Aceh dan Emansipasi Wanita

 

 Oleh: Maulizal Akmal

(Sumber ilustrasi: https://blog.modalku.co.id)


‘’Habis gelap terbitlah terang’’ RA Kartini.

Kemarin, tanggal 21 April adalah hari peringatan salah satu pahlawan nasional Negara Indonesia, RA Kartini. Peringatan ini secara langsung diresmikan oleh Presiden pertama Indonesia pak Ir. Soekarno melalui keputusan presiden no. 108 tahun 1964 dan ditandatangani pada tanggal 2 Mei 1964. RA Kartini ditetapkan sebagai salah seorang pahlawan Republik Indonesia karena jasanya sebagai tokoh pejuang emansipasi wanita di Indosesia.

142 tahun yang lalu, ketika Indonesia masih belum mengenal kesetaraan gender, wanita tidak memiliki suara apapun dalam tatanan masyarakat sosial, apalagi dalam pemerintahan. Mereka tidak boleh belajar dan bekerja, apalagi menjadi pemimpin. Hanya wanita bangsawan yang diperbolehkan belajar. Pendidikan untuk gadis bangsawan pun sangat terbatas, mereka hanya diperbolehkan belajar hingga berumur 12 tahun, sesudah itu mereka harus menjalani pingitan (salah satu tradisi masyarakat Jawa dalam proses pernikahan, di mana kaum perempuan dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon suaminya), kemudian mereka akan menjalani pernikahan dengan calon suami yang dipilih keluarganya.

Karena kesenjangan sosial ini, tak adanya kebebasan bagi wanita, maka Ibu RA Kartini yang berasal dari keluarga bangsawan mulai merintis perjuangannya untuk emansipasi wanita, menuntut kebebasan dan kesetaraan hak bagi wanita dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga wanita tidak lagi direndahkan kedudukannya. Beliau pun mulai membuka pembelajaran kecil-kecilan untuk para wanita di rumahnya. Dari sinilah mulai lahirnya pendirian sekolah-sekolah wanita, seperti yang dilakukan Raden Dewi Sartika, mendirikan sekolah istri di Jawa Barat pada tahun 1904. Dan dari sini pula organisasi wanita mulai bermunculan, sehingga terciptanya kongres wanita Indonesia pada 22-25 Desember 1928.

Namun, dewasa ini gaungan-gaungan seolah kesetaraan gender belum berjalan di Indonesia kembali keras digaungkan, tapi benarkah wanita-wanita di seluruh Indonesia belum merasakan kesetaraan gender puluhan atau ratusan tahun silam, atau kesenjangan sosial ini hanya berlaku di beberapa tempat saja? agaknya perlu diperjelas terlebih dahulu daerah mana yang membutuhkan emensipasi perempuan. Jika dikatakan bahwa Aceh merupakan daerah yang memerlukan kepada penyetaraan ini, tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan sejarah wanita-wanita Aceh. Karena itu, emansipasi terhadap wanita tidak bisa diberlakukan secara umum di seluruh Indonesia. Bahkan wanita-wanita Aceh bisa berbangga dengan sejarahnya di mana saat itu para perempuan memilki kedudukan yang sangat terhormat dalam tatanan sosial.  

Lebih dari 142 tahun yang lalu, sejarah telah mencatat bahwa Aceh telah mengenal kesetaraan gender, bukan hanya dalam bentuk teori tapi juga dalam prakteknya di kehidupan. Sejarah Aceh yang telah diabadikan terasa tak akan lengkap tanpa disertai kisah-kisah heroik para kaum hawa Aceh.

