Sebelum Menciptakan Alam, Apa yang Tuhan Lakukan? (Bagian 2)

Oleh:  Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
(Sumber gambar: AAS Nova)

Menanggapi berbagai teori dan pemikiran yang berusaha menentang eksistensi ketuhanan, dan awl mula alam diciptakan Grand Imam Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Muhammad At-Thayyib juga turut membantah teori tersebut. Beliau merangkum dalam karyanya “Muqawwimat Al-Islam,”. Dalam karyanya itu beliau membantahnya menjadi dua sisi bantahan sebagai berikut:

Pertama: Dalil Logika


Mustahilnya muncul aturan dari ketidak-aturan serta munculnya hikmah dari kesia-siaan, ketidak-aturan dan kekacauan. Sementara alam semesta ini –menurut pandangan mereka sendiri- terbangun dari aturan yang sempurna dan punya tujuan yang jelas yaitu memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya serta efek dan reaksi dari kehidupan itu sendiri. Secara otomatis, hal itu menghendaki adanya unsur kesengajaan dalam aturan alam semesta baik secara logika maupun ilmu pengetahuan.

Ketika kita katakan bahwa alam semesta yang terbangun dari kesengajaan ini adalah produk kebetulan tanpa tujuan, baik dari dekat maupun jauh, maka dengan apa akal akan menafsirkan munculnya “keteraturan” dalam alam ini? Apakah terlahir dari kekacauan teori kebetulan ini? Apakah mungkin bagi yang tidak memiliki sesuatu dapat memberikan sesuatu kepada yang lain? Apakah terlahir begitu saja tanpa sebab apapun? Apakah secara akal sehat bisa dibenarkan bahwa sesuatu itu bisa terjadi tanpa ada yang menciptakan?


Teori ini, di samping tidak mampu menjawab pertanyaan seputar asal-muasal lahirnya alam semesta secara logis dan sistematis, ia juga bertentangan dengan nalar dasar akal dan prinsip utamanya yaitu prinsip hukum kausalitas (sebab-akibat). Semua pandangan yang bertentangan dengan prinsip naluri ada dalam jiwa seluruh manusia, maka akal-lah yang pertama kali mengklaim “kepalsuan dan penipuan” terhadapnya.

Kedua: Dalil Ilmu Pasti

Burhan Al-Imkan atau teori probabilitas (teori kemungkinan) adalah satu teori yang mampu menghancurkan teori kebetulan sampai ke akar-akarnya. Inti Burhan Al-Imkan ini terbangun dari tiga fase:

Fase pertama: Terdapat keserasian fenomena alam dengan kehidupan manusia pada alam semesta ini sendiri secara terus-menerus. Semua fenomena ini yang begitu banyak ditundukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup, di antara contoh fenomenanya antara lain:

- Jarak antara bumi dan matahari telah diukur dengan cermat dan dinyatakan sesuai dengan kebutuhan kalori bagi kehidupan di permukaan bumi. Jika jaraknya bertambah dua kali lipat saja, maka kebutuhan kalori di bumi tak akan tercukupi, begitu juga sebaliknya, jika jaraknya berkurang sedikit, derajat panas akan meningkat dan menyebabkan ketidakstabilan hidup.

- Udara mengandung 21% Oksigen (O2). Kadar ini sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Jika kadarnya bertambah maka akan menyebabkan kebakaran lingkungan, jika berkurang maka kebutuhan akan api takkan tercukupi.

“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tak akan mampu menghtungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 18)

Fase Kedua: Keserasian yang terus-menerus antara jutaan fenomena alam dengan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan manusia ini dapat ditafsirkan dengan satu perkiraan saja, yaitu adanya Pencipta Yang Sengaja ingin Memenuhi unsur kehidupan di bumi dengan beragam fenomena yang ada. Kemungkinan perkiraan ini semakin menguat dengan adanya keserasian pada setiap fenomena alam dan kehidupan yang menjadikan kemungkinan penafsiran adanya Pencipta telah menduduki posisi sangat tinggi.

