Oleh: Zaid Ibadurrahman*
Identitas Buku
Judul: Yang Tidak Akan Kemarau
Pengarang: Haris Akbar Zahari
Penerbit: Sekolah Menulis KMA Mesir
Kota terbit: Kairo
Tahun Terbit: Maret 2021
Tebal Buku: 366 halaman
Jenis buku: Fiksi
Yang Tidak Akan Kemarau adalah novel kedua Haris
Akbar Zahari setelah karya fiksi pertamanya, Bernafas di Surga. Keduanya
dirampungkan dan diterbitkan di bawah bimbingan Sekolah Menulis KMA Mesir. Masih
pada genre yang sama dengan novel pertamanya, Haris kembali menuangkan tema
akademik dan motivasi dalam atmosfir sepak terjang tokoh-tokoh barunya.
Pastinya, kisah-kisah seru berbalut hikmah akan menemani pembaca di setiap
lembarnya.
Alkisah Zamzuddin, seorang anak adam dari kampung
pedalaman punya cita-cita tinggi menuntut ilmu. Selaras dengan impiannya,
Zamzuddin adalah anak yang pintar bahkan jenius. Di dayahnya ia dikenal tekun,
cemerlang, namun rendah hati. Dengan lingkungan yang agamis dan keluarga yang
mendukung, banyak peraihan dan medali yang didapatnya. Setelah menyelesaikan 6
tahun pendidikan di pondok pasantren, Zamzuddin berencana terbang ke Mesir
untuk meneguk lautan ilmu di Universitas Al-Azhar. Sungguh jalan hidup yang
indah untuk penuntut ilmu agama.
Dari kisah hidupnya yang terlihat mulus-mulus saja,
ternyata ada lubang besar yang menganga di hati Zamzuddin. Lubang yang ia
sembunyikan bertahun-tahun dari orang lain, kekosongan yang seringkali ia
ratapi sendiri tiap malam. Lubang itu bukanlah kenyataan bahwa ia anak kampung
di kota orang, atau latar belakang keluarganya yang kekurangan, bukan juga
riwayat hidup ibu bapaknya yang terbilang kelam. Lubang tersebut adalah
kesedihan Zamzuddin terhadap dirinya yang belum kunjung mengkhatamkan hafalan
Al-Quran.
Ilmu-ilmu lain boleh saja mudah dilahapnya, namun
menghafal Al-Quran, Zamzuddin seakan tidak ditakdirkan menghabiskannya. Ia
merasa Tuhan murka besar kepadanya, lalu tidak meridhai kalam-Nya masuk ke hati
Zamzuddin. Bertahun-tahun ia mencoba, namun sampai tamat Aliyah ia hanya punya
hafalan 2 juz, juz pertama dan terakhir. Benar-benar hasil yang tidak relevan
dengan masa yang dihabiskan.
Dalam novel ini, pembaca akan terbawa emosi yang
campur aduk mengiringi keresahan Zamzuddin dengan hafalannya dan berbagai
solusi yang ditempuhnya saat di Mesir. Tak ketinggalan juga kilas balik
kisahnya semasa di kampung bersama keluarga, yang banyak memberikan semangat
baru saat ia hendak menyerah. Ayahnya yang rendah hati, ibunya yang selalu
setia mengirim doa, Kakaknya yang mencintai Zamzuddin lebih dari cinta mana pun
di dunia ini, dan adiknya yang sangat gigih berusaha, selalu berhasil menjadi
pijakan Zamzuddin selanjutnya saat buntu dalam menghafal. Novel ini benar-benar
memberi motivasi dan angin segar bagi orang-orang yang merasa telat menghafal
Al-Quran dan minder untuk memulai.
“Hari itu aku mulai ragu, apakah semua ilmu yang
kupunya ini adalah nikmat? Apa semua medali dan piala yang tergantung di
dinding rumahku adalah hadiah dari Tuhan? Apa Allah mengabulkan doaku dengan
sebenar-benarnya? Jika tidak, mengapa aku sangat berhasil dan berjaya? DAN JIKA
IYA, MENGAPA ALLAH JAUHKAN AL-QURAN DARI HATIKU? Di titik itulah Aku menangis
sejadi-jadinya, tidak ada lagi kebahagiaan dan kebanggaan. Hilang sama sekali.
Al-Quran adalah temanku, bukankah dulu sudah kukatakan bahwa hanya Al-Quran
yang menjadi temanku sekarang, esok, dan selamanya? Namun mengapa kami
berpisah? Al-Quran tidak meninggalkan umat Nabi Muhammad, dan itu bermakna
bahwa akulah yang meninggalkan Al-Quran.”
Kelebihan
Kisah ini disajikan dengan gaya bahasa yang indah
dan unik. Jika penggemar novel-novel penulis Indonesia membaca novel ini, pasti
menyimpulkan bahwa gaya bahasanya adalah perpaduan antara gaya Andrea Hirata
dan Tere Liye. Paragraf disampaikan dengan majas-majas yang dalam sehingga berbekas
di relung hati pembaca. Humor-humor datar namun menggelitik sering ditemui di
setiap babnya. Bacaan ringan tetapi penuh hikmah.
Kekurangan
Penulis terlalu banyak menjabarkan hal-hal tak
tampak seperti isi kepala tokoh, sampai lupa menjelaskan suasana latar tempat
dan waktu. Sayang sekali kisah ini tidak menggambarkan latar tempat di Mesir,
padahal banyak sekali nuansa Negeri Seribu Menara yang bisa ditonjolkan.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat
Editor : Ali Akbar Alfata

Tidak ada komentar: