Sexual Harassment; Implikasi Pers dan Publikasi Beretika

Oleh: Arman Muhammad Amir
* Juara satu lomba menulis opini se-masisir. 
Dok. Pribadi


Sexual harassment atau pelecehan seksual merupakan tindakan tunasusila yang tidak diinginkan dan dapat terjadi kapan saja, kepada siapa saja dan dimana saja. Apalagi di era serba digital ini, pelecehan juga bisa terjadi di media sosial sekalipun. Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.

Pelecehan seksual di Indonesia sudah sangat krusial. Berdasarkan survey dari L'Oreal Paris bersama IPSOS - Jan 2021: 8 dari 10 perempuan di Indonesia pernah mengalami sexual harassment di ruang publik, banyak yang beropini bahwa tindakan itu terjadi ketika perempuan lagi sendiri, namun ketika melihat fakta di lapangan, latar lokasi yang paling sering terjadi tindak kriminal tersebut yaitu di jalanan umum, transportasi, persekolahan dan kampus (semuanya adalah ruang publik), dan kronisnya, data kasus yang paling tinggi bukan di malam hari, tapi terjadi di siang hari. Di lansir dari bbc.com, hasil survei menunjukkan waktu korban mengalami pelecehan (55%) terjadi di siang hari.

Itu terjadi di ruang publik, tempat yang seharusnya aman dan terlindungi, karena kondisi banyak orang yang lalu lalang. Ekspektasinya banyak orang yang bisa menolong, pelaku tidak punya kesempatan dan pelaku tidak berani melakukan aksinya. Namun itu hanya sekedar ekspektasi, karena 91% dari orang-orang tidak melakukan apapun karena tidak tahu harus berbuat apa.

Tindakan arbitrer seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, semua elemen baik di pemerintahan maupun di masyarakat harus berkontribusi untuk merealisasikan keamanan di balik kata publik yang tertoleh. Lantas, di manakah implikasi media massa dalam memproteksi korban pelecehan seksual? Disadari atau tidak, pers memiliki responsibilitas yang signifikan dalam perlindungan korban dan deklinasi kasus baru.

Oleh karena itu, perlu adanya implementasi dan mengimplikasikan tindak sexual harassment terhadap fungsi pers yang sering digaung-gaungkan, yaitu sebagai media informasi, edukasi dan kontrol sosial.

1. Media Informasi

Media massa merupakan sarana menyebarkan informasi kepada masyarakat. Dan ini sudah menjadi hak masyarakat, sebagaimana Pasal 28F UUD 1945, Amandemen Kedua yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pada era ini, masyarakat tidak boleh disekat dengan pengemasan kondisi baik-baik saja, karena faktanya kondisi lagi kronis. Asumsi aman memberikan impresi kapada masyarakat sehingga berkonsekuensi kepada kurangnya kewaspadaan, dan akhirnya mengarah kepada eskalasi kasus baru. Untuk hal ini, media massa harus lebih visibel untuk mendeskripsikan dan mempublikasikan kondisi yang terjadi.

Namun impak konten yang dikonstruksi secara absolut dan gegabah– terlebih jika berita tersebut diviralkan oleh masyarakat di media jejaring sosial internet –dapat mengakibatkan efek peniruan (copycat crime), takut akan kejahatan (fear of crime), kepanikan moral (moral panic), menumpulnya empati, dan lain-lain. Efek fear of crime, manifestasinya dapat berupa emosi ketakutan real, atau ketakutan antisipatif, yakni perasaan takut akan mengalami kejahatan.

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana memintasi efek buruk terhadap publik akibat publikasi konten berita kriminal di media? Maka dari itu, seorang ahli kriminologi dan peradilan pidana, Gregg Barak telah menawarkan konsep newsmaking criminology. Dalam konsep tersebut media harus dapat menjelaskan seberapa seriusnya kejahatan dalam kaitan tingkat keberbahayaannya, melihat kejahatan dalam perspektif keadilan, menjadi fasilitator kebijakan pengendalian sosial.

Intensi eksplisitnya yaitu agar media benar-benar berperan sebagai agen informasi agar masyarakat dapat mengeksploitasi dan mengantisipasi fenomena yang sedang terjadi, hingga media tidak konstan mengalokasikan peristiwa kejahatan sebagai komoditas atau barang dagangan semata. Konsep ini juga menginstruksikan batasan-batasan konstruksi dalam pembuatan berita yang akan dipublikasikan kepada khalayak, dengan kata lain media tidak menjadi agen yang absolut hingga memiliki batasan yang bersifat proporsional terutama dalam urusan kriminal.

Berdasarkan teori asosiasi diferensial atau differential association yang dikemukakan pertama kali oleh Edwin H Suterland pada tahun 1934 dalam bukunya ‘Principle of Criminology’, bahwa perilaku kriminal merupakan tindakan yang dipelajari dalam lingkungan sosial. Artinya segala tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara, termasuk pelecehan seksual.