Fase ketiga: Sebaliknya, apabila kita menafsirkan semua keserasian pada contoh tak terbatas itu dengan perkiraan kebetulan, maka kita terpaksa melakukan triliunan perkiraan dari kebetulan itu. Bersamaan dengan setiap kondisi dan contoh, akan turun tingkat kemungkinan itu dan akhirnya mencapai titik nihil.

Dengan naiknya kemungkinan perkiraan adanya Pencipta dan turunnya kemungkinan perkiraan kebetulan, maka akal akan menguatkan –secara pasti- kemungkinan pertama dan menjauhi secara total kemungkinan kedua, akhirnya kita sampai pada kesimpulan pasti bahwa alam semesta ini ada Pencipta Yang Bijaksana dengan bukti adanya tanda-tanda keserasian dan keteraturan di semua hal yang terdapat di alam semesta ini.”

“Kami akan Memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.” (QS. Fushilat [41]: 53)

Contoh mustahilnya teori kebetulan bisa kita ambil dari mata manusia. Apabila kita mengambil satu lapisan dari beberapa lapisan mata, yaitu lapisan terakhir, maka kita akan melihat bahwa lapisan tersebut tersusun dari tiga puluh juta benang halus ditambah tiga juta partikel mikro yang berbentuk kerucut. Benang-benang ini tersusun dengan begitu teliti sehingga penglihatan pada mata menjadi sempurna.

Kalau kita mau berandai secara logika, menomori benang-benang ini dengan nomor yang berurutan dari satu sampai tiga puluh juta, kemudian urutan nomor tersebut kita acak, setelah itu kita coba untuk mengembalikan benang-benang tersebut sesuai urutan yang semestinya bagi proses penglihatan –namun dengan cara kebetulan-, berapa persentase nomor satu akan kembali ke posisi urutan yang tepat? Persentasenya adalah 1/30.000.000 kemungkinan. Persentase benang nomor dua untuk kembali ke tempat semula dengan kebetulan memiliki satu kemungkinan dari 900.000.000.000 kemungkinan. Bisa dibayangkan nilai kemungkinan benang nomor sepuluh, seratus atau seribu untuk menduduki posisi semula. Banyaknya jumlah kemungkinan disini bisa mencapai puluhan meter angka nol. Di saat yang sama, nilai kemungkinan itu akan mengecil sampai mencapai titik nol.

Ini baru satu contoh organ tubuh manusia. Bagaimana dengan alam semesta yang luar biasa luas dan hebat ini, mulai dari atom sebagai unit terkecil sampai unit terbesar seperti bintang atau galaksi. Dari sini juga kita berkesimpulan bahwa alam ini teratur dan segala yang teratur pasti ada yang mengatur, maka alam ini pasti ada pengaturnya, yaitu Tuhan. Argumen ini disebut Argument of Intellegent Design atau Burhan Al-‘Inayah.
(Sumber gambar: Pixinio)

Manusia Bertanya, Tuhan Menjawab

Dari berbagai perselisihan diatas, maka kita punya argumen logis bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Wajib Ada. Tak dapat dipungkiri, manusia sebagai makhluk butuh Tuhan, itu sesuatu yang aksiomatik. Manusia tak mampu hanya berpegang pada rasio dan pancaindera sebagai sumber ilmu pengetahuan, manusia juga butuh ilham atau wahyu yang disampaikan oleh para nabi sebagai utusan Tuhan untuk meraih kebahagiaan.

Muncul masalah baru, jika Tuhan ada, maka otomatis alam juga harus ada seiring dengan adanya Tuhan. Seperti yang dijelaskan di awal tadi, Jika alam ada berawal dari ketiadaan, maka akan ada selang waktu kekosongan antara adanya Tuhan dengan adanya alam dan itu mustahil. Maka alam itu mestilah qadim (tidak memiliki permulaan) tidak berawal dari ketiadaan. Karena jika tidak seperti itu, lahirlah pertanyaan “Sebelum menciptakan alam, Apa yang Tuhan lakukan?”

