Paradoksikal Eksekutor Kekerasan; Isu Feminisme bukan Hanya Urusan Perempuan

Oleh: Setia Farah Dhiba*

Paradoksikal Eksekutor Kekerasan; Isu Feminisme bukan Hanya Urusan Perempuan
Sumber: game.dclick.io

Sebuah kekeliruan dari seorang muslimah masa kini yang mengaku diri sebagai seorang feminis, lalu mengecap Rasulullah Saw. sebagai lelaki feminis juga menyebut Islam sebagai agama feminis. Pesan kesetaraan gender sebagai tujuan utama yang terus digiring, bersumber dari feminis barat adalah satu dari akar dalam menyokong gerakan perempuan ini. Sementara Islam menginterpretasikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki melalui ketakwaan pada Tuhan. Namun, jika dipandang dari segi pewarisan, praktik islam, dan kedudukan sosial maka akan sangat banyak perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini jelaslah bukan tentang kesetaraan akan tetapi bagaimana islam membedakan keduanya. 


Adalah sebuah pilihan seorang muslimah dalam menganut ideologi feminis tersebut. Namun, menjadi kesalahan besar untuk menyatakan “Islam Feminis”. Mengapa? Karena pada dasarnya kita jadi melihat kitab suci dari lensa feminisme. Sama saja seorang muslimah feminis yang membaca Al-Quran kemudian menginterpretasikannya lewat pemikiran yang disusun feminis itu sendiri, dan hal ini sungguh problematik.

Kemudian menyatakan Rasulullah Saw. sebagai feminis hanya karena beliau menyayangi kaum perempuan, hal ini bukan berarti beliau seorang feminis akan tetapi ini adalah hal yang islami. Sama seperti saat kita lebih memprioritaskan ibu dibanding ayah, ini adalah sesuatu yang kembali pada islam dan bukan bagian dari feminisme. 


Maka menjadi urusan seseorang dengan Tuhannya untuk menjadi muslimah berideologi feminis, tapi jangan sekali-kali memandang Al-Quran dan melihatnya dengan standarisasi feminisme. Kemudian, apakah perempuan dan feminisme adalah murni permasalahan tentang keturunan hawa saja?   

Seakan sumber perkara para perempuan datang dari diri mereka sendiri dan harus diselesaikan sesamanya. Toh, terdapat akar kuat lain munculnya pemikiran yang mendasari suara perempuan ini, kenyataan yang menganga lebar memperlihatkan kekejaman berbagai kekerasan tiada akhir di setiap kelompok, keluarga, sudut jalan, ruang belajar, di tengah keramaian, bahkan dalam lingkup kajian agama, juga terjadi dalam lingkaran yang katanya orang-orang berpendidikan.

Sekalipun kita tau dan sadar Islam datang untuk menjelaskan, memang pada hakikatnya nilai seorang perempuan itu sangat berharga. Akan tetapi, kita harus tau juga mengangkat derajat disini bermakna meniadakan hal-hal yang merendahkan diri perempuan itu sendiri. Namun, apa kabar sebagian manusia yang masih secara sadar untuk tidak memanusiakan manusia lainnya, hanya berdasarkan gender semata. Setuju atau tidak, kekerasan secara fisik atau pun non-fisik adalah penyebab utama lahirnya sebuah produk pemikiran feminis barat yang mana hampir seratus persen para pelaku perbuatan diskriminatif tersebut adalah kaum laki-laki.

Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D yang merupakan seorang imam besar Masjid Istiqlal mengaku persoalan feminisme bukanlah hal yang salah secara utuh, adalah hak setiap orang untuk membela hak asasinya. Namun, beliau memperingatkan untuk berhati-hati pada siapapun yang bersuara dengan gaya pemikiran mereka yang kontradiktif dengan situasi mayoritas masyarakat Indonesia.

