Mengisi Kantong Harga Diri Melalui Edukasi Seks
Oleh: Setia Farah Dhiba*
Sumber: Unsplash.com |
Setiap jiwa, perempuan dan laki-laki, sepatutnya memahami akan nilai dirinya yang sangat berharga. Bersama kita ingin kembali menyingkap, urgensi sebuah pembelajaran tentang edukasi seks sejak dini; mendapat pengetahuannya ataupun mencari tau cara menyampaikan persoalan terkait kepada keluarga dengan baik dan benar. Sehingga saat orang tua atau calon orang tua mendengarkan kata “penting” yang disematkan pada istilah edukasi seks, terdapat landasan kuat bahwa membahas topik ini bukanlah suatu hal yang salah atau memalukan.
Ciri negatif yang kerap berlekatan dengan konsep sex-ed sejak dini, berkonotasi bahwa pendidikan kesehatan remaja ini sama dengan mengajarkan proses reproduksi tidak pada tempatnya. Namun, gambaran peta pembelajaran edukasi seks ini, tidak terbatas seputar proses reproduksi saja seperti yang umumnya diajarkan pada kelas biologi sewaktu SMA.
Sebuah
kekeliruan tentang paham biomedical yang terfokus pada bab reproduksi, untuk
kita sematkan sebagai rangkaian utuh sebuah edukasi seks. Pelarangan yang sering
kali disuarakan para guru untuk murid, melalui paham pro-abstain (tidak
boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah), agaknya sulit untuk diterima
begitu saja oleh para remaja yang punya sejuta khayalan.
Tamsilan tatkala seorang ibu memberikan helm
pada si adik, saat pertama kali belajar naik sepeda. Sambil memahamkan jika dia
membawa sepeda terlalu kencang, maka ia dapat terjatuh dan bisa menyebabkan
luka fisik. Hal demikian akan membuatnya lebih berhati-hati, juga rasa
penasaran si anak atas pelarangan tersebut dapat tercegah oleh dirinya sendiri.
Selama akibat dari suatu perbuatan sudah ditanamkan melalui komunikasi, secara baik
dan benar antara orang tua dan anak.
Dan bahwasanya
anggapan mempelajari edukasi seks adalah hal yang tabu. Terbatas perihal
reproduksi ataupun terdapat kekhawatiran pada si anak, yang mana jika ia mempelajarinya
akan berdampak pada rasa penasaran, lantas ingin mencoba melakukan hubungan
seks dini adalah hal yang amat sangat keliru, mitos dan sangat disayangkan.
Justru para
orang tua dan pengajar di sekolah yang menabukan pembelajaran ini adalah pencetus, seakan terdapat sesuatu yang keliru
atau kesalahan yang bersifat memalukan, dalam membuka pembicaraan perihal
edukasi ini. Padahal ada dampak yang sangat esensial bahkan krusial bagi
seorang anak. Bahwa ia punya hak dihargai, punya batasan, dan dia punya
kewajiban menghargai batasan tubuh orang lain.
Begitu pun
orang lain, mereka punya batasan perlakuan atas tubuh seorang anak. Jika ia
mendapati perlakuan tidak lazim, dia tau hal apa yang harus diperbuat. Sebagaimana
yang diajarkan orang tuanya. Harus berani berbicara, melapor, sadar bahwa itu
suatu tindakan yang tidak wajar. Karena apa? Karena dia berharga, punya hak
dijaga dan berkewajiban juga menjaga. Sehingga tidak dirugikan ataupun
merugikan orang lain. Lantas bagaimana edukasi seks dapat menjawab ini semua? Lalu
apa saja tahapannya?
Pendidikan Seksual itu Sesuai Umur
Miskonsepsi mengenai sex-ed cuma
dibutuhkan ketika anak sudah mencapai usia puber, menjadikan para orang tua dan guru menutup
pembicaraan mengenai topik ini mulai dari usia dini, atau bahkan sama sekali
tidak membahasnya. Nyatanya, sama hal dengan rating film-sesuai umur- pemberian
pendidikan kesehatan seksual ini harus sejalan berdampingan antara materi
edukasi dengan usia anak.
Sesimpel kita diajarkan
terlebih dahulu soal tambah kurang, baru setelahnya kita diajarkan pembagian,
perkalian dan seterusnya. Begitupun edukasi seks secara komprehensif (lengkap)
dalam kurikulum UNESCO (2018). Materi yang disampaikan disusun berdasar 4
rentang usia: 5-8, 9-11, 12-15, dan 16-18+.
Nah, jadi untuk para orang tua tidak perlu ragu untuk mengajarkan materi
yang sudah disesuaikan dengan usia anak.
Mulai dari
materi apa? Ayah dan ibu bisa mengawali edukasi seks dengan mengajarkan tentang
anatomi tubuh secara lengkap. Jelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah
dipahami, hindari untuk mengganti nama asli dari anatomi tubuh itu sendiri. Ketika
kita menyebutkan entah itu burung, Mr. P atau sebutan lainnya untuk penis dan
menyebut Miss V untuk vagina, secara tidak sadar kita telah mengajarkan bahwa
ada sesuatu yang memalukan dan buruk tentang hal tersebut. Ini akan menanamkan
nilai pada kita meskipun alat kelamin bersifat pribadi, tidak ada salahnya
mendiskusikannya saat dibutuhkan.
