Kursi Kosong (Part 2)
By: Tim Phan
Wajah Candra langsung pucat. Kenapa perempuan ini mengenalinya?
Paniknya dalam hati. Apakah perempuan ini sadar kalau selama ini dia
mengikutinya dan melapor polisi. Lantas menyiapkan jebakan untuk menangkap
Candra. Dia menoleh ke segala penjuru, memastikan tidak ada polisi di dekatnya.
“Kau tidak perlu panik. Tidak ada polisi di sekitar sini. Semua
orang mengenalimu.” Perempuan itu seperti bisa membaca pikiran Candra dan
tersenyum hangat.
Adalah Candra, CEO dari perusahaan makanan terbesar seantero ibu kota.
Hampir semua wartawan surat kabar kenal Candra. Sampul-sampul majalah terkenal
terpampang foto Candra bertuliskan ‘Pebisnis Sukses’, ‘Pebisnis Muda yang Handal’
dan beberapa pujian lainnya hingga tiga bulan lalu Candra menghilang begitu
saja dari dunia bisnis.
“Aku pernah mewawancaraimu, Candra. Namaku Ayudia.” Perempuan itu
menjulurkan tangan. Candra ragu-ragu membalas.
“Apakah kau lapar? Kita bisa makan di atas?” Ayudia menunjuk
apartemennya.
Candra dengan tidak sadar mengangguk, dia baru kali ini berbicara
dengan perempuan tersebut, kiranya. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam
apartemen. Naik lift hingga lantai lima. Masuk ke dalam.
Ruangan itu bersih sekali. Perabotan seadanya.
“Carilah tempat yang nyaman. Anggap seperti rumah sendiri, aku akan
menyiapkan makanan.” Ayudia menaruh tasnya dan bergegas ke dapur. Candra
malu-malu masuk dan hendak duduk di sofa sebelum akhirnya matanya melihat ke
arah salah satu rak dekat sofa.
“Apakah dia putramu?” tanya Candra setelah melihat foto Ayudia
dengan anak laki-laki berusia sepuluh tahun.
“Iya, dia putraku.” Ayudia berseru dari dapur.
“Di mana dia?” balas Candra.
Beberapa detik hening hingga akhirnya Ayudia keluar dari dapur dan
menaruh beberapa panci di atas meja.
“Dia sudah tiada. Meninggal beberapa bulan lalu. Di karenakan
penyakit bawaannya sejak lahir. Sindrom Progeria Hutchinson-Gilford atau
Sindrom Progeria.” Suasana ruangan itu menjadi suram setelah mendengar kalimat
Ayudia. Candra diam beberapa detik.
“Aku turut berduka.” Candra menunduk, salah sekali dia menanyakan
pertanyaan tersebut.
“Tidak apa-apa. Ayo, silakan dimakan.” Ayudia sudah duduk di meja
makan diikuti Candra yang beranjak dari rak.
Dentingan sendok dipadu dengan kunyahan makanan menyelimuti meja
makan. Ada tiga kursi di meja itu, satunya kecil daripada lainnya, itu pasti
untuk putra Ayudia.
“Apakah kau sudah punya anak, Candra?” tanya Ayudia setelah mereka
membicarakan bisnis makanan Candra yang merosot beberapa bulan ini.
Candra terdiam mendengar kalimat tersebut. Kepalanya sakit, dia
mengurutnya dengan tangan kanan.
“Tidak masalah kalau kau tidak mau membicarakannya. Lagipula itu
masalah pribadimu, aku tidak berhak bertanya.” Ayudia kembali tersenyum.
Piringnya sudah kosong, dia berdiri dan menuju dapur. Candra juga ikut. Tidak
ada percakapan lagi setelah itu. Candra meminta izin dan berterima kasih atas
makanannya. Ayudia mengantarnya hingga pintu depan apartemen. Mengucapkan
selamat tinggal.
“Hei, Candra. Kau bisa datang kesini lagi besok. Ya, makanan enak
selalu tersedia untukmu. Kapanpun kau mau,” seru Ayudia setelah beberapa
Langkah Candra pergi.
“Baik.” Candra tersenyum, itu adalah senyuman pertamanya setelah
sekian lama.
