Kursi Kosong (Part 1)

Oleh: Tim Phan

(Sumber ilustrasi: sliceofthoughts.com)

“Apakah kau masih bermimpi tentang kejadian itu?” Ruangan  petak 20x20 itu kembali bersuara setelah beberapa detik hening. Dindingnya yang dicat berwarna putih dipadu dengan lantai pualam yang indah membuat seisi ruangan nyaman dipandang. Perabotan di dalamnya juga seadanya. Hanya dua sofa berukuran satu orang dewasa dengan bahan terbaik yang pernah ada. Ketika duduk, seperti tidak mau bangkit lagi.

“Ya, aku masih bermimpi kejadian yang sama, Dok. Hanya saja kali ini mimpi itu terasa seperti memang kenyataan,” pemuda usia tiga puluhan itu menjawab serak, sejak tadi dia menahan agar air mata tidak mengalir membasahi pipinya. Sisi gentlemannya adalah penyebab utama hal itu.

“Apakah kau sudah minum beberapa obat yang kusarankan, Candra?” Yang dipanggil dokter kembali bertanya, tersenyum tipis.

“Ya, aku minum beberapa. Terkadang lupa, tapi aku terus meminumnya.” Candra menjawab santai.

“Bagus, Candra. Kau harus meminumnya, itu membantumu tenang dan sedikit demi sedikit kau akan kembali seperti dulu.” Dokter itu mencoret beberapa kali di tablet yang dipegangnya sejak tadi. “Aku kira kita bisa mengakhiri sesi hari ini. Saranku padamu, carilah hal yang unik. Ikutilah hal unik tersebut dan sibukkanlah diri. Jangan terlalu dibawa beban.” Dokter tersebut kembali tersenyum sebelum akhirnya bersalaman dengan Candra yang telah berdiri.

“Terima kasih, Dok. Aku menunggu sesi selanjutnya minggu depan.” Candra berbalik setelah bersalaman, beranjak pergi keluar ruangan.

Sudah tiga bulan ini dia melakukan beberapa sesi ‘saling berbicara’ dengan dokter sekaligus psikolog pribadinya. Sudah beberapa bulan ini pula dia dihantui mimpi yang sama. Membuatnya tidur tidak nyenyak. Hari- hari yang kurang produktif. Menunda banyak hal. Satu kali sesi dalam satu minggu, satu kali itulah Candra berkeluh kesah dengan dokter tersebut. Pertama datang dia menumpahkan beberapa butir air mata seukuran biji jagung. Kali keduanya dia mulai rileks dan dapat menceritakan dengan tenang apa yang dialaminya beberapa minggu tersebut. Hingga hari ini, Candra masih bercerita tentang hal yang sama, tentang mimpi yang selalu menghantui tidurnya.

Jalanan kota hari itu ramai sekali. Jalanan setapak dipenuhi pejalan kaki yang sibuk dengan urusan masing-masing. Satu-dua berbicara dengan telepon, berteriak ke siapapun di luar sana. Lainnya ada yang berlari kecil mengejar jadwal apapun yang mendesak. Lainnya berjalan santai menikmati keindahan gedung-gedung yang menjulang tinggi di ibukota. Golongan yang ketiga ini termasuk Candra di dalamnya.

Candra teringat kembali perkataan dokternya tentang mencari hal yang unik sebelum akhirnya dia berpapasan dengan tiga orang perempuan yang berjalan santai berlawanan arah dengannnya. Satu dari tiga perempuan itu terbilang unik di mata Candra. Rambut hitamnya yang terurai sampai ke bahu. Kemejanya yang berwarna coklat cerah dipadu dengan celana berwarna hitam. Uniknya perempuan itu jauh sekali berbeda dengan dua temannya. Mereka berdua berpakaian layaknya selebriti dengan gaun yang menjuntai hingga ke jalanan, berharap menyapu tanah sekaligus tatapan pria yang terpesona.

Insting Candra menyuruhnya mengikuti perempuan tersebut hingga akhirnya mereka sampai di sebuah restoran di tengah kota. Candra duduk di meja sebelah mereka, matanya tidak berhenti menatap perempuan yang dibilangnya ‘unik’ tadi.

Setelah beranjak dari restoran Candra kembali mengikuti mereka bertiga dan berhenti di salah satu apartemen. Dua diantara mereka masuk ke dalam apartemen itu dan menghilang begitu saja. Perempuan unik itu kembali melanjutkan perjalanan hingga tiba di apartemen yang tidak jauh dari dua temannya. Candra berhenti di sana dan melihat perempuan itu menghilang setelah masuk dalam pintu apartemennya.

Dia tersenyum tipis. Hal unik itu memang membuatnya ceria.

