100 Kerlingan Pertama

Oleh: Tim Phan

Unsplash.com by Raunaq patel


“Maafkan aku, Brian, aku tidak tahu kalau kau salah satu dari mata-mata intelijen,” seru perempuan di penghujung jembatan tepi pantai. “Apakah aku bisa menemuimu lagi? Mungkin setelah kau pulang dari Roma?”

“Itu bukan ide yang baik, Linda.”

“Namaku Lisa,” sanggahnya.

“Aku mengatakan yang salah untuk melindungimu.” Brian mendekatkan jam tangan ke mulutnya. “Halo, ini kode 487, biru, siap meluncur.”

“Apakah ini adalah akhir?” Linda kembali bertanya.

“Sayangnya, ini akhir buatmu, Linda.” Brian langsung berlari di jembatan tepi pantai, meloncat ke salah satu jet ski yang sedang melaju.

“Hei, apa-apaan ini?” Pengemudi jet ski itu berseru marah.

“Sudahlah, bawa aku ke tepi satunya. Akan kuberi kau seratus ribu.” Brian menepuk-nepuk bahu pengemudi.

“Oke, baiklah.” Jet ski itu berlaju kencang membelah ombak.

Sehari sebelumnya, Eddy—teman baik Brian, mengajaknya untuk pergi ke salah satu resort terkenal di kota Bali. Brian awalnya menolak, tapi sahabatnya yang keras kepala itu tetap bersikukuh. Di satu momen yang pas, Eddy mempertemukan Brian dengan salah seorang perempuan Bernama Lisa, yang mana Brian terus menyebut nama Linda ketika berbicara dengan wanita tersebut. Singkat cerita, Brian yang bosan mengakhiri hubungan mereka.

“Serius, Bro? Kau berpura-pura jadi agen rahasia kali ini? Kemarin kau baru saja menjadi businessman ternama. Terus sebelumnya lagi kau berakting menjadi anggota mafia. Sudah berapa perempuan yang kau tipu selama hidupmu?” Eddy berseru kesal melihat Brian yang kembali ke akuarium dengan ‘tangan kosong’.

“Oh, ayolah, Ed, kita berdua tahu kalau itu tidak berhasil.” Brian menjawab santai, matanya masih fokus ke luka yang ada di bahu Eddy.

“Hei, pelan-pelan, Kawan. Kau bisa merusak bisep indahku ini.” Eddy mengaduh.

“Aku bukan dokter, Eddy. Jangan banyak bertingkah. Lagi pula, ini masih pagi, kenapa kau sembarangan loncat di pantai dan tidak sadar ada pecahan kaca di sana.”

“Oi, oi, aku ingin menunjukkan kepada anak-anakku bahwa pantai itu juga ramah di pagi hari. Parenting adalah pride bagi seorang ayah, Brian. Kau tidak tahu apa-apa tentang itu.” Eddy kembali berseru kencang sambil menatap dua putranya yang sedang duduk di sofa.

Brian tidak menjawab lagi.

“Apakah tidak bosan terus liburan di Bali, Brian? Bosmu selalu saja memberimu tiket liburan setelah projek besar ke Bali. Rekan-rekanmu yang lain bahkan ada yang berangkat ke luar negeri.” Jahitan di lengan Eddy sudah sempurna.

“Aku yang memintanya, Eddy. Lagi pula apa yang spesial dari jalan-jalan ke luar negeri? Bukankah di sana sama saja. Ada rumah, gedung, taman dan suasana yang sama.”

“Heh, kau tidak bersyukur sama sekali. Kau tidak lihat aku ini yang selalu bekerja di akuarium sepanjang hari. Hanya membersihkan kolam dan kotoran anjing laut. Membosankan.” Eddy menghela napas.

“Tidak ada pekerjaan yang menyebalkan, Eddy. Hanya kau saja yang tidak pernah tahu apa yang kau kerjakan.” Brian beranjak keluar ruangan.

Pantai Bali menampakkan aura keindahannya. Matahari yang baru muncul menerpa hangat kulit. Pohon-pohon berseru ria, akhirnya proses hidup mereka tidak terbatas mengeluarkan racun di malam hari. Brian beranjak ke dermaga, menuju kapal pesiarnya. Dia menyalakan mesin, menekan pedal gas dan berlaju menerjang ombak.

Brian bekerja menjadi arsitek di salah satu perusahaan besar di ibukota. Memiliki kedudukan dan pangkat tinggi serta skil di atas rata-rata, ia akhirnya bisa membeli kapal pesiar ukuran biasa saja. Hanya ada dua kamar. Setiap akhir bulan dia diberi jatah liburan oleh bos kantor untuk berlibur. Setiap akhir bulan itu pula dia memilih Bali sebagai destinasi. Alasan pertama adalah karena cita-citanya menjadi pelaut. Kedua adalah Eddy, teman masa kecilnya.

