Rumah Coklat (Bagian Dua)

By: Tim Phan


sumber image: myLot

Kalimat yang kudengar malam itu memang merubahku seutuhnya. Kuputuskan untuk kembali lagi ke toko coklat itu setelah menyelesaikan pekerjaan dari rumah. Pria penawar itu kembali menawarkan coklatnya padaku. 

“Hei, Mas Ganteng. Coba dicicip dulu.” Kalimatnya persis seperti malam sebelumnya. Dia tidak mengenaliku. 

“Terima kasih. Ini namanya apa?” tanyaku sebelum mengunyah potongan kecil itu. 

“Ini almond milk chocolate. Ini salah satu favoritku.” Rick menjelaskan. 

Aku melambaikan tangan dan berjalan masuk ke toko. 

“Pesan apa, Pak?” Nabila bertanya lembut.

“Yang ditawarkan di depan.” Aku menunjuk ke arah Rick.

Nabila kembali berseru pada Rick. Setelah mendengar jawaban dia langsung sigap mengambil potongan coklat dan mengemasnya dengan baik. 

“Terima kasih,” ucapku sebelum melangkah keluar. 

Esoknya aku kembali lagi. 

“Terima kasih. Ini namanya apa?” tanyaku setelah menerima potongan coklat.

“Chunky Dark Chocolate. Ini salah satu favoritku.” Rick menjawab sama. 

 Aku melambaikan tangan dan berjalan masuk ke toko. 

“Pesan apa, Pak?” Nabila bertanya lembut.

“Yang ditawarkan di depan.” Aku menunjuk ke arah Rick.

Nabila kembali berseru pada Rick. Setelah mendengar jawaban dia langsung sigap mengambil potongan coklat dan mengemasnya dengan baik. 

“Terima kasih,” ucapku sebelum melangkah keluar. 

Aku terus saja melakukan hal yang sama selama dua minggu. Setiap malam, tidak ada libur. Gara-gara pengetahuan nama-nama coklat tercantol jelas di ingatan. Mulai dari white chocoalate, black chocolate, extra dark, nut, mint, raspberry dan nama-nama rumit lainnya. 

Hingga suatu malam Rick mengenaliku. 

“Hei, kawan, kau setiap malam kesini membeli coklat. Apakah kau sedang kekurangan gula atau bagaimana?” Rick akhirnya mengenali wajahku setelah puluhan kali bertemu. 

“Bisa dikatakan aku kekurangan hal yang manis.” Aku tersenyum. Rick menatap heran, tidak paham apa maksud kalimatku. 

Nabila masih sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Rambutnya diikat ke belakang. Wajahnya masih elok. Suaranya masih lembut. Aku berharap dia juga mengenaliku seperti Rick. 

“Ini pesanannya.” Nabila menyerahkan sebungkus coklat dari balik etalase. 

“Terima kasih.” Aku melangkah pergi. 

“Pak, tunggu.” Kalimat itu menghentikan langkahku, berbalik badan. Nabila sudah keluar dari etalase.

“Bapak, sering berbelanja disini, kan?” tanyanya sembari menunduk.

“Iya.” Aku menjawab pendek.

“Ini kartu member kami, pak. Dengan kartu ini bapak bisa mendapat diskon hingga 50%.” 

“Oke. Terima kasih.” Aku tidak tahu harus menjawab apa. 

“Boleh tahu nama bapak siapa?” Nabila mengeluarkan telepon pintar dari saku celananya.

“Ee… Raymond. R-A-Y-M-O-N-D.” 

“Terima kasih, Bapak Raymond. Datanya sudah masuk di buku kami. Kalau berbelanjan bapak bisa menggunakan kartu tersebut.” Nabila tersenyum ramah. Senyuman itu berbeda dengan senyuman biasanya.

Itulah pertemuan pertamaku dengan Nabila setelah kepergian liani. 

“Hei, Raymond, apa kabar?” seru Rick yang melihatku melewati tokonya. 

“Hei, Rick. Siapa yang jaga di dalam?” tanyaku basa-basi.

“Kau pasti sudah tahu siapa, my friend. Aku harap kau memang benar-benar suka coklat daripada datang kesini hanya ingin bertemu dengan Nabila. Walau begitu, kau adalah pemasok uang kami.” Rick tertawa. 

