Gara-gara Istri Hafidzah (Bagian Satu)


Sumber ilustrasi: Pinterest

Oleh: Salsabila Chairunnisa Dienta*

Tahun 2019

Hari itu sebelum sempat kupesan tiket pulangku dari Surabaya - Aceh. Muhafizah dari yayasan karantina tahfiz tempatku belajar mengabariku via whats app, meminta kesediaanku mengabdi selama dua minggu saja di yayasan sebelum pulang ke Aceh, MasyaAllah pucuk dicinta ulam pun tiba, Allah maha tau betapa aku rindu suasana sejuk Cibulan, akhirnya tiket pulang ke Aceh urung kupesan.

Yayasan telah menyediakan fasilitas bak hotel gratis sepaket dengan konsumsi harian selama dua minggu untuk para muhafizah. Aku ditempatkan di sebuah kamar yang cukup diisi empat orang, aku dan tiga ustazah lainnya yang sudah berkeluarga sekamar. Jelas, aku yang termuda sejenak menjadi pengganti anak anak mereka yang mereka tinggalkan di rumah.

Salah satu kebiasaan para muhafizah adalah puasa senin dan kamis. Jika tiba waktu puasa malam harinya petugas hotel akan berkeliling memastikan jumlah orang yang akan puasa esok, untuk diantarkan nasi lengkap dengan lauknya ke setiap kamar saat sahur. 

Sebut saja ustazah Aisyah, seorang umi shalihah yang menjadi teman tidurku selama dua pekan ini. Pernah kulihat suatu malam beliau bertanya pada petugas hotel, bolehkah seandainya ia meminta diantarkan paket sahur itu setiap hari. Wah... aku langsung membatin “Shalihah sekali ustazah ini, amalan puasa apa kiranya yang sedang beliau kerjakan ya?.” Tapi kubiarkan saja pertanyaan itu ada di benakku, bukankah setiap orang berhak menjadikan amalan-amalannya rahasia antara ia dan Allah saja?

Setelah berkenalan, kami sekamar bertukar nomor telepon dan membuat grup whats app kamar guna memudahkan komunikasi bersama, misalnya ketika di antara kami kelupaan membawa kunci. 

Hidup sekamar bersama ustazah – ustazah yang tidak single lagi ini, sering kali aku merasa terasing. Entah karena topik pembicaraan yang tak sama, atau karena seisi kamar video call dengan suami dan anak anaknya, kecuali aku. Agenda itu terjadi sebelum tidur, jam dimana aku tak bisa lagi menghubungi orang tuaku di Aceh karena sudah larut malam. Akhirnya waktu-waktu seperti itu kuisi dengan mengedit dan menulis artikel singkat dan mempostingnya di media sosial, termasuk whats app.

Pernah suatu hari, ustazah Aisyah bertanya bagaimana caranya menulis di status whats app seperti yang kubagikan. Wah aku jadi bingung bagaimana cara menjelaskannya. Pasalnya tulisanku itu hasil editanku di aplikasi lain sebelum akhirnya kusebarkan di whats app, belum lagi soal background tulisannya yang juga kucomot dari aplikasi yang berbeda dari aplikasi editan tulisan itu sendiri. 

Akhirnya aku hanya menjelaskan cara biasa menggunakan salah satu fitur status di  whats app tanpa menjelaskan panjang lebar riwayat editan tulisan yang biasanya kusebarkan. Ustazah shalihah ini lagi lagi membuat batinku bertanya, namun kali ini, kurasa pertanyaan ini tak masalah bila kutanyakan pada beliau.

“Ibu mau nulis apa bu? Mungkin bisa saya bantu tuliskan.” tanyaku sembari memberi tawaran. Kupikir lebih mudah kueditkan saja tulisan yang ingin beliau sebarkan daripada harus menjelaskan panjang lebar cara mengeditku, belum lagi perkara aplikasi-aplikasi yang harus didownload.

“Kalau kamu pasti menulis isi hati kamu kan di media sosial? Nah, ibu juga pengen nulis isi hati ibu, namun bedanya tulisan ini ingin sekali khusus ibu tujukan ke anak-anak ibu saja.” jawab beliau.

