Aku Bersaksi Kau Seorang Pendusta



                                                                              
Oleh: Fadhila Talia Salsabila

(Sumber: Facebook)
                                                                                                                  

Gadis itu menatap dingin keluar jendela, kepalanya dibiarkan bersandar di kaca bus yang lebar sambil menghela nafas panjang, mengingat akan kembali menabung rindu beberapa bulan kedepan. Kali ini ia tak menangis saat melepas kampung halaman dan seisinya, dalam hati berbisik, “Pergi untuk Kembali”. Kayla, terbawa arus pikirannya sendiri, mengabaikan hawa dingin yang masuk lewat celah-celah jendela, sampai seketika terdengar suara dari samping.

“Permisi dik, ini kursi nomor 11 kan?” tanya pemuda berkulit cokelat, membuyarkan lamunannya. Ia mengangguk cepat. Dari awal pertanyaan itu, kisah ini dimulai.

Perjalanan Padang - Medan memakan waktu sekitar 17 sampai 19 jam, tapi terasa begitu singkat bagi gadis itu. Ia hanya tidur beberapa jam, lalu sisanya hanyut dalam obrolan bersama penumpang di sampingnya, si pemuda berkulit coklat.

"Jadi dik Kayla, udah semester berapa?"

"Alhamdulillah masuk semester 4, bang." balasnya santai.

Ia yang aslinya mabuk darat, saat itu tidak merasa mual melewati kelok 9 ‘ruas jalan berbelok yang memiliki tikungan tajam selebar 5 meter’. Pemuda itu, bagai pil antimo yang membius perjalanannya.

"Wah! Udah cocok untuk menikah ya," ujar pemuda itu diiringi tawa ringan. Kayla hanya tersenyum tipis.

"Bang Aris sendiri masih kuliah atau udah kerja?"

"Abang udah selesai S1, sekarang bekerja di Payakumbuh." katanya dengan logat Medan yang kental.

Obrolan masih berlanjut, ia seakan tidak mengizinkan Kayla menutup mata. Mereka membahas banyak hal tentang pekerjaan, kuliah, destinasi wisata, hingga persoalan pernikahan. Aris selalu mengarah pada topik terakhir, menanyakan ciri-ciri lelaki idamannya, seakan ingin melamar gadis itu.

Kayla menjawab asal, tidak menganggap serius perkataan lelaki teman satu bangku yang baru saja ia kenal itu. Aris tidak menyerah, sepanjang perjalanan, topik pernikahan menjadi sorotan utama.

Tring! Ponsel Kayla berdering, telepon dari amak menanyakannya sudah sampai mana. Segera ia merapatkan bibir, menahan air mata saat mendengar suara serak amak yang hampir menangis. Benar saja, seorang ibu lebih tersiksa jauh dari anaknya ketimbang sang anak sendiri. Setelah mengakhiri pembicaraan, ia kembali menatap ke luar jendela. Tatapannya kosong dan memilih tidur, sesekali terjaga untuk menikmati perjalanan. Namun Lagi dan lagi, pemuda itu menarik perhatian membuka topik.

“Pasti berat merantau ya, dik. Abang hampir 2 tahun belum pulang.” Mulainya dengan nada rendah, membuat Kayla menoleh ke asal suara.

“Siapa yang mau jauh dari keluarga? Ninggalin orang-orang tercinta. Sekarang abang tulang punggung keluarga, harus banting tulang cari nafkah dan menyekolahkan adik-adik.” Kayla mulai simpati dengan pemuda itu.

Aris mulai bercerita tentang keluarganya. Ia ditinggal yatim sejak SMP. Sebagai anak sulung dengan 2 orang adik, mau tak mau ia harus membantu sang ibu sekaligus menjadi kepala keluarga.

“Dik Kayla juga harus semangat nuntut ilmunya, beruntung masih punya ayah ibu.” Kayla mengangguk.

“Ah, kebetulan kali ibu abang pengin mantu orang Minang.” Ujar Aris salah tingkah. Kali ini, gadis itu tersenyum hingga pipinya merona.


*** 
                                                                           
Bus mampir sebentar di rumah makan untuk beristirahat dan makan siang. Mereka ikut turun. Lelaki itu menarik kursi, mempersilahkannya duduk, ia di perlakukan bak tuan putri. Orang yang melihatnya pasti mengira mereka sepasang kekasih.

"Seorang suami itu harus ikut membantu istri, bantu jaga anak, dan pekerjaan rumah lainnya." Kata lelaki itu seolah bijak di depannya.

"Nanti kalau abang punya istri, abang gak bolehin dia kerja berat. Abang bakal buat dia bahagia." Tambah lelaki itu. Kayla bukan lah ABG yang mudah termakan kata. Tapi, selama sembilan belas jam perjalanan mendengarkan kata-kata manis itu, perempuan mana yang tidak melayang?

“Kayaknya kita jodoh dik, pesanan kita sama.” Kayla hanya tersenyum menghadapi Aris yang tak henti bicara.

“Dik Kayla, rencana nikah di umur berapa?” tanya lelaki itu lagi. Pertanyaan yang mengalahkan nikmatnya rendang Padang-membuatnya tersenyum lebih lebar.