Sejarah menggambarkan bagaimana perempuan selama lebih dari berabad-abad diperlakukan dengan sangat diskriminatif dan telah memakan jutaan jiwa korban hingga hari ini. Sehingga hal ini tidak bisa kita sebut “hanya” sebuah masalah. Ini adalah persoalan besar dan serius, bukan cuma tentang keresahan perempuan. Laki-laki harus terlibat untuk melahirkan sebuah solusi. Pertanyaannya? Sadarkah para lelaki bahwa mereka juga bagian dari persoalan ini? Dan apa alasan rasional untuk mereka harus terlibat?

Siapapun harus mengetahui bahwa dirinya bagian dari sebuah persoalan sebelum akhirnya bisa menemukan sebuah solusi. Namun, jika tidak merasa diri bagian dari sebuah permasalahan, maka bagaimana bisa hal ini terwujud? Dari hal tersebut, salahkah jika mereka para perempuan feminis berusaha berkoar-koar untuk melindungi kaum mereka? Sementara kaum patriarki bebas berkuasa hampir di setiap sektor kehidupan, yang seharusnya antara kedua makhluk ciptaan Tuhan ini punya nilai setara melakukan apapun tanpa melihat status gender-mengikuti aturan agama.

Lelaki bagian dari persoalan

Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama atau yang disebut patriarki. Faktor ini menjadikan kaum adam merasa punya otoritas mendominasi para perempuan mulai dalam domain keluarga yang dikepalai seorang ayah. Hati-hati, secara tidak sadar, merasa menjadi satu-satunya yang punya hak menentukan setiap keputusan, mengabaikan hak bersuara anggota keluarga lain sudah memperlihatkan awal mula munculnya kekerasan dan berpotensi berlanjut pada kekerasan yang lebih jauh lagi.

Patriarki masuk ke berbagai ranah mulai dari sebuah keluarga, organisasi sosial, hukum, politik, ekonomi, dan bahkan diaplikasikan oleh sebagian oknum pemegang kekuasaan di bawah label agama. Sudahlah punya kuasa dan tahta, kekerasan yang bersumber dari masyarakat patriarkal ini secara tersirat didukung oleh kondisi permisif sosial. Menormalisasikan secara bertahap kekerasan mulai dari yang bersifat ringan tampaknya-akibat sudah terlalu sering dibenarkan-hingga perkara yang merenggut jiwa pun para korban dipaksa harus maklum akan situasi pelaku, sungguh aneh tapi nyata.   

Berapa banyak mahasiswi yang dipaksa bungkam atas berbagai kasus pelecehan yang diperbuat oknum penguasa di perguruan tinggi. Perhatikan orang-orang yang merasa biasa melihat para pemuda yang dengan sengaja dan bangga melakukan cat calling kepada pemudi yang berjalan di depan mereka. Lihat bagaimana masyarakat menempatkan di posisi rendah seorang janda yang bekerja malam hari dan menganggap lumrah seorang duda yang juga bekerja di waktu yang sama. Dari mana dan siapa dalang konstruksi sosial yang sudah berakar panjang dalam masyarakat ini? Lalu, kita tenggalam dalam mayoritas diam yang menjadikan hal-hal ini seakan tabu untuk dipersoalkan.

Bak timbangan yang berat sebelah. Patriarki dan hak istimewa, sekilas tidak ada kekeliruan atas kekuasaan laki-laki. Namun, dominasi ini kerap kali menunjukkan ketimpangan dalam hak bersuara si perempuan. Seorang ayah yang berani memperlihatkan ketegasannya merasa punya hak mewakili hal tersebut dengan cara memukul umpamanya, ataupun menampar dan seterusnya. Mengapa? karena ia merasa punya hak sebagai satu-satunya penguasa dan seorang pemimpin.

Secuil deskripsi ini akan membuat orang-orang mulai berpikir, indikasi hati nuraninya masih bekerja. Dan biasanya, golongan permisif atau pun pelaku sendiri akan sering menyangkal dengan membuat alasan-alasan serasional mungkin untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka. Kalau kamu?