Sekonyong-konyong suara desingan mesin kapal memudar. Brian yang sedari tadi menikmati pemandangan mulai menoleh kiri kanan.

“Sialan kau, Eddy. Sudah kubilang untuk mengisi bahan bakar setelah kau pakai.” Brian berteriak, suaranya menyebar ke penjuru langit.

Terpaksa dia mengambil sekoci karet yang ada di dalam dek. Menyusuri lautan yang masih tenang. Menuju ke tepian terdekat. Jam segitu tidak ada pekerja bahan bakar kapal yang sudah bangun, terpaksa meninggalkan kapalnya di tengah lautan.

Brian memutuskan mengisi perutnya dengan sarapan di salah satu restoran keluarga setelah menancapkan sekoci karet di salah satu pohon kelapa.

‘HULAHUP CAFE’.

Nama restoran yang unik untuk daerah yang tidak banyak pengunjung.

“Mau pesan apa, anak muda?” Ibu-ibu tambun datang menghampiri.

“Kalian punya pancake selai stroberi?”

“Tentu saja kami punya. Nick, satu porsi pancake selai stroberi,” serunya.

Brian menoleh kiri-kanan, entah di belahan pulau Bali mana ia berada, yang pasti tempat itu lumayan ramai. Kebanyakan penduduk setempat. Sekonyong-konyong matanya menatap salah seorang yang ada di ujung restoran. wanita berambut hitam lebat yang duduk santai menyantap sarapan.

“Kau sedang menatapku atau bagaimana? Karena kau membuatku ketakutan sekarang.” Salah seorang pria paruh baya memecah lamunan Brian.

“Oh, come on.” Brian bangkit dari tempat duduknya. Menuju meja tepat di depan perempuan tersebut. Menatapnya dengan tajam. Kalau situasinya berbeda, maka Brian akan digebuk warga setempat karena bertindak seperti orang cabul.

Setelah melihat situasi dia memutuskan menghampiri wanita tersebut.

“Ini kecap. Omelet, saus dan kecap adalah keluarga yang sempurna.” Brian menuangkan kecap ke omelet wanita tersebut.

“Wow, itu ide yang brilian. Kenapa tidak terpikir sama sekali.” Perempuan itu tersenyum.

“Kau terlalu fokus pada projekmu, Nona. Sehingga kau tidak tahu apa yang bisa dimanfaatkan di luar sana.” Brian berusaha sekeren mungkin.

“Aku Elina.”

“Brian.” Balas menyalam.

“Sepertinya kita punya selera yang sama terhadap omelet, Brian,” ujar Elina.

“Ya, terkadang orang dengan selera sama akan dikumpulkan bersama. Seperti halnya sekarang,” timpal Brian.

Elina tertawa tipis.

“Apakah kau salah seorang turis atau penduduk dekat sini? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.”

“Aku lebih mengategorikan diriku sebagai turis tetap. Setiap akhir bulan aku berkunjung ke pulau.” Mata Brian tidak berhenti menatap Elina.

“Wow, itu adalah kategori yang unik. Jadi apa pekerjaanmu?”

“Arsitek, tapi cita-citaku ingin jadi pelaut.”

“Pelaut, heh? Kebetulan sekali, ayahku adalah mantan pelaut. Mungkin dia bisa memberikan satu dua tips menjadi pelaut yang hebat,” usul Elina.

“Itu adalah ide yang paling bagus sepanjang aku berlibur disini. Yang mana itu baru satu hari.”

Mereka berdua tertawa.

Lima belas menit pecakapan itu selesai. Elina beranjak bangun, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ayahnya.

“Bagaimana kalau besok pagi kita bertemu lagi disini. Kau tahu? Mungkin mengobrol satu dua kata. Aku adalah guru menggambar di salah satu sekolah di sini. Aku juga ingin beberapa tips menggambar yang baik dari Tuan Arsitektur,” kata Elina sebelum akhirnya keluar dari restoran.

“Itu adalah ide terbaik sepanjang liburanku. Mengalahkan ide yang sebelumnya.” Brian menimpali sebelum akhirnya Elina berjalan keluar dari restoran.

“YES.” Brian berteriak kencang.

“Kau benar-benar membuatku takut, anak muda.” Pria paruh baya menimpali.

Unsplash.com by Francesco Maria


***

Pagi selanjutnya bagai lima abad menunggu. Brian ditemani hujan rintik-rintik yang menyelimuti kota bergegas dengan mobil sedannya ke Hulahup Café. Jaraknya tidak terlalu jauh dari penginapan, sepuluh menit perjalanan.

