Gara-gara Istri Hafidzah (Bagian Dua)

Sumber ilustrasi: Pixabay

Oleh: Salsabila Chairunnisa Dienta

***

“Akhirnya ibu ikut rombongan teman-teman ibu sowan ke salah satu kiai ahlul bashirah. Niat ibu hanya sowan saja, tanpa niat ingin menceritakan keadaan ibu atau bahkan ingin meminta solusi. Saat teman-teman yang lain berbicara dengan kiai ibupun diam saja. Namun, di sela pembicaraan, kiai tiba-tiba menoleh ke ibu lalu bertanya ‘ora nduwe duwe’ yo ndok?’ (Ga punya uang nak ya?). Ya Allah dalam hati ibu mbatin ‘ya Allah kiai tau.’ Tapi ibu masih diam seribu bahasa.

Teman-teman lanjut berbicara dengan kiai. Tapi tak lama kemudian kiai menoleh lagi ke ibu sambil bilang apa coba? ‘Nak, gimana kamu bisa punya uang (rezeki) kalau Qur’an kamu saja kamu taruh di belakang?’. Ya Allah, kiai betul nak.. dari awal menikah hingga kini punya dua anak, muraja’ah ibu entah seperti apa bentuknya, tiga puluh juz genap jumlah hafalan ibu hari itu tak lagi ada di kepala.” Ya ampun, tubuhku bagai disetrum petir mendengar setiap episode cerita ustazah ini, mungkin habis ini aku punya bahan lagi untuk menangisi diri sendiri.

“Kemudian kabar ini ibu sampaikan ke kakak ibu yang kemarin memberi saran. Kakak ibu menawarkan ibu untuk ikut MTQ kabupaten di bawah bimbingan Kiai Ahsin Sakho Muhammad (beliau profesor Qur’an Jawa Barat). Aduh nak, gimana ibu bisa ikut MTQ sedangkan hafalan ibu udah ga ada lagi. Tapi kakak ibu terus membujuk ibu, beliau bilang kiai yang akan bantu memperbaiki, tapi ibu masih menolak. 

Terakhir ibu terima juga, tau gak nak kenapa akhirnya ibu mau terima tawaran MTQ itu? Karena kata kakak ibu nanti peserta bakal dapat uang saku selama masa latihan sampai masa lomba. Ibu pikir bisa untuk jadi uang jajan anak-anak ibu uang training itu. Ibu tau Disa bisa jadi niat ibu saat itu salah, tapi sebegitu kalutnya lah keadaan ibu hari itu nak.” Lagi-lagi ustazah Aisyah benar, di MTQ para peserta memang menerima uang saku, difasilitasi habis- habisan, rawan sekali para peserta terpeleset niatnya.

“Tapi, ketika ibu bertemu Kiai Ahsin, rasanya memang seperti bertemu harapan baru, beliau memberi ibu nasihat. Bahwa ketika MTQ niatkan ingin menjaga dan mendakwahkan Qur’an sekaligus niat bisa berangkat haji ke Baitullah. Ibu memperbaiki niat ibu dan bersungguh- sungguh ketika dibimbing beliau. Dengan izin Allah dan bimbingan kiai, ibu akhirnya berkesempatan pergi ke MTQ nasional, dan lagi, ibu 'dipanggil' pergi haji ke Baitullah.” Ternyata dugaanku benar.

Kisah ini sudah lama, namun rasa kisah ini masih begitu hangat dan banyak pelajaran, bahkan untukku yang baru saja mendengar kisah ini hari ini. (Ya Allah betapa beruntungnya hamba ya Allah, ini kisah mahal, kalau diuangkan entah harus membayar berapa untuk sekedar dapat mendengarnya) syukurku dalam hati. 

Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya memperjuangkan kembali tiga puluh juz yang genap hilang ditelan perjalanan menjadi istri bertahun-tahun. Tak bisa juga kubayangkan bagaimana terpuruknya ditampar keadaan ekonomi semenyakitkan itu disebabkan tak benar-benar setia menjaga Qur’an. 