Oleh karena itu, media massa harus mengerti had yang dalam publikasi, tidak menginformasikan secara gegabah, serta menjelaskan informasi secara proporsional. Tentunya akan berimpak positif kepada deklinasi copycat crime. Di sinilah peran besar wartawan atau reporter untuk berpikir dan menganalisis agar tidak keluar dari batasan-batasan untuk mecegah terealisasinya pelecehan seksual dengan modus atau kronologi yang berulang.

2. Media Edukasi

Tidak terbatas sebagai media informasi, pers juga berfungsi sebagai media pendidikan. Dalam hal ini pers memiliki intensi untuk ikut meningkatkan wawasan dalam mencerdaskan bangsa. Dalam implementasiannya, pers dapat menyuguhkan pendidikan langsung maupun tak langsung dalam bentuk dokumenter, wawancara, cerita, artikel, maupun program lainnya yang bersifat mendidik.

Dalam kasus sexual harassment, media massa tidak hanya terbatas dalam publikasi berita pelecehan seksual, tetapi media massa juga harus berperan dalam edukasi, seperti edukasi menegenai kriminologi, edukasi tentang sexsual harassment itu sendiri, begitupula edukasi mengenai teknik preventif pelecehan.

Berbicara mengenai kriminalitas, banyak pelaku tidak paham aturan hukum atau undang-undang yang telah mengatur larangan melakukan kejahatan tindak pidana terutama mengenai pelecehan seksual. Sehingga banyak pelaku yang tidak merasa salah atas kriminal yang telah diperbuat dan menganggap perbuatannya merupakan sebuah kewajaran atau menganggap apa yang dilakukan bukanlah suatu tindak pidana karena tidak mengertinya batasan-batasan pelecehan seksual yang dilakukan. Hal ini membuktikan bahwa edukasi dan eksploitasi mengenai berbagai modus pelecehan masih sangat minim.

Selain itu, banyak masyarakat yang apatis terhadap tindakan ini bahkan menganggap kejahatan ini sebagai kejahatan kovensional dan kejahatan kerah putih (white collar crime). Padahal ketika ditinjau dari impresi yang ditimbulkan, maka kejahatan ini merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kekurangan edukasi mengenai sexual harassment ini juga ditandai dengan ketidaktahuan masyarakat mengenai batasan-batasan mengenai sebuah perbuatan, sehingga masyarakat sulit membedakan sebuah perbuatan yang termasuk katagori pelecehan seksual atau bukan. Secara visual, pelecehan memang terlihat sepele, bahkan korban seakan-akan tidak mengalami kerugian. Mungkin inilah yang membuat masyarakat bersikap acuh tak acuh pada tindakan tunasusila ini.

Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pelecehan itu belum menjadi hal yang aksiomatik di tengah masyarakat, karena masih banyak yang tidak mengetahui apakah suatu perbuatan itu termasuk katagori pelecehan seksual atau bukan. Dalam hal ini implikasi pers dalam dunia edukasi dibutuhkan intensitasnya sehingga masyarakat betul-betul paham bahwa pelecehan tersebut bukan hal yang sepele, selain itu masyarakat bisa sadar dan mengetahui secara aksiomatik berbagai kejahatan pelecehan seksual.

Ketika hal tersebut bisa direalisasikan, maka media massa bisa dipandang sebagai window on event and experience, yaitu media sebagai jendela yang memungkinkan khalayak memandang apa yang sedang terjadi di lapangan, selain itu media merupakan sarana edukasi untuk mengetahui berbagai peristiwa. Selain itu media massa juga akan menjadi interlocutor, yaitu sebagai partner komunikasi yang memungkinkan terjadi komunikasi interaktif, ini bukan hanya menambah wawasan khalayak, akan tetapi meningkatkan potensi critical thinking masyarakat.

3. Kontrol Sosial

Selain fungsi sebagai media informasi dan edukasi, pers juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Dari sini pers memiliki tujuan menegakkan nilai-nilai Pancasila, penegakan hukum, dan penegakan hak asasi manusia. Dalam hal ini, pers sebagai media kontrol tertera dalam UU Nomor 40 tahun 1999 pasal 6 butir (d) yang berisi: Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Oleh karena itu, pers berperan sebagai koneksi antara pemerintah dan rakyat. Media massa berperan untuk menginspeksi jika ada penyelewengan hukum dan HAM yang terjadi, memberikan koreksi, serta kritik mengenai perbuatan tersebut. Namun media massa yang berintegritas tidak hanya fokus mengkritik satu arah, tidak hanya fokus mengambinghitamkan pemerintah, tapi juga harus melihat kepada rakyat jika melakukan pelanggaran. Selain itu, pers dapat mengawasi dan mengkritik adanya pelanggaran HAM, penyalahgunaan jabatan, kriminalitas serta hal-hal yang mengancam.

