Kamar 51 (Bagian Satu)
By: Tim Phan
“Sudah
kau amankan perimeter setempat, Josh?”
“Sudah, bu. Semuanya sudah aman. Pers yang datang juga sudah ditempatkan jauh dari TKP.
Beberapa tetangga juga sudah ditanyakan oleh anggota kepolisian. Tinggal
menunggu keterangan lanjut dari forensik.” Josh menjawab sigap.
“Bagus.
Antarkan aku ke penghuni yang kemungkinan melihat atau mendengar apa yang sudah
terjadi.” Mereka berdua berjalan di lorong apartemen menuju lantai utama.
Ruangan
utama tepat setelah pintu masuk telah berkumpul beberapa polisi dan penghuni
aparteman. Beberapa ada yang duduk di sofa dengan santai. Yang lainnya sibuk
bermain telepon pintar. Apa yang baru saja terjadi di apartemen itu sudah
tersebar luas di media sosial. Menjadi topik utama di setiap platform.
“Josh,
bagaimana dengan rekaman CCTV? Apa ada yang mencurigakan?”
“Kami
sudah memutar rekaman 24 jam lalu. Tidak ada yang mencurigakan. Hanya potongan video
korban yang masuk ke dalam kamar beberapa jam setelahnya sebelum akhirnya
terbunuh.” Josh kembali menjelaskan.
“Bukan
terbunuh, josh. Itu belum pasti. Boleh jadi ini hanya kasus bunuh diri.”
“Tapi,
luka tembakan laser itu tidak mungkin hasil bunuh diri.” Josh menyergah.
“Tembakan
laser?” seseorang menimpal dari kerumunan. “Apakah diameter tembakan itu
sepuluh centi?” tambahnya.
“Maaf,
Pak. Anda siapa?” Josh menghentikan pria yang mendekati kawanan polisi.
“Darimana
kau tahu kalau diameternya sepuluh centi?”
“Aku
tidak tahu. Aku bertanya.”
“Maaf,
Pak. Sebaiknya anda kembali ke tempat.” Josh mengangkat tangannya, memaksa pria
itu untuk menjauh.
“Biarkan
orang ini menjelaskan, Josh” perintah bosnya.
“Tapi….”
Josh urung membalas kalimat itu setelah melihat tatapan tajam dari bosnya.
Pria
itu dengan santai menghampiri.
“Namaku
Dren. Senang bertemu dengan anda ibu detektif.” Dren menjulurkan tangan.
“Neila,
panggil saja Neila,” sembari balas bersalaman. “Jadi, Dren, bisa kau jelaskan
apa yang sedang terjadi sekarang? Bagaimana kau bisa tahu tembakan laser
tersebut?”
“Wow,
oke. Aku kira akan ada basa-basi dulu. Ternyata kalian para polisi lebih
memilih langsung ke topik percakapan.” Dren menoleh kiri kanan, para polisi
sudah menatapnya tajam.
“Sebelummenjawab,
aku ingin memberikan pernyataan. Aku bukan pembunuhnya. Memang fakta kalau
kamarku tepat di samping TKP. Tapi itu tidak membuktikan apapun bahwa aku
adalah pelaku. Juga aku tidak pernah bertemu dengan korban, lebih tepatnya
tidak berbicara dengan korban. Aku menemuinya di lobi tengah ini tadi pagi
ketika dia check-in ke kamar.” Dren berseru.
“Hei,
cerewet, kau belum menjawab pertanyaan dari bu Neila.” Josh membentak.
“Kau
benar polisi berotot, apakah kau pake steroid?” Dren malah bercoloteh tak jelas,
Josh sudah siap menimpuk Dren hingga terhenti oleh kalimat Neila.
“Bapak
Dren, tolong jawab pertanyaanku.” Neila memotong perdebatan.
“Aku
tahu karena aku adalah peneliti senjata laser, ibu Neila. Lebih tepatnya, aku
adalah peneliti alien.” Dren berseru bangga.
Ruangan
tiba-tiba senyap, menyisakan suara gaduh yang terdengar samar-samar dari luar gedung.
Palingan itu beberapa wartawan yang berusaha menerobos masuk.
