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta[11]- meski seingat penulis beliaulah pendiri Sekolah Tinggi Islam yang merupakan cikal bakal Universitas Islam Indonesia. di jenjang pusat, beliau termasuk tokoh yang ikut campur dalam pembentukan Piagam Jakarta 1945 bersama sembilan orang lainnya.15
Lalu Bagaimana Sekarang ?
Setelah membaca uraian di atas, akan semakin jelas bila potret ideal masisir sangat berkait erat dengan konteks yang mengitarinya. Apa yang terjadi di masa revolusi (penjajahan dan setelah penjajahan) banyak menitikberatkan pada paradigma perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan. Diseminasi gagasan nasionalisme-Islam oleh para pembaharu begitu menginspirasi para mahasiswa untuk bangun melawan penjajahan. Tidak dengan mengangkat senjata, melainkan dengan mengangkat pena. Jihad intelektual masif dilakukan sampai angin kebebasan menerpa negara-negara ketiga. Ini sangat terlihat sekali, terlebih setelahnya ketika para alumni setamat pendidikan langsung ditarik untuk mengisi kantong-kantong strategis di kursi pemerintahan. Latar belakang sebagai intelektual tak serta merta menjadikannya berkutat dibalik meja tanpa terhubung dengan aspirasi bangsa. Penting dicatat, bahwasannya kiprah mereka menjadi seorang sarjanawan memiliki andil besar dalam menata negeri. Sekalipun tak tampil langsung dihadapan khalayak umum, namun lewat pemikiran dan kontemplasi merekalah pengorganisasian pemerintahan menjadi mapan.
Meskipun kategorisasi yang dilakukan Abaza tidak rigid dalam membatasi jenjang waktu periode tiap angkatan, akan tetapi setidaknya gambaran akan nilai idealitas para masisir pada masanya ini dapat terefleksi dengan baik. Dengan pasti, penulis dapat memastikan bahwa para tokoh jembolan pendidikan Mesir ini memiliki etos dan prinsip yang mumpuni sewaktu menempuh studi. Tuntutan zaman yang menjadi tantangan mampu diselaraskan dalam keseharian. Semisal, adanya eskalasi animo politik saat itu yang mengemuka di dunia kampus berhasil dijalani dengan baik tanpa mengganggu urusan akademik. Sebaliknya, tanggung jawabnya untuk menuntut ilmu sebanyakbanyak sukses dijalankan dan membawa kebermanfaatan, terutama ketika diaplikasikan dalam peran kenegaraan. Inilah yang penulis sebut sebagai indikator masisir yang ideal.
Dimana antara idealitas dan realitas tidak saling bentrok. Cita-cita yang terlampau tinggi di atas bintang-bintang tidak lantas membuatnya bersikap utopis dan malah jatuh pada rutinitas pramatis. Malahan, mendorongnya untuk bangun beramal secara praktis. Impian-impian samawi tersebut dapat ditransmisikan sebagai pedoman dalam memandunya menjalani kehidupan. Tak lupa, dengan arah yang jelas dan wujudnya tahapan-tahapan yang pasti. Dengan demikian, tak akan ada namanya masisir yang disorientasi kehilangan arah kendali. Oleh karena, apa yang ada dipikirannya telah mengarah pada tujuan yang pasti.
Penilaian ini sekiranya dapat menjawab kebingungan masisir hari ini antara memilih kehidupan religio-inteletual (kuliah/talaqqi) dengan semangat aktivisme organisatoris. Penulis yakin betul bahwa masisir yang ideal adalah yang sanggup memformulasikan keduanya dengan takaran yang seimbang. Berkaca dengan pengalaman para pendahulu di atas, kelihatan sekali perpaduan epik antara daya kognitif dengan kemampuan sosioafektif. Baik berinteraksi dan berdiskusi sama-sama bagusnya. Harapannya inilah yang perlu dimiliki oleh masisir zaman sekarang. Dan tanpa menegasikan keunikan tendensi pribadi, dua karakter ini bersamaan konsistensi yang terus diolah padu dalam pergumulan jalannya waktu, dapat menjadi prototipe masisir yang bermutu. Setidaknya sampai ditemukannya rumusan yang baru.
WaAllahu ta’ala bi-shawab.[]
Referensi:
Abaza, Mona, and S. Harlinah. Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar. LP3S, 1999.
[1] www.m.republika.co.id/berita/pggs1k320/tokoh-indonesia -yang-belajar-di-mesir-pertama-kali Diakses pada tanggal 28 November 2021 pada pukul 20.32 CLT.
[2] Mona Abaza, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar, Jakarta: Pusataka LP3S. 1999, hal. 67 3 , hal. 41.
[3] Ibid, hal. 46.
[4] Ibid, hal. 49.
[5] , hal. 48
[6] , hal. 70.
[7] Ibid, hal. 67.
[8] Ibid, hal. 70.
[9] Ibid, hal. 71.
[10] Ibid, hal. 71. 12 , hal. 72. 13 , hal. 72.
[11] , hal. 72. 15 , hal. 73.
Mahasiswa tingkat dua, Universitas al-Azhar, Kairo.
Posting Komentar