Ketika berbicara mengenai sexual harassment, maka fungsi pers sebagai social control tidak kalah pentingnya. Ketidakadilan mengenai pelanggaran pelecehan seksual sudah banyak terjadi terutama di Indonesia. Salah-satu contoh ketidakadilan tersebut yaitu kasus oknum anggota BEM Poltek Batam pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswi yang hanya dihukum skors.

Penyimpangan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual merupakan aberasi besar, korban yang telah menanggung trauma dan fear crime harus dihadapkan dengan ketidakadilan hukum. Penyimpangan-penyimpangan atau kelemahan hukum seperti itu sudah menjadi tugas media massa untuk mengkritik atau mengoreksi. Perannya sebagai kontol sosial harus menjaga kondisi bangsa agar berada dalam keadaan kondusif.

Publikasi yang Beretika

Selain memenuhi fungsi pers, dalam publikasi perlu adanya etika. Pengaruh yang signifikan serta ketergantungan khalayak terhadap media massa yang dikomsumsi orang banyak mengharuskan media massa untuk memiliki aturan dan etika sebagai standarisasi dan komitmen yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Etika menjadi satu hal krusial untuk menjaga media massa tetap berintegritas dan agar para pelaku media berada dalam jalur yang benar dan semestinya. Apalagi dalam berbagai analisa, media sering dialokasikan sebagai salah-satu variable determinan.

Dalam kasus pelecehan seksual, Kode Etik Jurnalistik sudah mengatur tentang pentingnya proteksi privasi korban kejahatan seksual. Salah satu pasal dalam Kode Etik Jurnalistik mengenai hal tersebut adalah Pasal 5 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”

Menjadi korban sexual harassment akan berimbas kepada trauma yang mendalam seperti rasa shock, ketakutan akan teror, mati rasa dan ketidakberdayaan. Dengan menyertakan identitas korban pelecehan atau korban tindak asusila lainnya, maka secara implusif telah ikut menyiarkan data personal yang merusak nama baik korban dan secara manual telah merusak masa depan korban asusila itu sendiri. Selain itu publikasi mengenai kejadian pelecehan seksual harus memiliki izin dari korban, dan korban juga berhak meminta untuk melarang publikasi yang dialaminya (off the record).

Korban pelecehan seksual juga akan mengalami kehilangan privasi, kepercayaan, dan merasa bahwa dirinya tak bernilai dan telah ternoda. Kondisi masyarakat yang juga kurang kondusif bisa berimbas penghinaan hingga pengucilan terhadap korban jika identitasnya disebarluaskan, apalagi bullying sudah sangat marak baik di lingkungan sekitar maupun di sosial media (cyberbullying). Trauma mendalam serta kondisi masyarakat inilah yang harus dipahami oleh media massa sehingga privasi korban pelecehan harus diproteksi dengan baik.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta media agar melindungi privasi korban kejahatan seksual, dan menggunakan perspektif gender dalam memberitakan kasus kejahatan seksual. Etika standar yang dipahami wartawan untuk kasus pelecehan seksual mengandung dua hal krusial. Pertama, lindungi identitas korban, bukan hanya nama tapi juga informasi lain yang bisa membuka identitasnya (nama sekolah, tempat tinggal). Kedua, jangan tulis peristiwa secara sensasional, yang malah mengobjektifikasi korban lagi. Maka penyebutan organ-organ seksual tubuh memang biasanya menjadi tabu.

Dari pemaparan di atas, maka sexual harassment tidak boleh dibiarkan begitu saja. Publikasi oleh media massa itu penting untuk memberikan informasi sehingga khalayak lebih waspada dan tidak menjadi normalisasi yang berdampak kepada kelalaian. Selain itu, media massa juga bertanggung jawab terhadap edukasi mengenai kriminologi dan teknik preventif dan mengatasi jenis kejahatan ini, serta menjelaskan bahwa pelecehan seksual bukan hal yang konvensional. Oleh karena itu media juga harus tetap andil dalam mengawasi kriminal ini, koreksi dan kritikannya sangat dibutuhkan dalam mengatasi berbagai ketidakadilan.

Selain itu, media massa dalam melaksanakan tanggung jawabnya, harus disertai dengan etika dalam publikasi. Karena insan media juga manusia biasa yang perlu aturan, tidak boleh bebas secara absolut. Etika tujuannya tidak lain untuk mempertimbangkan mitigasi risiko dari akibat publikasi tersebut. Pemenuhan fungsi dan etika merupakan sesuatu yang krusial, dengan kata lain media massa memiliki tanggung jawab dalam mempublikasikan kejadian sexual harassment, namun tetap memerhatikan batasan-batasan dan etika.

*Mahasiswa tingkat tiga, Universitas Al-Azhar, Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top