Sejenak,
ruangan itu penuh dengan ledakan tawa. Muasalnya dari Josh yang terbahak
mendengar kalimat Dren, diikuti oleh seluruh polisi lainnya dan seisi penduduk
apartemen. Neila tersenyum tipis.
“Bu Neila,
sepertinya pria satu ini sudah gila. Dia bilang korban kita dibunuh oleh
alien.” Josh kembali tertawa.
Dren
merasa tertekan dengan suasana di sekitarnya. Dia memang biasa mendapat hinaan
seperti ini, tapi tidak di kehidupan nyata. Biasanya hinaan ini datang dari
penonton di youtube ketika ia membahas teori alien.
“Apakah
kau punya bukti lebih lanjut, Dren?” Neila bertanya di tengah riuh tawaan.
“Aku
bisa menunjukkannya di ruanganku.” Dren menjawab cepat.
“Josh,
ikuti aku ke kamar 52. Sisanya terus teliti CCTV dan kalau kalian sudah selesai
bertanya pada penghuni disini. Suruh mereka kembali ke kamar masing-masing. Dan
tidak ada yang boleh melewati kamar 51 sebelum semua ini selesai.” Neila
berjalan diikuti Josh dan Dren.
“Bagaimana
kau tahu kalau aku tinggal di kamar 52?” tanya Dren heran.
“Aku
tahu banyak hal, Dren.”
***
Kamar
Dren tidak bisa disebut sebagai kamar. dinding dipenuhi dengan banyak poster
dan potongan koran. Rak dipenuhi dengan buku-buku usang. Jaring laba-laba di
setiap ujung langit-langit ruangan.
“Apakah
ini dunia lain? Aku seperti baru saja berpindah dari taman bermain ke rumah
hantu.” Josh berseru setelah melihat seisi ruangan.
“Aku
tidak punya banyak waktu untuk membersihkan ini, officer Josh,” cetus Dren.
Sejenak,
Dren sudah terlelap mencari sesuatu di tumpukan kotak. “Ini dia.” Dren
mengangkat barang yang dicarinya.
“Wow.”
Josh langsung mencabut pistol yang ada di pinggangnya setelah melihat barang
yang diambil Dren. “Letakkan itu, orang
aneh. Atau kutarik pelatuk pistolku.”
“Santai,
officer Josh. Ini hanya replika dari senjata alien yang kubicarakan tadi.
Tidak perlu panik seperti itu.” Dren berusaha menjelaskan.
Josh
akhirnya menurunkan pistolnya setelah melihat kode tangan Neila.
Neila
memerhatikan senjata alien tersebut. Bentuknya seperti pistol air. Moncongnya
runcing, warnanya silver. Karena ini adalah replika, senjata itu sama ringannya
dengan mainan plastik yang dijual di toko mainan.
“Terima
kasih, Dren.” Neila mengembalikan senjata tersebut.
“Kau
sudah selesai melihatnya? Kau tidak penasaran sedikit pun?” imbuhnya heran.
“Tidak
untuk sekarang. Mulai hari ini kau akan menjadi rekan kerjaku untuk
menyelesaikan kasus ini. Josh akan membantumu juga.” Neila sudah berjalan
keluar ruangan.
“Bu Neila?
Apa yang kau pikirkan?” Josh berseru kencang mendengar keputusan aneh dan
tiba-tiba itu. Ia berusaha menyamai langkah dengan Neila. Ingin meminta
penjelasan.
“Bu Neila,
kutu buku itu boleh jadi adalah pelaku pembunuhan ini. Bagaimana mungkin kau
dengan tiba-tiba mengajaknya ikut dalam investigasi. Itu tidak ada di dalam
peraturan.”
“Dengar
Josh.” Neila berhenti. “Pertama, ini bukan pembunuhan. Kita bahkan tidak tahu
siapa tersangkanya. Kedua, disini aku yang menjadi bosnya dan aku yang membuat
peraturan disini,” bentaknya.
Josh
termangu diam setelah mendengar kalimat tersebut.
***
“Selamat
malam semuanya.” Ruangan petak itu dipenuhi puluhan polisi. Neila yang berdiri
di depan memulai perbincangan.