Sumber: Imdb.com



Paradoks Eksekutor Kekerasan

Ada persoalan serius disini. Standarisasi dalam menjadi seorang laki-laki mengawali berbagai alasan mengapa rasa takut dan rasa tidak percaya diri dalam lingkaran brotherhood mereka berakhir dengan pelarian melalui kekerasan. Anti menangis dan tidak terlalu peduli atas kondisi jiwa ataupun dirinya sendiri. Terdapat suatu kesakitan mendalam juga rasa khawatir dirinya dianggap rendah dengan kelemahan yang dia punya.  Berlindung dari hal tersebut, unjuk kekuatan dirasanya ampuh untuk tetap disematkan sebagai laki-laki jagoan dan tahan banting.

Kontradiksi di saat ia tidak mampu memenuhi ekspektasi orang-orang disekitar. Karena tidak semua laki-laki sanggup untuk mencapai berbagai hal untuk akhirnya disebut lelaki. Seringkali berangkat dari hal ini, adalah paradoks sesungguhnya para pelaku tindak kekerasan saat mempertahankan harga diri mereka yang sedang berada dalam situasi kesepian, ketakutan dan hilang percaya diri. Alhasil, mencari mangsa yang lebih lemah dari dirinya; melakukan kekerasan pada perempuan ataupun sesama lelaki lainnya adalah solusi temporal yang dipilih.

Jarak jauh antara laki-laki dan emosional, pengalaman masa lalu yang traumatik dengan beragam latar belakang serta gambaran maskulin dalam masyarakat yang tidak masuk akal juga menjadi sumber munculnya kekerasan pada laki-laki.

Hal ini merupakan rangkuman singkat dari Kajian Filsafat dan Feminisme atau disingkat Kaffe episode Dr. Nur Iman Subono di kanal youtube Jurnal Perempuan, bersumber dari Michael Kaufman mentor asal Kanada dalam konferensi bertema “Gender for Gentle Man” di Cebu, Filipina tahun 90-an. Dr Subono mencoba untuk merasionalkan beberapa alasan mengapa laki-laki perlu berperan serta dalam pencegahan kekerasan, khususnya pada perempuan.

Secara singkat ada tujuh P untuk menjawab mengapa laki-laki harus terlibat dalam pencegahan tindak kekerasan. Patrialkal (dominasi laki-laki), Permisif (budaya membiarkan perilaku kekerasan), Privilese (hak istimewa), Paradoks (hal yang berlawanan), The Psychic Armour of Manhood (baju zirah kedewasaan) bermakna sebagai jarak jauh antara laki-laki dan emosional, Past Experience (pengalaman masa lalu) dan Masculinity Psychic pressure cooker (tekanan menjadi maskulin).

“Saatnya laki-laki bicara dan bertindak sebagai mitra penghapusan kekerasan terhadap perempuan” sebagai judul yang dipilih dalam Kaffe oleh Dr. Subono agar melawan mayoritas diam masyarakat. Bergerak bersama bertanggung jawab juga peduli pada pelaku yang mau mangakui dan ingin berhenti dari melakukan kekerasan. Lalu tentunya mengajak para lelaki mendukung dan mau jadi bagian solusi untuk kemudian berperan serta dalam pencegahan kekerasan pada perempuan.

Maka dari itu, generasi muda islam; muslim dan muslimah bersama-sama harus kembali menyadari persoalan yang berjalan disekitar mereka, kembali menanamkan kecintaan nilai-nilai ajaran Islam dalam berkehidupan dan dekat dengan Tuhan. Sehingga dari hal ini, satu sama lain saling mendukung dan menebarkan paham anti kekerasan. Juga para muslimah punya kembali kepercayaan bahwa dengan pemikiran Islam sudah mengangkat nilai dan memberi ruang pada kaum hawa tersebut tanpa perlu menganut sebagian ideologi keliru para feminis.

Dan hal terpenting mengokohkan laki-laki muslim sebagai calon tauladan melawan kekerasan pada perempuan, karena mereka merupakan panutan yang akan diikuti generasi selanjutnya dan pendidik guru pertama untuk kemudian mengajarkan nilai-nilai kebaikan khususnya ajaran Islam yang diawali dalam sebuah madrasah kecil yaitu keluarga.[]

*Penulis merupakan mahasiswi tingkat empat jurusan syariah islamiyyah universitas Al-Azhar, Mesir.

Editor: Ali Akbar Alfata

    

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top