Musaadah, Maidaturrahman dan Fanous; Primadona ketika Ramadan Tiba di Mesir
Oleh: Sarah Maulida*
Bulan
Ramadan adalah bulan mulia yang di dalamnya menyimpan berbagai keutamaan yang
tidak ada di bulan-bulan lain. Di antara banyak keutamaan Bulan Ramadan adalah
pahala amal ibadah yang dilipatgandakan, bahkan hanya Allah sendiri yang tahu
seberapa besar pahalanya.
Keutamaan
inilah yang menjadi motivasi warga Mesir untuk berbagi di bulan Ramadan melalui
tradisi yang diberi nama Musaadah. Tradisi umat Islam Mesir ini sudah dilakukan
sejak lama. Musaadah adalah kegiatan amal warga Mesir, yakni berbagi di Bulan
Ramadan.
Musaadah
adalah satu istilah yang berarti bantuan. Perlu diketahui bahwa Orang Arab
terkenal dengan kedermawanannya. Biasanya warga Mesir juga sering berbagi di
bulan-bulan lainnya selain Bulan Ramadan, bisa kita temui di masjid-masjid
tertentu. Makanya ketika Ramadan tiba tidak jarang kita mendapati berbagai
bantuan mulai dari sembako hingga uang jajan. Bantuan uang yang diberikan oleh
mereka pun bervariasi, mulai dari 20 pound Mesir (1 EGP = RP 735) hingga 300
pound Mesir. Tidak heran lagi di Bulan Ramadan para masisir kebanjiran duit
karena masyarakat Mesir berlomba-lomba untuk memberi sedekah yang mereka yakini
akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Uniknya lagi, entah kenapa hampir di
setiap tempat yang terdapat pembagian musaadah, pasti pengantre asal Indonesia yang
paling mendominasi.
Untuk
mendapatkannya, mereka hanya cukup menunjukkan data diri dan bukti sebagai
pelajar atau mahasiswa dengan menunjukkan paspor. Namun tidak semua pelajar
ikut antri mendapatkan musaadah. Ada juga yang sudah merasa cukup dan tidak ikut
berburu. Terdengar begitu mudah bukan? begitulah berkah negeri seribu menara
ini.
Selain
dari musaadah ketika Ramadan, masyarakat dermawan Mesir kerap membagikan
makanan untuk berbuka setiap hari. Mereka menjejerkan meja yang diletakkan
berbagai jenis makanan di atasnya. Siapa saja yang datang dipersilahkan untuk
duduk sambil menunggu azan magrib berkumandang. Meski sempat vakum selama
pandemi, tapi di tahun 2021 lalu sudah mulai dibuka kembali seperti biasa.
Ketika pandemi, kaum dermawan Mesir hanya memberi nasi di kotak makanan dan
membagikannya di jalan tanpa disediakan tarabeza (meja) untuk makan
bersama-sama. kebiasaan ini ada hikmah
tersendiri, yaitu membantu masyarakat Mesir sendiri yang dililit krisis ekonomi.
Bagi
Mahasiswa Indonesia yang sedang merantau mencari ilmu di Mesir, ini merupakan
rezeki dan kesempatan yang paling ditunggu saat Ramadan tiba. Bagaimana tidak,
di samping hidangan yang enak dan mengenyangkan, tentu adanya maidaturrahman
bisa menghemat pengeluaran sebagai mahasiswa.
Menu
yang disajikan sangat beragam. Salah satu yang wajib adalah ‘Isy yang merupakan makanan pokok warga Mesir, yaitu roti berbentuk bulat yang
biasanya dimakan dengan sup berkuah kental berisi sayur dan daging. Ada juga
hidangan nasi sebagai makanan pokok kedua setelah ‘Isy ditambah dengan kurma
dan jus.
Penamaan
hidangan berbuka dengan Maidaturrahman konon diambil dari surat Al-Maidah,
dalam surat itu disebutkan bahwa Allah Swt. menurunkan hidangan dari langit
untuk Nabi Isa As. Kata Ar-Rahman diambil dari salah satu dari nama-nama
Allah (Asmaul Husna) yang artinya Maha Pengasih. Nama ini digunakan agar dengan
hidangan tersebut Umat Islam satu sama lain bisa saling mengasihi dan
menyayangi.
Berbagai
pengalaman menarik saya dapati ketika pembagian Maidaturrahman, mulai
dari melihat senyuman orang yang tampak bahagia ketika mendapatkannya dan juga
toleransi yang begitu erat terhadap sesama yang saling membutuhkan.
Salah satu bagian dekoratir Ramadan yang paling sering
dijumpai di Mesir berbentuk lentera. Benda itu lebih sering disebut ‘Fanous’. Sejenis lampion yang terbuat dari logam dan kaca berwarna, ada juga dengan kain berukiran. Terdapat banyak bentuk
dan ukuran, mulai dari yang ringan dan dapat di tenteng sampai yang besar untuk
di pajang di depan rumah.
Masyarakat Mesir mesir kerap
menghiasi balkon rumah dengan penerang yang cantik itu, tidak hanya rumah
bahkan mereka menggantungnya diantara gedung secara bolak-balik. Dekorasi itu
memberikan kesan suasana jalan yang menarik.
Percaya atau tidak, Fanous sudah menjadi hiasan utama ketika menjelang Ramadan, meski lentera ini tidak benar-benar
digunakan untuk sumber cahaya. Banyak keluarga yang memanfaatkannya untuk
hiasan dan pajangan saja. Mereka merasa Ramadan kurang lengkap tanpa pemandangan warna-warni yang dihasilkan oleh Fanous. Inilah dekorasi yang menggambarkan suka cita bulan suci Ramadan.
Konon, pada mulanya Fanous digunakan masyarakat Mesir untuk menyambut
kedatangan Khalifah Muiz Lidinillah pada masa Dinasti Fatimiyah.
Momennya memang bertepatan dengan Ramadan, tepatnya pada tahun 358 H.
Dalam penyambutannya tersebut, para warga
membawa lampu-lampu kecil seperti obor sebagai penerang jalan, karena pada saat
itu masih belum ada lampu listrik yang telah banyak digunakan seperti saat ini.
Pertanyaan kenapa hal
tersebut bisa menjadi ciri khas Ramadan di Mesir adalah karena letak terjadinya
peristiwa tersebut yang tepat di malam bulan Ramadan sedang berlangsung.
Fanous di Mesir merupakan suatu barang yang unik bagi penulis. Begitu
bermanfaat karena selain indah dia juga memberi semangat kepada kita yang
hendak merayakan kedatangan bulan suci Ramadan. Kebiasaan ini patut diapresiasi
dan di sebarluaskan ke seluruh penjuru agar masyarakat negara-negara lain bisa berpatisipasi
dan antusias merayakan kedatangan bulan suci Ramadan dengan menghadirkan Fanous
atau lentera indah di dalam rumahnya.
Bagi
orang Mesir bulan Ramadan adalah ladang amal yang tidak boleh disia-siakan
begitu saja, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan sekecil apa
pun, mulai dari bersedekah walau dua buah kurma hingga membagi-bagikan hidangan
atau menjamu orang yang berbuka puasa dengan makanan yang begitu lezat. Penyambutan
begitu meriah nan indah yang bisa dijadikan contoh bagi kita semua. Berbagai
keunikan yang jarang ditemui terutama di kampung halaman penulis sendiri.
*Penulis
adalah Mahasiswi Jurusan Syariah Islamiyah, Fakultas Dirasat Islamiyah wa
Al-Arabiyah lil Banat, Universitas Al-Azhar. Tingkat 2
Posting Komentar