Ayudia menatap Candra yang menghilang di dalam kerumunan. Satu
butir air mata membasahi pipinya.
***
Candra kembali mengunjungi Ayudia setelah sesinya bersama dokter.
Dia tidak perlu lagi membuntuti perempuan tersebut. Candra akhirnya makan dan
menyomot berbagai macam topik. Candra masih sama, lekukan hitam di matanya
tidak menghilang.
“Apakah kau mau jalan-jalan di taman?” ajak Ayudia setelah mencuci
piring.
“Iya.” Candra menjawab singkat.
Mereka berdua mengunjungi salah satu taman terdekat. Berjalan bersampingan. Berpapasan banyak
orang.
“Dulunya putraku sering sekali mengajakku kesini.” Ayudia memulai
percakapan setelah beberapa langkah berjalan, Candra menyimak. “Dia tidak
berhentinya berlari kesana kemari. Tidak berhentinya berkata bahwa rumput
di sini terlihat sangat indah. Tidak berhentinya berkata kalau suatu hari nanti
akan mengajak teman-temannya bermain di taman ini.” Suara Ayudia mulai serak.
Taman dipenuhi manusia yang tidak terhitung. Tapi kala itu hanya
suara Ayudia yang terdengar di telinga Candra.
“Maaf telah menceritakan hal yang menyedihkan tersebut.” Ayudia
menyeka pipinya.
Sejam berlalu mereka berdua mengelilingi taman. Bertemu banyak
orang yang mengenali Candra. Bercakap-cakap hingga akhirnya cahaya matahari
sore menerpa mereka, memutuskan untuk segera kembali.
Minggu depannya hal yang sama kembali terjadi. Candra pulang dari
sesinya dengan dokter dan makan siang bersama dengan Ayudia.
“Apakah kau tidak memutuskan kembali ke perusahanmu, Candra?
Bukankah mereka menunggumu di sana.” Ayudia kembali mencomot sembarang topik.
“Tidak, aku belum memutuskan kembali kesana. Keadaanku sedang tidak
baik.” Candra membalas sambil menikmati masakan Ayudia, hari itu lauknya adalah
ayam goreng.
“Kau tidak boleh terpuruk dalam kesedihan terlalu lama, Can. Ada
orang yang membutuhkanmu di sana.” Ayudia meletakkan sendoknya.
“Aku tidak sedang bersedih, Ayu. Hanya tidak sedang enak badan.”
Candra menyangkal.
“Kau boleh berbohong kepada siapapun, Can. Tapi tidak padaku.
Lihatlah matamu yang semakin lama semakin sayup. Lekukan hitam itu tidak hilang
sedikitpun. Obat yang diberikan doktermu tidak pernah kau minum. Kau menyangkal
banyak hal dalam hidup ini. Tidak pergi menyapa temanmu yang menunggumu di
perusahaan. Aku Lelah berbicara dengan mereka setiap harinya di kafe itu. Kau
ada di sana. Aku lelah juga bersama dua sekretarismu makan di restoran
mahal. Apakah kau tidak sadar
sedikitpun? Aku Lelah bermain permainan yang tidak habisnya ini bersamamu,
Candra.” Suara Ayudia meninggi, matanya menatap tajam, sedikit basah.
Candra terdiam mendengar kalimat Ayudia. Pasalnya selama ini Candra
tidak pernah berbicara tentang sesinya bersama dokternya. Tidak pernah
membicarakan tentang dia yang jarang sekali meminum obat anjuran dokternya.
Tidak pernah sekalipun.
Dia menatap heran Ayudia, sekilas, kepalanya sakit seperti ada
beban berat yang menimpanya.
Wajah Ayudia langsung berubah khawatir setelah melihat Candra
mengurut kepalanya.
“Kau tidak apa-apa, Candra?” dia memegang kepala Candra.
“Ya, aku tidak apa-apa.” Candra berdiri, dia langsung beranjak
menuju pintu. Pandangannya samar-samar. Rasa sakit di kepalanya terus menusuk
tanpa henti.
“Candra, kau yakin baik-baik saja?” Ayudia memastikan setelah
Candra menuju pintu keluar.