Kita akan mencoba membongkar kesalahan dari pertanyaan ini. Kata sebelum itu mengindikasikan keterkaitan dengan waktu, teman sejawatnya kata setelah. Keduanya mengindikasikan waktu. Maka pertanyaan ini mengaitkan Tuhan dengan keberwaktuan. Maka kita harus mengkaji apa hakikat dari waktu.

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam karyanya Al-Mabahits Al-Masyriqiyyah fi Ilm Al-Ilahiyyat wa At-Tabi’iyyat, mengaku belum menemukan jawaban yang memuaskan tentang hakikat waktu. Pembahasan ini masuk ke dalam ranah Ilmu Maqulat (Ilmu Kategori). Dari sekian banyak definisi, ada satu definisi yang simpel, yaitu ‘adad al-harakah (hitungan gerak) atau miqdar harakat al-falak (ukuran gerakan benda langit). Maka dari definisi tersebut, kita pahami bahwa jika gerak tidak ada, waktu jika tidak ada atau tidak berjalan. Jika benda langit tidak bergerak, maka waktu juga tidak akan bergerak. Gerak sendiri baru ada ketika ada alam semesta. Maka tidak tepat jika timbul pertanyaan apa yang Tuhan lakukan sebelum menciptakan alam, karena keberwaktuan sendiri, dalam konteks ini kata ‘sebelum’ baru ada ketika ada alam, alam sendiri diciptakan oleh Tuhan. Bagaimana bisa Tuhan dikaitkan dengan keberwaktuan sedangkan keberwaktuan sendiri hukumnya baru berlaku ketika alam ada (hukum alam). Tuhan itu Maha Sempurna, dan Maha Sempurna-Nya tersebut karena dirinya sendiri, bukan karena sesuatu yang lain. Maka pertanyaan apa yang Tuhan lakukan sebelum menciptakan alam adalah pertanyaan yang cacat, tidak masuk akal dan menyalahi kaedah, seperti halnya pertanyaan “Kapan anda minum ayam? Atau “Bagaimana cara makan air?”

St. Agustinus juga menegaskan: “As we shall see, the concept of time has no meaning before the beginning of the universe.”(Konsep waktu itu sendiri tidak memiliki makna sebelum dimulainya alam semesta).

“... Katakanlah, Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa, Maha Perkasa.” (QS. Ar-Ra’ad [13]: 16)

Wallahu A’laa wa A’lam


Referensi:

- Dr. Muhammad Rabi’ M. Jauhari, Muqaddimat Ilmu Al-Kalam.
- Dr. Stephen W. Hawking, A Brief History of Time.
- Dr. Stephen W. Hawking, The Theory of Everything; The Origin and Fate of The Universe.
- Imam Fakhruddin Ar-Razi, Al-Mabahits Al-Masyriqiyyah fi Ilmi Al-Ilahiyyat wa Ath-Thabi’iyyat.
- Muhammad Ja’far Syamsuddin. Dirasat fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah.
- Muhammad Nuruddin, Hal-Hal yang Membingungkan Seputar Tuhan.
- Prof. Dr. Ahmad Muhammad At-Thayyib, Muqawwimat Al-Islam.
- Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Al-Qaul As-Sadid fi Ilmi At-Tauhid, Jilid 1.
- Syekh Muhammad Hasanain Makhluf, At-Tasawwurat Al-Awwaliyyah fi Al-Maqulat Al-Hikmiyyah.
- Yusuf Ali Yusuf & Sulaiman Abd Al-Fattah, Al-Maqulatu Al-Wadhihah.

*penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir Universitas Al Azhar Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat.

Editor: Annas Muttaqin

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top