Suasana di dalam restoran sudah ramai, hujan adalah faktor besar makanan hangat laku. Tepat di sudut restoran, duduklah seorang wanita rambut hitam terurai. Sedang asyik menikmati omelet pagi.

“Ini kecap. Omelet, saus dan kecap adalah keluarga yang sempurna.” Brian langsung menghampiri Elina yang tengah asyik menikmati sarapan.

Elina menatap tajam. “Apakah lelaki zaman sekarang tidak punya etika lagi? Seenaknya saja menuangkan kecap di atas makanan orang lain.” Lanjutnya membentak kasar.

“Elina, ini aku, brian. Bukankah kita kemarin bertemu dan berjanji akan bertemu lagi hari ini?” balas brian heran.

“Brian? Seumur hidupku tidak ada orang yang bernama Brian yang kukenal.” Elina bangun dari tempat duduknya, pergi begitu saja meninggalkan Brian yang masih mematung. Tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Hei, kau anak muda. Sini ikuti aku.” Ibu pemilik kafe menarik Brian ke dapur. Brian terseret.

Pikiran Brian masih kacau setelah apa yang baru saja terjadi. Aneh.

“Anak muda, dengarkan aku.” Ibu pemilik restoran memukul bahu Brian. “Mulai sekarang kau tidak usah lagi mendekati Elina, mengerti?” ujarnya sembari menatap tajam.

“Oi, oi, oi, tunggu dulu. Apakah kau ibunya Elina? Kalau kau memang ibunya, kurasa Elina itu bukan anakmu.” Brian malah membalas sembarang.

“Dengarkan aku, Idiot. Elina itu adalah orang yang spesial disini. Jadi kau tidak bisa mendekatinya begitu saja.”

“Spesial dalam artian apa? Kau tidak menjelaskan apa-apa, Ibu pemarah,” protes Brian.

“Dengarkan aku, anak muda. Elina tidak mengingat kau siapa. Ia tidak tahu Brian. Ia bahkan tidak tahu sekarang ini hari apa.”

Brian mengernyitkan dahinya, tidak paham apa yang baru saja dijelaskan.

“Ia mengalami Short Term Memory atau memori jangka pendek. Dalam artian dia tidak bisa lagi menyimpan memori baru. Semua memori yang ada di dalam kepalanya adalah hari sebelum 15 Oktober tahun lalu.” Ibu pemilik kafe menjelaskan lebih detail.

“Jadi, semua ingatannya tentangku kemarin, hilang begitu saja?”

“Iya.”

“Apa yang terjadi di 15 Oktober?” tanya Brian penasaran.

“Hari itu adalah hari ulang tahun ayahnya. Setiap tahunnya, Elina dan ayahnya akan berankgat ke salah satu kebun kenalan ayahnya. Memetik durian Bali. Naasnya hari itu mobil yang dikendari Elina bocor ban dan hoyong, menabrak salah satu pohon yang ada di samping jalan. Ayah Elina tentu luka parah, tapi Elina lebih parah. Kepalanya dibalut perban tebal. Otaknya terkena dampak kecelakaan itu. Sayangnya, dokter mendiagnosa bahwa ia tidak mengingat apapan tentang kecelakaan itu. Kini setiap hari, bagi Elina adalah hari ulang tahun ayahnya. Dan itu sudah kami lakukan selama setahun sebelum kemarin kau bertemu dengan Elina.”

“Tapi dia membaca koran kemarin.” Brian tidak mau kalah.

“Itu koran spesifik 15 oktober tahun kemarin. Kami mencetaknya banyak.”

Ibu pemilik kafe menggigit bibirnya. Sudah ia prediksi bahwa hari ini akan tiba. Hari dimana ada orang asing yang akan mengacaukan segalanya.

Sejenak, teras depan Hulahup Kafe senyap.

“Apakah kita tidak bisa menolongnya?”

“Tidak ada yang bisa. Sekarang tugasmu adalah pergi dari sini dan jangan pernah menjumpai Elina lagi. Ia sudah aman bersama kami di sini.” Ibu pemilik kafe kembali masuk ke dalam. Sibuk dengan urusan pengunjung.

Brian menatap Elina yang sedang menyantap omelet paginya. Menghela napas pelan, kenapa urusan cintanya kali ini sangat rumit. Ketika ia telah menemukan seseorang, kejadian ini menjadi rumit dan semakin rumit. Ia balik badan, bersiap kembali ke penginapan.

***

 Editor: Annaya Nur Bismi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top