(Ilustrasi lukisan Malahayati)

Anthony Reid dalam bukunya, "Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia" mengatakan, tahun 1641 ketika Sultan Iskandar Tsani wafat, kekuasan diambil alih oleh istrinya Tajul Alam Safiyatuddin anak dari Meukuta Alam Iskandar Muda. Inilah periode awal di mana kaum perempuan Aceh menduduki derajat paling tinggi dalam negeri, yaitu sebagai Ratu Kesultanan Aceh Darussalam. Para sejarawan lain juga menambahkan,  di masa kepemimpinan Sultanah Safiyatuddin Aceh sangat tertib dan makmur, sekalipun gaya pemerintahan Aceh berubah menjadi sedikit lunak ketimbang masa pemerintahan Sultan sebelumnya, tapi Sultanah juga merupakan orang yang tegas dan disegani oleh bawahannya. Ia tak segan-segan memberi hukuman berat bagi pelaku krimimal, seperti hukuman mati bagi orang yang mencuri barang milik kerajaaan. Ia juga berhasil menciptakan keadaan yang menguntungkan bagi pedagang luar negeri dan di tangannya banyak terjadi perubahan-perubahan dalam struktur kerajaan. Di antaranya, beliau memberi perintah untuk membuka pendidikan tak hanya bagi lelaki saja. Bahkan, Ali Hasyimi dalam bukunya, “Lima Puluh Sembilan Tahun Aceh Merdeka” menjelaskan bahwa ratu mewajibkan bagi kaum wanita untuk belajar, bukan hanya tentang menjadi istri dan ibu yang baik, tapi juga mempelajari ilmu agama, hukum, filsafat, sejarah, sastra dan bahasa Arab, Spanyol dan Persia.

Setelah Sultanah Safiyatuddin wafat kekuasaan diwarisi kepada anaknya, Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin (1675-1674). Sama seperti pendahulunya Sultanah Zakiyatuddin juga terkenal tegas, sekalipun pada masa pemerintahannya ada beberapa oknum yang membuat kekacauuan dalam pemerintahan. Kemudian, saat beliau telah minggat, kekuasan diberikan kepada putrinya, Sultanah Zakiatuddin. Ia berjaya memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bahkan ia mengikat janji persahabatan dengan negara-negara tetangga untuk melumpuhkan VOC yang saat itu memonopoli perdagangan di Asia Tenggara.

Ketika eranya berakhir, kekuasan diberikan kepada anaknya, Kamalat Syah. Nah, di masa ini banyak masyarakat, terutama kaum bangsawan menentang kepemimpinannya, dan meminta agar kepemimpinan dikembalikan kepada sultan laki-laki. Sehingga, Pada tahun 1699 sang ratu pun mundur dari jabatan. Para ratu yang menjabat ini, memang telah dikader semenjak mereka kecil. Namun, poin yang ingin saya sampaikan bukanlah tentang riwayat hidup empat orang ratu ini - teman-teman bisa membacanya sendiri di buku-buku sejarah – tapi di sini kita bisa melihat bagaimana praktek kesetaraan gender telah dilakukan orang-orang Aceh dengan Islamnya, mereka melibatkan peran wanita dalam mengambil keputusan dan tatanan sosial, bahkan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memimpin.

Apakah ada dalam sejarah dunia, kekhalifahan yang pernah dipimpim oleh ratu, lebih-lebih oleh 4 orang ratu sekaligus secara berturut-turut? Kerajaan Inggris saja baru dipimpin oleh ratu pada tahun 1707, dan itu sudah sangat terlambat jika dibandingkan dengan Aceh. Aceh sudah lebih dahulu mengenal kesetaraan gender, Bahkan sebelum orang Eropa mengorasikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Tak hanya Sultanah, Aceh juga memiliki ulama wanita, panglima perang dan laksamana wanita yang tak pernah sekalipun kita dapatkan dalam sejarah negara-negara lain. Laksamana Keumala Hayati yang sering kita dengar namanya, adalah wanita yang berpendidikan tinggi, menguasai beragam bahasa dan merupakan jebolan dari akademi militer, Ma’had Baitul Maqdis Aceh, di jurusan angkatan laut. Karena kecakapan dan prestasinya semasa di akademi, beliau dijadikan sebagai Admiral dari Armada Inong Bale yang diisi oleh 2000 orang janda. Juga karena kesuksesannya dalam mengemban tugas, oleh Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah, beliau diangkat menjadi Laksaman laut kerajaan Aceh. Walaupun seorang wanita, beliau adalah laksamana yang sangat dihormati oleh prajuritnya. Cornalis de Houtmen - orang Belanda pertama yang datang ke Indonesia - saat ingin menyerang Aceh malah mati di tangan ‘’bocah laut yang sangat mencintai negerinya’’ ini. Ya, mungkin jika membicarakan tentang ketangkasannya, pasti tidak akan ada habisnya. Ini baru satu orang, kita masih belum berbicara tentang Laksama Leurah Ganti, Laksamana Muda Cut Leurah Inseun, dll.