Rick tahu persis kenapa aku pergi ke toko coklat itu. Toh, sekarang aku dan Rick menjadi teman setiap malam bertemu. Tidak jarang kami berbicara panjang sebelum akhirnya aku pulang dengan sebungkus coklat. Dia juga mengirimiku jadwal Nabila bekerja di toko. 

“Ini pesanannya, Bapak Raymond.” Nabila menyerahkan sebungkus coklat. 

“Teriman kasih. Panggil saja Ray.” aku balas senyum. 

Itulah hari-hariku selama satu bulan penuh. Pagi sampai sore bekerja. Malamnya singgah di toko cokelat. ‘Berbicara’ sebentar dengan Nabila dan berakhir dengan ia tersenyum. 

Ada sesuatu yang spesial diantara kami berdua. Aku tidak tidak tahu apakah Nabila merasakan hal yang sama. Senyumannya yang waktu itu terus terulang di pikiranku. Setiap malam aku ke tempat itu hanya untuk mendapat satu senyuman dari wajah campuran eropa arab itu. Setiap malam walaupun kami tidak membicarakan hal lain selain aku menyebutkan pesanan yang ditawarkan Rick di pintu depan dan juga ucapan terima kasih sebelum akhirnya berangkat kembali. 

Aku kira, hubungan itu bisa merubah menjadi kesempatan. Hingga hari itu tiba. 

Hari itu, perusahaan tempatku bekerja mengharuskan untuk hadir di tempat. Dua bulan sudah aku bekerja dari rumah. Menerima email dari asistenku di pagi hari, dan kembali mengirimkan email setiap sorenya.

Kantor itu tidak jauh dari apartemen tempatku tinggal. 

Setelah seharian penuh menghadiri meeting dengan klien, aku meminta izin pulang. Hari itu aku memutuskan melewati Opera Square, jalan menuju Downtown. Kawasan itu selalu ramai, rerumputan hijau itu menjadi daya tarik pengunjung. Pasangan-pasangan duduk santai menikmati angin sore. Berbincang sambil bersenda gurau. 

BUKK…

Aku tidak sengaja menabrak seseorang di depanku karena lalai melihat sekitar.

“Maaf,” ujarku sembari menatap ke depan. Itu adalah seorang wanita.

“Iya, tidak apa-apa.” wajah wanita itu terlihat jelas di depanku. Dia tersenyum. Guratan wajahnya tidak asing lagi. Senyuman itu adalah cita-citaku setiap harinya. Senyuman sebagai pengganti sebungkus coklat. 

“Ibu, tunggu aku.” Dari belakang gadis kecil menghampiri. 

“Ayo, Jihan. Ayahmu menunggu disana.” Nabila berseru kepada gadis kecil yang menghampirinya. 

Tanpa mempedulikanku yang masih mematung, Nabila berjalan.

“Nabila,” bisikku pelan. Sejenak, ia menoleh ke arahku. Dahinya mengernyit, menatap heran. 

Hancur sudah hatiku. 

***

Malam itu aku memutuskan untuk tidak kembali lagi ke toko coklat tersebut. Memutuskan mengubur dalam-dalam perasaan itu. Semakin kulupakan, semakin teringat senyuman itu. Enam bulan yang lalu, Liani meninggal di atas dekapanku. Di saat yang bersamaan Theo, sahabatku harus dirawat di rumah sakit karena menemaniku masuk dalam reruntuhan gedung. Kakinya diperban, tertimpa balok besar. 

Sungguh tidak berarti hidupku ini. Apanya yang berdamai, aku sudah berdamai, tapi tidak ada hasilnya. Apanya yang menerima? Sudah kuterima segala takdir, tapi tidak ada titik temunya. 

Hari itu aku melihat kenyataan. Ternyata senyuman itu hanya senyuman biasa kepada pelanggan. Wanita yang kusukai ternyata punya senyuman lebih spesial kepada pasangan hidupnya. Hilang sudah harapanku. Aku menggurat langit-langit kamar, wajah Nabila selalu muncul seperti halnya enam bulan lalu. Aku berusaha tidur, napasku tersengal menahan rasa sakit. Malam terasa begitu panjang. Ingin sekali pagi menyambut. 