Keesokan harinya Candra sudah berdiri di depan apartemen perempuan unik tersebut. Sejak pagi dengan kopi satu gelas dan roti dengan selai kacang, Candra sudah berdiri tegap di depan gedung dengan puluhan lantai tersebut. Menunggu sosok ‘unik’ itu keluar dari pintu. Setelah beberapa menit akhirnya dia keluar dengan dandanan yang menawan. Rambutnya kali ini diikat ke belakang. Jas hitam dipadu kemeja putih membuatnya seperti wanita karir yang sering dibicarakan orang-orang. Candra mengikuti kegiatan perempuan tersebut. Mulai dari duduk di salah satu kafe, perempuan itu duduk hingga akhirnya ada dua laki-laki yang menghampirinya. Berbicara entah apa, Candra yang duduk tidak jauh dari mereka hanya menatap wajah perempuan tersebut. Kemudian hari berlanjut sama seperti kemarin, dia bertemu dengan dua temannya dengan pakaian yang hampir sama dengan kemarin. Kembali ke apartemen dan berakhir.

Keesokan harinya Candra kembali menunggu di depan Gedung. Matanya sayup, pertama karena Candra menghindari tidur agar tidak bermimpi lagi. Kedua karena memikirkan wanita itu. Obat- obat yang diberikan dokter padanya tidak diminumnya, dia tahu obat itu akan membantunya tidur.

Keseharian itu kembali terulang. Dari kafe, berbicara dengan beberapa koleganya. Kembali bertemu dengan dua temannya. Makan di restoran dan kembali ke apartemen.

Seminggu sudah Candra melakukan kegiatan yang sama. Seminggu itu pula dia tidak bosan. Baginya ada kepuasaan tersendiri. Hari itu adalah hari sesinya dengan dokter, Candra bergegas ke gedung tempat sesi dan bertemu dengan dokternya.

“Bagaimana Candra, apakah kau masih bermimpi hal yang sama?” dokter itu tersenyum.

“Ya,” jawabnya singkat. Matanya sayup dan sipit. Lekukan hitam terlihat jelas di bawah bola matanya. Tidurnya tidak pernah nyenyak, mimpi itu masih menjadi alasannya.

“Kenapa kau tidak menceritakan kembali mimpi itu, Candra. Mungkin itu bisa membantumu untuk tidur lebih nyenyak.” Dokter itu kembali tersenyum hangat.

“Baiklah.” Candra memperbaiki posisi duduk. “Dalam mimpi tersebut aku berada di dalam mobil bersama satu anak kecil berumur sekitar sebelas atau dua belas tahun. Dia terbaring lunglai di kursi belakang, ditemani dengan perempuan yang terus saja memberi semangat sambil menangis. Aku menginjak pedal gas sekuat mungkin hingga tiba di rumah sakit. Dokter dengan sigap datang dan memeriksa anak tersebut. Beberapa menit kemudian dokter tersebut datang dan membawa kabar buruk. Aku tidak terlalu ingat apa yang dikatannya, tapi perempuan disampingku sudah bersimpuh di lantai dan mengucurkan air mata. Lorong itu suram sekali, hanya terdengar tangisan dari perempuan tersebut, aku terduduk dengan tatapan kosong. Dan seketika kembali sadar bahwa itu adalah mimpi. Tubuhku berkeringat dan aku baru sadar bahwa aku hanya tertidur sepuluh menit.” Candra mengakhiri kalimatnya.

Itu adalah mimpi yang terus Candra ceritakan berulang kali kepada dokternya. Setiap sesi pasti dimulai dengan menceritakan mimpi tersebut. Menceritakan berulang kali itu tidak membantu Candra sedikitpun. Dia malah takut tidur sekarang.

Sesi berakhir cepat, Candra beralasan kalau dia ada urusan mendadak. Dokter mengiyakan.

Bukan urusan mendadak sebenarnya, tapi Candra mengejar ketertinggalan jadwalnya mengikuti perempuan unik, dia sudah sampai di kafe tempat perempuan itu biasanya berbicara dengan beberapa orang. Semakin suram mukanya setelah melihat tidak ada perempuan itu disana. Candra langsung bergegas berjalan menuju restoran tempat biasanya tiga sekawan itu makan. Tidak tampak juga batang hidung mereka. Dia bergegas ke apartemen perempuan tersebut. Napasnya tersengal beberapa kali ketika sampai di pintu apartemen. Suara klik pintu terdengar, tepat saat itu Candra bertatapan dengan perempuan unik tersebut.

“Candra,” seru perempuan itu.

 (Bersambung...)

Editor: Annas Muttaqin

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top