Tak cukup para wanita di lautan, di medan perang daratan, kita juga mempunya Jenderal Keumala Cahaya sebagai pemimpin para pasukan wanita pengawal istana. Juga Cut Nyak Dhien, walaupun dua suaminya telah syahid di jalan Tuhan, tak ada rasa menyerah dan semangatnya tidak padam untuk terus membela agama dan negaranya. Belum lagi tokoh-tokoh lain, seperti tokoh ulama pejuang wanita,Tengku Fakinah, Tgk. Imum Cut Ma Fatimah ( Tgk. Imum perempuan di daerah Aceh Barat) dll, Cut Meutia, Cut Gambang putrinya Cut Nyak Dhien, Pocut Baren, Pocut meurah Intan, bahkan mungkin ada ribuan tokoh wanita lainnya yang tidak ditulis sejarah.

Saya berpikir, bagaimana mungkin ada perempuan seperti ini? Bagaimana mereka berani berperang? Bahkan menjadi pemimpin perang, memandang hina musuh dan tidak mau sedikit pun berdamai. Mereka benar-benar telah mengalahkan rekor para lelaki, mereka bukan hanya bisa menjadi contoh bagi para wanita, tapi juga menjadi teladan bagi para lelaki. Dan benar saja seperti yang dikatakan oleh seorang kopral veteran perang Aceh Belanda, HC Zentgraff "Wanita Aceh melebihi kaum Wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak takut mati, bahkan mereka telah melampaui kaum laki-laki. Mereka bukan wanita lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka, menerima hak asasi di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka di antara dua serbuan penyergapan.".

Inilah para wanita Aceh, mereka memang berbeda, mereka bukan hanya sebagai madrasah pertama bagi anak-anak atau hanya berperan dalam ruang lingkup kerja keperempuanan saja. Tapi mereka juga mengambil alih peran yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki, mereka menjadi ulama, menjadi pemimpin perang, mereka juga menjadi Sultanah. Maka wajar, jika kita melihat pakaian adat wanita di Nusantara, hanya pakaian asli wanita Aceh yang memakai celana, hal ini disebabkan karena wanita Aceh turut aktif dalam peperangan, wanita sudah mengenal kemodernan dari dahulu.

Oleh sebab itu, fakta tentang emansipasi wanita di Indonesia harus ditilik kembali, Indonesia bagian mana yang membutuhkan emensipasi perempuan? Karena Aceh yang merupakan bagian dari Indonesia telah lama menjunjung tinggi kehormatan para perempuan. Pembenaran terhadap sejarah ini harus dilakukan, bukan karena fanatik terhadap etnis sendiri atau merendahkan kelompok lain. Tapi, karena sejarah memiliki arti penting dalam membentuk karakter para generasi. Karena sejarah membuat para generasi bisa mengenal, menghayati dan meneladani seberapa besar pengorbanan para pelaku sejarah dalam memberikan kebebasan berpikir dan bertindak kepada anak cucunya. Dan dengan sejarah para generasi bisa memaknai kembali arti perjuangan mereka dan bahwa cerita tetang mereka bukanlah sebuah dongeng pengantar tidur.

Mengenal dan mengingat mereka adalah suatu keharusan bagi generasi Aceh laki-laki dan perempuan, sekalipun tidak ditetapkannya hari khusus untuk mereka, sekalipun hanya lukisan ilustrasi mereka yang digantung di sekolah-sekolah, tapi tekad mereka harus tetap bersemayam dalam diri kita para generasi.

Jadi, ‘ala kulli hal, mari sama-sama kita berdoa untuk para pahlawan kita dari berbagai daerah. Dan tentunya, kami dari keluarga besar Website KMA Mesir juga mengucapkan "Selamat hari Kartini sebagai hari emensipasi perempuan untuk beberapa daerah di Indonesia." Salam.

Editor: Annas Muttaqin

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top