Sebulan penuh aku tidak pergi lagi ke toko coklat. Menghindari melewati jalanan di depan toko tersebut. Aku kembali harus hadir di kantor. Hingga sore hari menyapa, aku pulang melewati Opera Square. 

BUKK…

Seperti déjà vu, aku kembali menabrak seseorang. 

“Raymond.” Suara itu tidak asing. Aku mendongakkan kepala. 

“Rick,” ucapku pelan. 

“Lama sekali sudah kita tidak pernah bertemu. Aku kira kau sudah pindah entah kemana.” Rick memelukku. “Mau minum kopi? Ayolah.” Rick menarik lenganku sebelum aku bisa menolak.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rick basa basi setelah sampai di kafe terdekat. 

“Baik. Kau bagaimana?” 

“Tentu saja aku masih baik. Yang tidak baik itu tokoku. Sudah sebulan ini penjualan menurun.” Rick menghela napas. 

Sejenak, meja itu lengang. 

“Kenapa kau tidak berkunjung lagi?” Rick langsung ke pokok permasalahan. 

Aku menatapnya lamat-lamat. “Tidak ada. Aku hanya tidak sedang ingin makan coklat.” aku berusah tersenyum, getir. 

“Oh, ayolah, Raymond. Kita berdua tahu kalau kau kesana bukan untuk membeli coklat.” 

Suasana kembali lengang. 

“Nabila sakit setelah seminggu kau tidak datang, Raymond. Pekerja yang lain tidak ada yang menyadarinya. Mereka menganggap Nabila hanya lelah bekerja. Sampai-sampai Nadila harus bolak-balik antar provinsi untuk merawatnya.” Rick menjelaskan keadaan. Keadaan yang membuatku bingung. Nabila sakit? Apa hubungannya denganku? Bukankah dia bersama suaminya selama ini? Hei, apa yang sedang dibicarakan Rick sekarang ini?

“Maksudmu bagaimana, Rick?” tanyaku setelah heran mendengar penjelasan Rick.

“Iya, kalian berdua itu terlalu malu mengungkapkan perasaan hingga menyakiti satu sama lain. Lihatlah, sekarang yang sakit itu bukan hanya Nabila, tapi kakaknya juga susah.” 

“Hei, Rick.” Sekonyong-konyong ada suara dari belakangku. “Apakah kau sudah lama menunggu?” 

Aku mendongakkan kepala, melihat ke arah seseorang yang baru datang. Wajah itu kembali membawa hantu kenangan. 

“Raymond, perkenalkan ini adalah Nadila, saudara kembarnya Nabila. Dia adalah pemilik Choco House.” Rick berdiri memperkenalkan wanita yang berdiri. Wanita tersebut senyum. Senyuman itu mirip sekali dengan senyuman setiap malam aku dapatkan. 

“Hai, aku Nadila. Sepertinya kita pernah berjumpa sebelumnya.” Nadila menjulurkan tangan. 

“Hai, aku Raymond.” Aku balas menyalami. “Rick, aku harus pergi sekarang.” Bergegas aku keluar pintu kafe. 

“Ada apa dengan temanmu, Rick?” tanya Nadila heran setalah melihatku berlari keluar.

“Ada coklat yang harus dibelinya.” 

Lima belas menit aku berlari. Satu dua orang heran melihatku berlari di awal malam itu. Bulan purnama sudah menampakkan dirinya. Aku sekarang tahu apa arti berdamai. Tahu apa artinya sebuah kesempatan. Tahu apa artinya berdamai tapi tidak melupakan. Malam-malam yang panjang itu tidak pernah berkhianat padaku. Guratan senyuman tiap malam itu memanglah spesial. 

Lima belas menit aku sampai di tujuan. 

Napasku masih tersengal. Masuk ke dalam toko.

“Halo, mau pesan apa, Pa….” wajah Nabila langsung kaku melihatku yang berdiri di depannya. 

“Hai, Ray, hari ini kau mau coklat apa?” ia tersenyum, air matanya mengalir di pipinya. 

“Yang ditawarkan di depan.” Aku menunjuk ke arah pintu depan. Balas tersenyum.


Editor: Mrlnskmwt





Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top