Hey, padahal yang hafizah istrinya, tapi kenapa yang bangkrut harus suaminya ya? Mungkin karena rezeki suami adalah rezeki istri dan anak-anaknya? Atau karena setelah menikah suami menanggung dosa istri tapi tidak sebaliknya? 

Entahlah, hanya Allah yang benar-benar tahu. Tapi biarlah kisah ini menjadi perenungan bagi saya yang padahal masih bau kencur tapi betah sekali bermalas-malasan memuraja’ah Qur’an, tak punya sabar meniti jalannya penghafal Qur’an, maunya jalan pintas dan instan dan tak mau berlama lama. Padahal tak ada hal besar yang bisa diraih dengan angan-angan.

Aku masih terdiam di hadapan ustazah Aisyah, terpaku. Beliau menyeka air matanya dan mulai menenangkan diri. Tapi, ampuni Disa ya Allah, sungguh tak punya solusi untuk permasalahan ini, hanya bisa bantu menguatkan dan mendoakan.

Ohiya, ingat tidak cerita ustazah Aisyah tentang amalan puasanya? karena penasaran, di satu kesempatan aku memberanikan diri bertanya pada beliau kenapa beliau berpuasa setiap hari, tau apa jawabannya? Beliau ‘tirakat’.

Ustazah Aisyah tirakat puasa dalam kurun waktu tertentu yang diniatkan khusus mendoakan anak-anaknya. Tirakat ini biasa diamalkan oleh para ibu agar doa-doa ibu ini untuk anak-anaknya lebih mustajab. Semoga aku ketularan beliau ya Allah.

“Begitulah yang selama ini ibu pikirkan jalan keluarnya Disa sambil ibu terus berdoa.” Ustazah Aisyah kembali bertutur.

“Semoga masa-masa anak ibu punya gejolak seperti sekarang segera berlalu ya ibu, maafin Disa, Disa ga bisa banyak membantu dan memberi saran, Disa bantu doakan juga bu ya insyaAllah.”

Pertemuan siang itu akhirnya berakhir. Benar-benar sosok ibu yang hebat dan kuat. Aku berterima kasih sebanyak-banyaknya untuk beliau. Kali ini aku punya alasan kuat untuk melupakan soal orang-orang yang jail sekali menggodaku tentang menikah hanya karena aku sudah khatam. Padahal umurku benar-benar masih bau kencur. Ada banyak pemahaman yang masih harus dipungut di umur yang masih belia ini. Masih banyak ‘PR’ yang harus kuselesaikan. Belajar tak hanya menatap sisi-sisi indah kehidupan lalu tenggelam dalam euforia yang fatamorgana.

Bagi teman-teman sesama penghafal Qur’an, cerita ini kisah nyata benar adanya, bukan karangan apalagi dongeng belaka. Seriuslah menyikapi anugerah Qur’an yang Allah beri untuk kita. Selagi masih Allah beri nafas dan kesempatan, apalagi masih dalam nikmat kesendirian. Percayalah, itu nikmat yang sangat besar jaga nikmat itu. Murajaah itu sepanjang hidup.

Bagi teman-teman yang tidak berkecimpung dalam dunia menghafal Qur’an namun bercita- cita punya pasangan hidup hafiz atau hafizah, niatnya diperiksa lagi ya. Menikah dengan hafiz atau hafizah tidak otomatis menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup lantas menggantinya dengan kebahagiaan. Tidak, penulis tidak sedang menyalahkan cita-cita pembaca sekalian, hanya ingin mengingatkan untuk memperbaiki niat saja kok, tidak lebih tidak kurang. 

Setelah memperbaiki niat tentu boleh dong cita-citanya diimplementasikan lagi. Kan niatnya baik, pengen uminya anak-anak hafizah atau pengen ayahnya anak-anak hafiz. Lagipula sebagian orang benar, beberapa jenis penghafal Qur’an memang idaman, serius. Boleh tuh doanya dikencangkan lagi. :) 

*Penulis merupakan mahasiswa Al Azhar fakultas syariah islamiyyah

Editor: Marlina Sukmawati

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top