(Kalau tulisan yang hanya ingin ditujukan untuk anak-anak, kenapa beliau tidak bicara langsung atau berbicara jalur pribadi via whats app saja ke anak- anaknya? Bukankah itu lebih efisien?) batinku. Tapi, ahsudahlah, tau apa aku perkara anak-anak?.

Aku terdiam cukup lama setelah mendengar jawaban beliau, sepertinya aku paham yang beliau maksud. Beliau ingin tulisan itu disampaikan melalui media dan diabadikan, tidak disampaikan secara langsung seperti di status w.a yang tahan hanya 24 jam, tapi berkesan ketika dibaca dan indah dipandang mata. Seperti tulisan-tulisan yang banyak beredar di Instagram. 

“Nak, kalau ibu mau cerita ke kamu boleh gak? Mengganggu waktu istirahat kamu gak?” sebuah pertanyaan tak terduga memecah lamunanku. Aduh, sepertinya aku salah dengar.

“Cerita sama saya bu?” aku bertanya memastikan.

“Iya, ada yang ingin ibu tanyakan sekaligus bicarakan sama kamu, boleh gak?.” jawab beliau serius, tak ada salahnya sih, minimal kalau aku tak bisa memberi solusi, aku bisa membantu mendengarkan, sejauh bisa mengurangi beban orang lain, kenapa tidak?.

“Iya bu boleh dengan senang hati insyaAllah, kalau istirahat siang besok gimana bu? Kita bicara waktu orang-orang istirahat qailulah saja.”

“Iya nak boleh. Makasih banyak ya nak.”

“Iya ibu sama sama.”

***

Esok siangnya, aku memilih menetap di aula besar tempat halaqah-halaqah harian diadakan ketika satu per satu peserta karantina kembali ke kamarnya masing-masing. Setelah aula terasa agak kosong, ustazah Aisyah tampak menghampiri tempatku menunggu, beliau mungkin baru saja membereskan halaqah Qur’annya.

"Disa ga masalah kalau waktu tidurnya saya ambil?.” beliau bertanya memastikan.

“Tidak bu insyaAllah.” kubalas sambil tersenyum.

“Disa, kamu kan masih muda, anak muda kan punya gejolaknya masing-masing, gimana cara kamu kendalikan gejolak muda kamu supaya tetap termuraja’ah Qur’annya dan ga terganggu hafalannya?”

Aku terdiam sejenak, gejolak?. Tiga tahun sudah berlalu sejak aku mengkhatamkan Qur’anku di salah satu program yayasan ini, tiga tahun yang kuhabiskan murni di pesantren yang tidak punya embel-embel tahfiz kecuali seorang muhafiz dan seorang muhafizah yang sering ‘kucuri’ waktunya di sela-sela kegiatan beliau untuk sekedar menyimak hafalanku yang kucicil pelan-pelan. 

Berkembang dan bertahan dengan jumlah hafalan yang tak sedikit di pesantren ini rasanya seperti berdiri di ujung tanduk yang hanya kekuatan dari Allah sajalah agar aku tak jatuh ke jurang kehancuran. Gejolak apa kiranya yang ustzah Aisyah maksud? Aku tak paham. Aku lebih sering menangisi diri sendiri yang sering kalah dan tenggelam dengan kegiatan harian pesantren, membuat juz-juz Qur’anku terbengkalai tak punya bentuknya lagi. 

Belum lagi jadwalku dan jadwal muhafiz muhafizahku yang sering bentrok membuat kesempatan setoran hanya ada sekali sebulan atau bahkan tidak ada sama sekali. Lagi-lagi aku hanya sering menangisi proses pemutqinan Qur’anku yang begitu lambat bak siput.

“Gejolak gimana bu maksudnya?” aku akhirnya bertanya.

“Anak-anak ibu kalau liburan enggak muraja’ah Disa, mereka lebih sering jalan-jalan ke rumah teman-temannya, nongkrong, pokonya jarang di rumah. Ibu sedih..” air mata beliau mulai menetes. 

“Itu yang ibu maksud gejolak nak, gejolak pengen main-main, gejolak pengen punya kebebasan, gejolak pengen melampiaskan keinginan keinginan ‘keremajaan’ lainnya. Kamu ga ngerasa?”.