“Maaf
mengumpulkan kalian semua disini. Ada hal darurat yang harus dibahas.” Polisi
mengamati Neila dengan seksama. Pertama karena Neila punya pangkat tinggi.
Kedua karena wanita satu ini menjadi bidadari kembang di kantor polisi.
Kulitnya putih, parasnya elok, tubuhnya tinggi semampai, rambutnya hitam
mengkilap. Kalau esoklusa Neila memutuskan menjadi model, setiap majalah fashion
akan berburu agar pakaian mereka dipakai olehnya. Belum terhitung kalau ia
aktif di media sosial, jutan pengikut bisa ia kumpulkan.
“Sore
tadi, pria Bernama Rian E.Sallie ditemukan tewas di aparteman Opera Square
Garden. Tepatnya di kamar 51. Hasil forensik mengatakan bahwa Rian meninggal
karena tembakan tepat di jantungnya.”
“Tembakan
laser.” Dren memotong presentasi Neila, polisi yang hadir menatap heran.
Tiba-tiba saja ada pria dengan pakaian lusuh memotong pembicaraan Neila. Fans
fanatiknya sudah siap marah.
“Perkenalkan
para polisi sekalian. Ini adalah Dren, dia adalah satu-satunya saksi yang
mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar 51.” Neila mempersilakan Dren naik
ke podium, berdiri di depan puluhan polisi.
“Halo
semuanya, namaku Dren. Teman-temanku biasanya memanggilku Dren. Walaupun
sejatinya aku hanya punya satu teman yang selalu setuju denganku di media
sosial, komennya selalu kunantikan. Kebanyakan dari mereka menghinaku. Mungkin
beberapa di antara kalian menghinaku di media sosial. Entah itu instagram,
facebook, youtube. Tapi aku menghargai kalian karena kalianlah yang menumbuhkan
subcriber-ku. Jangan lupa subcribe kanal youtube Alien Is Real.” Dren
malah mengoceh tak jelas.
“Ssst…,”
tegur Josh yang berdiri beberapa langkah dari Dren. Wajahnya merah padam, kalau
situasinya berbeda, Josh sudah menimpuk Dren dengan pentungan.
“Tuan
Dren disini membantu kita dalam menginvestigasi korban.” Neila mengambil alih
bicara.
“Teorinya,
Rian dibunuh oleh alien.” Neila memukul dahinya sendiri, rasanya berat sekali
mengatakan sesuatu yang fiksi untuk ukuran kasus ini.
Suasana
ruangan mulai riuh. Neila sang bidadari baru saja mengatakan kalau alien adalah
pembunuh.
“Iya,
itu benar. Alien tepat menembak senjata lasernya di dada saudara kita yang
malang, Rian.” Dren kembali ikut campur dalam topik bicara.
“Hei,
Kutu Buku, memangnya senjata semacam itu nyata,” seru salah satu polisi.
“Tentu
saja nyata.”
“Apa
buktinya?” polisi lain menimpali.
“Kau
tidak pernah menonton Independence Day, Independence Day Resurgence,
aku tidak menyarankan untuk menonton sekuelnya, film itu sampah. alien 1, alien
2, alien 3, alien vs predator, E.T., District 9, Men in Black 1, 2, 3?
Lihat tidak pistol kecil yang digunakan Agen J? Semua itu bertema alien. Begitu
juga dengan Star Wars, terlebih lagi yang Empires Strikes Back,
terbaik sepanjang masa.”
“Aku
lebih suka New Hope.” Salah satu polisi berseru sebelum akhirnya puluhan
polisi lain menatapnya aneh. “Apa itu Star Wars, film yang tidak
bermutu. Lebih baik menonton The Raid.” Polisi itu meralat kalimatnya.
“Bu Neila,
orang ini sudah gila. Ia baru saja menyebutkan rentatan film yang ditonton
anakku. Orang dewasa tidak ada yang percaya hal semacam ini.” Polisi berbadan
tambun menyergah pembicaraan.
“Oi,
oi, oi, Steven Spielberg adalah orang dewasa, pak polisi. Dia sudah membuat
banyak film bertema alien. Itu bisa membuktikan banyak hal. Bahkan Tom Cruise
aktor terbaik bermain di dua Film Alien terkenal. Edge of tomorrow dan War
of The Worlds.” Dren tidak mau kalah.
