Ramadhan Ke-3 Pasca Pandemi, “Happy or Sad Ending?”
Oleh: Fadhila Talia Salsabila
Sumber: Osman Kuycu/Unsplash.com |
“Ramadhan tiba. Ramadhan tiba. Ramadhan tiba. Marhaban Ya Ramadhan.”
Lirik lagu Opick dalam album “Cahaya Hati” menjadi ciri khas
menyambut bulan suci ramadhan. Biasanya para anak kecil menyanyikannya selepas
bermain atau pulang mengaji, sambil menceritakan menu-menu takjil yang
menggoda. Atau suara beduk dan toa Masjid yang membangunkan sahur. Sungguh
‘tashawur’ atau gambaran ramadhan yang paling ditunggu setiap tahunnya.
Sudah pasti momen itu sebatas hayalan atau flashback bagi
para perantau di luar negeri. Membayangkan roti Samahani khas Aceh dengan selai
srikaya kental berwarna kuning begitu menyiksa diri, belum lagi sahur dan berbuka bersama
keluarga yang sangat dirindukan.
Suatu keberuntungan jika ramadhan di negara berpenduduk
muslim, contohnya Mesir. Walau durasi puasa lebih lama dan biasanya di musim
panas, ramadhan di Mesir sungguh istimewa dan berkesan. Benar, tidak ada lagu
Opick ataupun roti Samahani. Takjil yang dihidangkanpun sudah pasti khas timur
tengah. Bagi mereka yang belum terbiasa ramadhan di negeri orang, sungguh perih.
Tapi selalu ada obat untuk menyembuhkan luka. Dan Mesir penawarnya.
“Ramadhan di Mesir, kenikmatan jasmani dan rohani, dunyawi
dan ukhrawi.” Kalam masyhur di antara para perantau yang telah mencicipi
ramadhan di Mesir. Jangan pernah takut kelaparan atau tidak punya takjil
berbuka, yang ada bingung bagaimana cara menghabiskannya.
Beberapa hal menakjubkan mengenai ramadhan di mesir:
Maidaturrahman
Yang berarti hidangan dari langit. Banyak tenda-tenda
lengkap dengan kursi dan meja di pinggir jalan yang menyajikan makanan berbuka
secara gratis. Siapapun boleh duduk dan ikut berbuka disana. Tradisi ini sudah
ada dibawah pimpinan Ahmad bin Thulun yaitu pendiri Dinasti Thuluniyah di Mesir
pada pertengahan abad ke-9.
Para muhsinin atau dermawan Mesir banyak yang ikut
menyumbangkan harta mereka untuk maidaturrahman. Al-Azhar sendiri menyuguhkan
4000 porsi berbuka puasa gratis setiap harinya. Betapa ramadhan di Mesir jangan
takut lapar atau pusing mikir bukaan.
Negeri Al-Qur’an
Di hari biasa pun penduduk Mesir sangat akrab dengan
Al-Quran. Murattal dan lantunan Ayat Suci terdengar dimana-mana. Terlebih di
saat ramadhan, yaitu bulan turunnya Al-Quran. Akan kita dapati orang-orang
yang menjaga toko sambil membaca Al-Quran, bahkan tuna wisma yang duduk
di perkarangan Masjid Al-Azharpun khusyuk membacanya. Bagi penduduk negeri itu,
Al-Quran sebagai teman hidup mereka, yang dibaca dan dibawa kemana pun. Salah
satu nikmat ruhani yang menyejukkan hati.
Negeri Seribu Muhsinin (Dermawan)
Selain mendapat julukan negeri seribu menara, Mesir juga
memiliki seribu muhsinin bahkan lebih. Para dermawan di Mesir berlomba-lomba
membagikan hartanya terkhusus pada penuntut ilmu. Maka, sangat beruntung bagi
para penuntut ilmu di negeri itu. Tak jarang masjid-masjid memberi uang saku
selepas shalat tarawih pada para thalib.
Terkadang beberapa thalib ada yang diberhentikan di
jalan oleh orang Mesir dan diberikan uang saku. Sungguh ramadhan bulan berlipat
gandanya pahala. Betapa irinya kita dengan kedermawanan penduduk Mesir.
Sepuluh malam terakhir ramadhan
Kalau di tanah air kita disibukkan persiapan menyambut
hari raya idul fitri, maka di Mesir bertolak belakang. Sepuluh malam terakhir
menjadi puncak ibadah di bulan yang penuh berkah ini. Masjid-masjid akan padat
dan orang-orang ramai yang beriktikaf. Nuansa ramadhan sangat terasa di sepuluh hari
terakhir. Yang bersedakah semakin banyak. Seakan penduduk negeri itu tak rela
meninggalkan ramadhan.
Lebaran di Mesir
Uniknya hari lebaran di Mesir tidak semeriah di tanah
air. Tidak ada kue lebaran ataupun lontong dan rendang. Lebaran bagi mereka
hanya shalat eid dan bermaafan. Lebihnya seperti hari biasa.
Setelah ditinggal ramadhan barulah sedih mulai
menghampiri. Rindu kampung halaman semakin menjadi. Maka penduduk indonesia di
Mesir menciptakan suasana lebaran sendiri. Beberapa rumah memasak lontong dan
mengundang teman dekatnya. KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) juga
mengadakan open house untuk mengobati rindu kampung halaman.
Tapi keindahan-keindahan itu sempat vakum kurang lebih dua tahun akibat pandemi. Tahun 2020 lalu, semua orang benar-benar terkurung dalam sangkar, khawatir, cemas dan krisis ekonomi menghantui dunia. Jangankan di Mesir, seluruh dunia ikut merasakan dampaknya. Mesir yang setiap ramadhan membagikan makanan gratis atau maidaturrahman saat itu tidak digelar lantaran pandemi. Masjid ditutup dan shalat tarawih dilakukan di rumah masing-masing.
Para dermawan hanya membagikan makanan ke rumah-rumah
atau di jalan. Terkadang pengemis dan orang yang membutuhkan lari rebutan kotak
makanan. Ada yang bermuka masam karna tidak kebagian pun ada yang tersenyum
girang mendapat lebih.
Sebenarnya, setiap tahun mereka tak perlu rebutan untuk
takjil ramadhan. Mereka punya hak di maidatturrahman, hidangan dari langit
untuk semua kalangan. Tapi lagi-lagi semua terbatas akibat pandemi. Banyak
jeritan dan tangis airmata. Begitu juga KBRI tidak mengadakan open huose
untuk masyarakat Indonesia yang rindu kampung halaman.
Di tahun kedua pasca pandemi, orang-orang sedikit lega.
Beberapa madyafah atau tempat pengajian menggelar maidaturrahman. ‘Pandemi
attack’, atau serangan pandemi mulai berkurang. Aktivitas ramadhan mulai
berjalan seperti biasa. Masjid-masjid mulai buka walau hanya di waktu shalat.
Kenikmatan shalat tarawih kembali menyejukkan jiwa. Masjid dipenuhi haru dan
tangis mohon ampunan di bulan penuh berkah.
How about ramadhan this year? Akankah ramadhan kali ini diantara dua tahun
terakhir? Lebih baik atau lebih buruk?
Semoga ramadhan di tahun ini ‘happy ending’.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Mesir.
Posting Komentar