Ya Allah, mungkin ini yang disebut nikmat di balik ujian. Allah menceburkan ku di lingkungan seperti pesantrenku agar aku ‘sibuk’ beradaptasi, sibuk bertahan. Lebih baik bukan daripada disibukkan ‘gejolak’ yang dijelaskan ustazah Aisyah tadi? Benar, hikmah adanya diujung bukan di tengah, apalagi di awal. Kuncinya sabar dan terus berproses.

“Enggak ibu, atau bisa jadi saya belum rasa gejolak seperti yang ibu maksud.” jawabku.

“Ibu punya pengalaman ga enak nak tentang menjaga hafalan Qur’an ini, makanya ibu khawatir sama anak-anak ibu.” Air mata beliau alih-alih berkurang, kini semakin deras. 

“Ibu anak bungsu, kami semua disekolahkan di pondok tahfiz oleh orang tua kami, setiap kakak-kakak ibu khatam, orang tua akan segera menikahkannya tepat setelah khatam. Namun, orang tua ibu meninggal sebelum sempat menyaksikan ibu khatam. Ibu akhirnya dijodohkan oleh kiai ibu dengan seseorang lelaki pilihan kiai. 

Awalnya kehidupan pernikahan masih berjalan baik-baik saja, kami bahkan dikaruniai dua orang anak. Hari itu ibu dan suami ibu sampai di satu titik dimana suami ibu bangkrut, bangkrut sebangkrut bangkrutnya, sungguh diluar dugaan. Kamu pernah lihat laki-laki putus asa? Suami ibu hanya bisa membaringkan badannya sepanjang hari di atas sofa, seakan merasa begitu terpuruk dengan apa yang sedang terjadi, merasa ‘gagal’ menjalani tanggung jawabnya sebagai suami.

Bahkan kalaupun anak-anak menangis di hadapannya karena tak punya uang jajan, tak sejengkal pun ia bergeming dari posisinya Disa.” Aku terpaku, beku menatap ustazah Aisyah yang air matanya semakin lama semakin deras, diselip isakan isakan berat. Aku yakin sekali kejadian ini sudah lama terjadi, namun lihatlah betapa dalam bekasnya.

“Ibu gak tega tinggal diam melihat keadaan, ibu akhirnya mencoba mencari utang dan usaha kesana kemari, sebisa mungkin menutup kebutuhan harian, setidaknya makanan pokok sehari hari sajalah. Pernah suatu hari, sepulang anak ibu dari sekolah, ia menggenggam sepeser uang dalam tangannya, tak tau uang itu dari siapa, ketika ibu tanyakan darimana uang itu, dia mengaku memungutnya di jalan, ya Allah segitunya anak ibu saking ga punya uang jajan lagi. 

Awalnya perkara ini ga mau ibu sampaikan ke kakak-kakak ibu, malu. Namun, keadaan mendesak, beras di rumah habis bahkan sebutir pun tak bersisa. Ibu putuskan datang ke rumah salah satu kakak ibu meminta beras. Yah mau gimana lagi, kakak ibu juga heran, seperti apa keadaan ekonomi rumah sampai beras pun tak lagi punya. 

Akhirnya kakak ibu menyuruh ibu menceritakan keadaan rumah, supaya bisa membantu memberi solusi atau minimal membantu memikul beban, toh kami masih saudara sedarah. Akhirnya ibu disarankan sowan ke rumah Kiai”

Iya, umi Aisyah percaya bahwa ziarah ke ulama-ulama ahlul bashirah (atau biasa kita sebut ‘ulama yang punya mata batin’ baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal) dapat membuat Allah ‘memandang’ kita, yang dengan pandangan ini dapat memperbaiki keadaan kita baik lahir maupun batin, karena kita sedang menyambung silaturrahmi dengan orang yang selalu ada dalam pandangan dan pengawasan Allah, cinta kepada orang-orang yang derajatnya seperti ini dapat membuat Allah ikut memandang dan mencintai kita.

Bersambung....:)

Editor: Marlina Sukmawati

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top