“Ya.” Napas Candra tersengal. Dia menatap Ayudia dan seisi rumah. Kepalanya
semakin sakit.
“Aku harus pergi sekarang juga.” Candra langsung keluar dari
apartemen tersebut. Berlari menuju lift dan pintu keluar.
Semakin lama Candra semakin pusing. Badannya sempoyonngan berjalan.
Candra kembali melewati taman yang minggu lalu dia kunjungi bersama dengan
Ayudia. Air matanya tiba-tiba mengucur membasahi pipinya.
Apa yang terjadi? Bentak Candra pada dirinya. Dia kembali berlarian
di jalanan sembari sempoyongan. Orang mengira dia sedang mabuk.
“Candra, kau baik-baik saja?” Ayudia dengan sigap memegang Candra.
Dia mengejar Candra setelah melihat Candra yang sempoyongan dari jendela
apartemen.
Ayudia menghentikan salah satu taksi. Membantu Candra masuk.
Berkata pada supir untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit. Napas Candra tarik
ulur cepat sekali. Mulutnya komat-kamit entah mengucapkan kalimat apa. Air
matanya sesekali keluar membasahi pipinya.
Sesampainya di rumah sakit Candra terdiam. Ada sesuatu yang kencang
menembus ingatannya. Ketika itu pula air mata yang tidak tertahankan itu mengucur
deras tak terhentikan. Di pintu rumah sakit, Candra tersimpuh dan menangis.
Ayudia di sampingnya memegang bahu Candra, berusaha menenangkan.
“Ayudia, apakah Candra baik-baik saja?” dokter pribadi Candra
menghampiri mereka.
“Aku tidak tahu, Dok. Dia sudah begini sejak bersamaku tadi dari
rumah.” Ayudia menjawab panik.
Dokter membantu Candra bangun dan membopong Candra masuk. Mereka
tiba di lobi rumah sakit. Candra menunduk terdiam.
“Maafkan aku, Ayu. Maafkan aku.” Suara Candra ringkih.
“Tidak apa-apa, Candra. Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Ayudia
menggosok-gosok bahu Candra.
“Maafkan aku.” Candra kembali mengulang kalimat tersebut.
“Jangan bersedih lagi, Candra. Yang tiada, biarlah berlalu.” Ayudia
mengucurkan air mata.
“Di lobi ini, aku tidak bisa membantumu, Ayu. Di lobi ini aku
kehilangan segalanya. Kursi kosong di sebelahmu tidak pernah kuisi untuk
menggosok bahumu. Menenangkanmu.” Candra berkata lirih, lobi rumah sakit itu
suram sekali.
“Aku bersyukur kau mengingat itu, Can. Aku bersyukur kau selalu
mengingat putra kita.”
“Aku ingat. Putra kita suka bermain di taman dekat apartemen. Aku
ingat putra kita ingin mengajak teman-temannya bermain di taman. Aku ingat
putra kita meninggal karena penyakit bawaannya sejak lahir. Sindrom Progeria
Hutchinson-Gilford atau Sindrom Progeria. Aku ingat dia meninggal di umurnya
yang kedua belas. Aku ingat bahwa aku selalu menganggap itu hanyalah sebuah
mimpi. Berusaha melupakan banyak hal, aku ingat pertama kali melihatmu di
jalanan itu. Itu adalah pertama kali kita berjumpa lima belas tahun yang lalu.
Aku ingat kursi kosong di meja makan itu adalah kursi putra kita. Aku juga
masih ingat senyumannya terakhir kali di dalam mobil. Hanya saja, aku terus
menyangkalnya.” Itu adalah tangisan pertama Candra setelah sekian lama dia
kehilangan putranya.
Di lobi rumah sakit itu Candra kembali teringat betapa paniknya dia
menginjak pedal gas. Syok mendengar kabar kematian putranya, Candra terduduk
diam. Pergi meninggalkan Ayudia yang bersimpuh sedih di lobi rumah sakit. Tidak
mengisi kursi kosong di sebelah Ayudia, menenangkannya.
Dia lupa bahwa dari semua kehilangan itu ada keindahan yang
menunggunya esok lusa.
Editor: Annas Muttaqin
Posting Komentar