Suasana
semakin riuh mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dren. Semprotan nama-nama
film aneh yang Dren sebutkan tidak mengubah suasana sama sekali.
“Baiklah
semuanya, tolong tenang.” Neila berusaha membuat suasana kembali serius. “Tuan Dren
disini bukan akan menjelaskan kepada kita rekomendasi film. Tapi ia akan
menjelaskan apa yang terjadi di kamar 51 sebelum akhirnya Rian tewas.” Neila
menatap Dren.
“Dren,
tidak usah berbicara yang tidak penting, cukup jelaskan teorimu. Itu saja.” Neila
berbisik pada Dren. Ia balas dengan menyeringai lebar.
“Baiklah.”
Dren menarik napas panjang. “Saudara Rian check-in apartemen pagi tepat
hari ini. Sayangnya, Rian ditemukan tewas jam lima sore. Menurut laporan
forensik ia tewas sekitar jam 3 sampai 4 sore. Setelah diteliti di CCTV, tidak
ada orang yang mencurigakan yang lewat melalui kamar 51. Juga tidak ada orang
yang mencurigakan yang masuk ke dalam apartemen. Setelah aku membantu detektif Neila
menyelidiki ruangan Rian, aku menemukan beberapa hal yang mencurigakan.
Pertama, di dalam kopernya Rian, tidak ditemukan sepeser baju pun. Di dalam
dompetnya juga tidak ditemukan satu lembar uang. Juga ruangan itu bersih
seperti baru, hanya sisa darah yang mewarnai lantai dan dinding marmer.” Seisi
ruangan menyimak dengan teliti penjelasan Dren, ia kalau sedang mode serius
memang menarik banyak perhatian.
“Di
jam tiga sore, aku baru saja memasak mi instan untuk sarapan. Aku tidak sengaja
mendengar percakapan kamar sebelah dari dapurku. Bunyinya sangat aneh, aku tahu
beberapa bahasa, tapi baru kali ini aku mendengar kalimat yang aneh ini. Kalau
ditulis jadi seperti ini.” Layar proyektor di belakang Dren menampilkan
tulisan.
Suara
pertama:‘ilabmek surah uak, sibah hadus umutkaw.’
Suara
Kedua: ‘aynaumes nakrocobmem naka uka. Ilabmek naka kadit uka.’
“Setelah
percakapan ini, terdengar suara desingan laser. Dan beberapa jam kemudian ibu
aparteman menelpon polisi setelah menemukan Rian tergeletak di lantai.”
Polisi
yang duduk mengangguk-angguk mendengar penjelasan Dren. Mereka berusaha
menyimpulkan apa yang baru saja terjadi. Suasana kembali riuh.
“Kau
tahu apa yang mereka bicarakan?” polisi yang tadi bertanya senjata alien
kembali berseru.
“Itu
dia pertanyaan yang kutunggu-tunggu, my friend.” Dren menyeringai lebar.
“Tentu saja aku tahu. Aku telah meneliti alien sejak kapan tahu. Aku tahu itu bahasa
mereka, makanya aku bisa menyimpulkan kalau ini adalah perbuatan mereka. Ini
dia jawabannya.”
Layar
kembali berganti.
Suara
pertama: ‘waktumu sudah habis, kau harus kembali.’
Suara
kedua: ‘aku tidak akan kembali. Aku akan membocorkan semuanya.’
“Dari
percakapan ini kita bisa mengambil kesimpulan. Bahwa Rian punya sesuatu yang
mengancam keberadaan alien. Entah rahasia apa itu, tidak ada yang tahu.” Dren
kembali membuat suasan riuh.
“Baiklah, itu adalah teori dari Dren.
Yang mana itu bisa menjadi salah satu opsi kita sekarang. Tugas kalian sekarang
adalah mencari barang bukti yang ada di sekitar aparteman. Apapun itu, setiap
rencana pasti ada lubangnya. Tinggal mau mencarinya atau tidak.” Neila menutup
pembicaraan.
***
Editor: Deffa Cahyana Harits
Posting Komentar