Pendidikan Berkebudayaan Sebagai Corong Membentuk Masyarakat yang Elegan*

Oleh: Annas Muttaqin S

(Sumber Foto: anteroaceh.com)

Dalam diri manusia, Tuhan menciptakan alat yang menjadi pembeda antara manusia dengan ciptaan-Nya yang lain. Alat ini disebut akal, ia merupakan sumber dari daya pikir manusia. Dalam perjalanannya akal merupakan hal yang liar diciptakan Tuhan pada manusia. Ia mampu mendorong manusia menjadi pelopor kebaikan sekaligus menjerumuskan manusia dalam berbuat kerusakan.

Kita mampu mengetahuai ada seseorang dibalik pintu hanya dari mendengar suara ketukan pintu tanpa melihatnya merupakan buah dari penggunaan akal. Begitu pun kita dapat memahami maksud aneka rambu di jalan dan mematuhinya tanpa ada polisi lalu lintas yang berjaga, merupakan bentuk dari pemberdayaan akal. Lebih dari itu, manusia dapat membentuk peradaban hebat dari satu abad keabad lainnya juga merupakan implementasi dari penerapan daya pikir yang terdidik. Di lain sisi, aneka pertumpahan darah, kerusakan bahkan kebiadaban di muka bumi juga merupakan akibat dari akal yang dianugerahkan. Akal liar yang tidak terdidik. Akal bagaikan bilah pisau yang memiliki dwifungsi, menebar manfaat serta menciptakan mudharat.

Dari situ, berbicara tentang akal berarti kita juga sedang berbicara tentang pendidikan, karena dalam diri manusia melekat sebuah anugerah besar yang harus dibimbing dan dijinakkan dengan ilmu dan pengetahuan sehingga mampu menjaga pemiliknya untuk tidak terdorong melakukan kerusakan. Prof. Qurash Shihab dalam karyanya “Khalifah, Peran Manusia di Bumi” menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia menghuni Bumi guna menjadi pemimpin yang dapat mengatur bumi dan menegakkan keadilan di atasnya. Oleh karena itu, Allah memberikan manusia potensi menundukkan alam raya agar dapat merealisasikan kemakmuran di bumi. Dalam karyanya yang lain, “Logika Agama”, beliau juga menyebutkan bahwa terulangnya kata akal dan aneka bentuknya dalam Al Quran menandakan bahwa pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia. Lebih dari itu, ajaran agama Islam mencabut wewenang dan hukum dari seseorang yang belum sempurna atau kehilangan akalnya. Hal ini juga menandakan, akal memiliki kedudukan penting lebih-lebih dalam ajaran agama sekalipun.

Tak ada yang mampu mendefinisikan akal secara tepat, bahkan para cendikiawan dan ulama tak mampu menunjukkan secara kongkrit di mana letak akal sebenarnya. Ia merupakan keajaiban terbesar yang Tuhan ciptakan pada manusia untuk sejatinya dibimbing dan mendapat didikan.

Tentu tak sembarang pendidikan yang mengantarkan akal dapat digunakan secara sehat. Jika ditinjau dari pengaruh pendidikan, maka pendidikan yang berkualitaslah yang dapat membuahkan penggunaan akal secara sehat. Penggunaan akal secara sehat sejatinya mampu mewujudkan masyarakat berkelas yang menjadikan masyarakatnya bahagia. Maka, untuk menjadikan masyarakat yang bermutu dan bahagia, harus dimulai dengan menerapkan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas yang dimaksudkan, di sini tidak hanya terbatas pada pendidikan intelektual. Namun, juga meliputi pendidikan moral dan emosional, lantaran keduanya menjadi jembatan manusia dalam menyalurkan nilai-nilai intelektualnya.

Keberhasilan pendidikan berkualitas sebagai dasar mewujudkan masyarakat yang bernilai tak hanya omong kosong belaka, Finlandia selaku negara yang hingga saat ini masih memegang sistem pendidikan terbaik telah membuktikan hal tersebut. United Nations Sustinable Development Solutions Network, sebuah lembaga yang setiap tahunnya mempublikasikan laporan tentang taraf kebahagiaan masyarakat dalam sebuah negara menyebutkan, Finlandia merupakan negara dengan taraf masyarakat paling bahagia. Jelas hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan berkualitas yang mereka terapkan. Pendidikan yang baik menjadikan masyarakatnya cenderung bersifat egaliter. Dari situ seorang tak pernah merasa risih dengan pencapaian orang lain, melainkan mereka cukup bahagia dengan diri mereka masing-masing dan tak perlu merasa untuk tampil lebih unggul dibanding sekitar mereka, tapi hanya perlu memperbaiki diri masing-masing. Kondisi masyarakat seperti ini menjadikan masyarakat Finlandia tampil bernilai sekaligus elegan.