***

“Maaf bang Aris, Kayla masih mau kuliah.” Jawabnya ketika bus kembali melaju.

“Kuliah itu wajib dik, abang gak melarang istri abang kuliah.” Kayla langsung batuk mendengar jawaban itu. Mereka terus mengobrol dan bertukar cerita. Dari cerita panjang Aris, ia menyimpulkan bahwa lelaki itu adalah seorang pekerja keras dan juga penyayang, terlebih dari perhatian-perhatian kecilnya yang seakan hanya mengistimewakan Kayla seorang di dunia ini.

***

Tulisan selamat datang di kota Medan menandakan sebentar lagi mereka akan berpisah.

“Apakah pertemuan ini hanya kebetulan?” tanya Kayla dalam hati. Ia tak ingin berharap, yang berujung pada rasa sakit. Tiba-tiba Aris mengeluarkan ponsel untuk meminta nomor. Tidak berhenti di situ, ia juga sampai mengantar Kayla hingga ke rumah pamannya di Medan. Seakan mengatakan ini bukan pertemuan pertama dan terakhir bagi mereka.

"Nanti Abang datang sama orang tua main ke rumah boleh, ya?" pertanyaannya kembali membuat rona merah di pipi gadis itu.

Sehari setelah kembali ke kediaman masing-masing, Aris masih sering menanyakan kabar. Tak lupa lelaki itu memasang status whatsapp dengan caption yang membuat hatinya berbunga.

"Pertemuan kita adalah takdir, jika semesta mengizinkan, izinkan aku menjadi penyempurna agamamu, dik." Tulis Aris, dari sekian banyak unggahan gombalnya. Tiada hari tanpa saling bertukar kabar. Bahkan pemuda itu selalu menanyakan kabar orang tua Kayla seakan ingin melamar dalam waktu dekat.

Belum sempat ia menceritakan pertemuan mereka pada amak dan abak, hal yang tak diduga itu pun terjadi. Beberapa hari setelahnya, Aris menghilang tanpa kabar dan kejelasan. Nomornya tidak aktif. Kayla menganggap dirinya dipermainkan. Hatinya perih dan sakit. Setelah 19 jam kebersamaan mereka, seakan ia mengenal lelaki itu bertahun-tahun, lalu dihempas tragis. Ia menangis sejadi-jadinya, hatinya sungguh hancur.

Kayla yang awalnya belum pernah sedekat itu dengan lelaki, terluka parah dengan sayatan hitam di hati dan memorinya.

“Apakah benar semua lelaki itu sama?” pertanyaan yang berulang kali melintas di kepalanya. Sebulan berlalu. Kayla memaksa untuk membiasakan diri tanpa sapaan kabar dari lelaki itu. Tak lama kemudian, Aris kembali muncul menghubunginya dengan nomor baru.

"Maaf dik, nomor Abang yang lama udah habis masanya. Simpan yang ini ya, nomor baru." Satu notif pesan dari Aris yang tiba-tiba hadir lagi.

"Abang tau? Aku hampir memikirkan yang tidak-tidak." Balas Kayla.

"Maaf dik, Abang gak mungkin mutusin silaturahmi kita."

Kayla tersenyum walaupun hatinya masih perih. Aris berusaha membuatnya tersenyum dengan janji-janji pernikahan. Perlahan hatinya kembali berwarna, tapi itu tak bertahan lama, luka yang masih menganga itu sengaja disiram perasan jeruk. Beberapa hari kemudian, Aris memasang status Whatsapp seakan ingin memamerkan sesuatu. Di dalamnya terdapat foto seorang anak berusia 2 tahun di pangkuan perempuan berkerudung merah dengan caption, "Aris, maafin Abi, ya. Abi harus pergi kerja lagi, tolong jaga Umi ya, nak." Kayla, jantung gadis itu hampir berhenti berdetak ketika membacanya.

“Aris???!!!” jeritannya merintih lirih. Ternyata si pemuda berkulit cokelat itu bersembunyi dengan nama anaknya untuk mempermainkan Kayla.

“Pendustaaaaa!!” ia berteriak sejadi-jadinya.

***
                                                                          
“Itu kisah nyata Gi? Demi apa coba, gak nyangka banget di dunia ini ada cowok kayak gitu.” kata Syifa mengepal tangan geram.

“Ngeselin banget tuh cowok. Udah berkeluarga coba, untuk apa ganggu anak orang?” sahut Laila turun dari atas Kasur.

“Apapun kedoknya, kita gak tau. Pokoknya aku pesan sama kalian jangan mudah termakan gombalan lelaki dan jangan lupa ingatin juga yang punya adik cowo atau abang, jangan mudah permainkan perasaan perempuan, oke?” kata Anggi menasihati.

“Oke…” jawab Syifa dan Laila bersamaan.

“Shalat maghrib dulu yuk, sebelum kehabisan waktu.” ajak Laila.

“Astaghfirullah, iya, keasyikan cerita dari tadi. Semoga kita terhindar dari kejadian yang tidak kita inginkan, ya.” kata Anggi menutup cerita. []

Editor: Setia Farahdhiba

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top