Tak hanya sampai di situ, pendidikan berkuliatas memberi mereka pemahaman, bahwa nilai manusia terletak pada intelektual yang sejalan dengan moral. Pemahaman ini menjadikan rasa saling  percaya dan saling menjaga antar elemen  masyarakat dan otoritasnya meningkat, sehingga menjadikan masyarakat Finlandia mampu hidup tenang dan nyaman. Hal inilah yang menjadikan masyarakat Finlandia dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia.

Di sisi lain, pendidikan yang berkualias tidak semata-mata diwujudkan dengan sistem baku. Karakter masyarakat, keadaan sosial suatu negara hingga kesesuaian dengan lingkungan juga menjadikan sistem pendidikan yang berkualias dapat ditempuh dengan jalan yang berbeda. Hal ini terbukti dengan berbedanya sistem pendidikan yang diterapkan oleh beberapa negara yang juga dinilai memiliki mutu masyarakat yang baik.

Pendidikan di Singapura misalnya, cenderung memilih jam belajar lebih banyak dibandingkan Finlandia untuk mewujudkan masyarakat yang bermutu. Dari kepemilikan sekolah pun Singapura memberikan izin bagi pihak-pihak swasta dalam mendirikan sekolah. Hal ini tentu berbeda jauh dengan Finlandia yang menyerahkan hak penuh bagi pemerintahnya dalam menyelenggarakan dan memberikan pendidikan bagi rakyatnya. Begitu pun dengan pendidikan di Jerman yang menyerahkan sebagaian besar aturan-aturan pendidikan pada daerah negara bagiannya masing-masing. Sekali lagi, ini menunjukan bahwa pendidikan yang membawa masyarakatnya bernilai tidak memiliki sistem baku, malainkan mengikuti keragaman yang dimiliki oleh suatu negara.

(Sumber foto: Steemit.com)

Di Indonesia masyarakatnya cenderung bersifat multikultural dipadu dengan nilai-nilai agama yang kental. Selain itu masyarakat Indonesia juga notabenenya memiliki sifat ramah, sopan serta humoris. Kebiasaan gotong royong pun menjadi salah satu budaya yang sangat  lekat dengan masyarakat Indonesia. Ini menjadikan negara Indonesia memiliki ideologi unik. Namun, inklusif. Ideologi ini dirangkum dalam lima pilar khusus disebut Pancasila. Kusomohamidjojo (2000) pakar hukum sekaligus pemikir berkebangsaan Indonesia menyebutkan bahwa Masyarakat Indonesia bersifat plural (Jamak) sekaligus heterogen (aneka ragam). Kemudian ia menunjukkan, bahwa dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai subkelompok yang tidak dapat disatukelompokkan dengan yang lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hal ini dibuktikan dengan terdapatnya tidak kurang dari 500 suku di Indonesia.

Dengan ini, karakter sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia pula harus menyesuaikan dengan karakter masyarakatnya agar hasil pendidikan Indonesia tetap relavan sekaligus tidak menggerus nilai-nilai keberagaman yang menjadi orisinalitas terbentuknya bangsa Indonesia. Dengan menjaga sinergi antara karakter suatu masyarakat dengan sistem pendidikan yang diterapkan diharapkan pendidikan dapat mengantar manusia pada rasa bahagia dan nyaman. Inilah yang dapat dikatagorikan dengan pendidikan berkualitas.

Pendidikan yang demikian dapat disebut dengan “Pendidikan Berkebudayaan”. Ia merupakan gabungan antara pendidikan baku yaitu, pendidikan nalar yang menjadi pokok dari pendidikan tiap manusia dan kultur yang tumbuh dalam sebuah masyarakat seiring bergelutnya manusia dengan waktu dan keadaan. Dua hal ini merupakan perpaduan yang serasi yang akan berubah menjadi harmoni, kemudian membentuk keberagaman nan patut dipertahankan yang menjadi bagian dari fitrah kehidupan.

*Artikel ini merupakan pemenang juara 1 lomba menulis artikel HARDIKNAS yang diselenggarakan oleh PPMI Pakistan-KBRI ISLAMABAD 2022

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top