Awal diskusi
yang samar tentang anatomi tubuh antara orang tua dan anak, mengakibatkan si
anak malu untuk mengajukan pertanyaan. Seumpama ada yang bermasalah menyangkut
organ kelaminnya, akan muncul kemungkinan kekeliruan diagnosis dari dokter. Dan
yang paling dikhawatirkan, seseorang mengalami kesulitan untuk menjelaskan apa
yang dialami saat pelecehan seksual terjadi pada dirinya.
Berbeda dengan
edukasi seks gaya western, nilai Islami yang dipegang oleh dominan
masyarakat budaya timur, menjadikan perbincangan seks edukasi ini punya nilai ketabuan
yang mesti tetap dijaga. Dalam artian, tidak melewati batasan norma budaya dan
agama, semisal untuk tidak mempertontonkan topik dewasa secara bebas dalam
ranah publik, kemudian menamainya dengan edukasi seks.
Akan tetapi,
bijaklah untuk memahami bahwa hakikat sesungguhnya dari pendidikan seksual
berbasis Islam ini mempunyai ruang dan cara tertentu secara khusus, dengan tujuan
menanamkan nilai-nilai berharga, kemudian mengisi dan mengokohkan kantong jiwa
setiap muslim juga muslimah.
Setelah orang
tua mengajarkan anatomi tubuh pada anak. Selanjutnya, pada usia 5-8 tahun, anak
diajarkan untuk dapat menghargai macam-macam bentuk orang tua: genap, tunggal,
atau orang tua angkat. Usia 9-11 tahun, adalah bagaimana memahami cara menolak atau
melawan tindak kekerasan dan perundungan. 12-15 tahun, mengaplikasikan strategi
penyelesaian konflik dengan orang tua. Dan umur 16-18+ memahami kebutuhan
kesehatan, fisik, mental, spiritual, dan pendidikan seorang anak.
Konsep “persetujuan”
juga merupakan bagian penting dari luasnya pembahasan mengenai pendidikan
seksual. Berangkat dari hal ini, seorang anak mengetahui mana hal yang salah
saat sesuatu terjadi di luar persetujuannya, sama halnya dia bisa menerima
penolakan dari orang lain dengan baik. Sex-ed Mengajarkan kita apa arti
sebuah privasi, misalnya melalui sentuhan baik dan buruk dari dirinya sendiri
kepada orang lain, begitupun sebaliknya. Juga perihal kecil tapi penting,
seperti memberitahu anak untuk mengetuk pintu kamar orang tua sebelum masuk.
Kemudian
dilanjutkan tentang cara merawat kebersihan organ kelamin, arti tanggung jawab menghargai
manusia lain dengan seutuhnya. Juga melindungi diri atau tubuh dari kekerasan
seksual yang mungkin bisa terjadi dimana dan oleh siapa saja, secara fisik dan
juga berhati-hati terhadap ancaman cyber citizenship (warga dunia maya)
yang tidak bertanggung jawab.
Dari sini, ciptakan
diskusi yang menimbulkan keterbukaan antara orang tua dan anak, atas segala perubahan
juga kejadian yang mereka alami. Bentuk kenyamanan agar mereka punya
kepercayaan menceritakan apa saja yang muncul di benaknya tanpa rasa segan
ataupun malu. Tentu juga, edukasi seks secara komprehensif ini diajarkan
sejalan dengan pendidikan agama. Posisi kontrol antara orang tua dan anak yang
tidak bisa selalu ada selama 24 jam setiap harinya, menjadikan pembelajaran ini
begitu penting sebagai penjagaan diri setiap anak dalam sebuah keluarga.
Sumber: Unsplash.com |
Parents need to think part of parenting
Sebatas seruan
untuk tidak melakukan hubungan intim sebelum menikah, agaknya tidak bisa
menjamin para anak muda menghindari untuk melakukan hal tersebut. Orang tua
berperan sangat penting dalam membangun komunikasi yang benar dan tepat lewat
pendidikan seks sedini mungkin, mengikuti materi yang sudah disesuaikan menurut
usia anak. Agar bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tunduk dan patuh atas
aturan Tuhan.
Maka, jangan
panik ketika memergoki anak saat ia melihat tontonan yang tidak sesuai dengan
umurnya. Itu adalah ciri Anda para orang tua yang belum secara baik menanamkan
secara keseluruhan, tahapan-tahapan pembelajaran pendidikan seksual. Kembali
evaluasi apakah Anda sudah menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan pada
anak? Apa anak sudah paham atas resiko dan akibat dari sebuah tindakan yang
mereka lakukan? Bagaimana dengan kesepakatan bersama antara anak dan orang tua?
Terdapat
delapan konsep kunci yang tercakup dalam kurikulum comprehensif sexual
education (CSE) UNESCO :
1. Hubungan
2. Nilai, hak, dan budaya
3. Pemahaman tentang jenis kelamin
4. Kekerasan dan upaya untuk tetap aman
5. Keterampilan untuk kesehatan dan kesejahteraan
6. Tubuh dan perkembangan manusia
7. Seksualitas dan perilaku seksual
8. Kesehatan seksual dan reproduksi
Zhafira Aqyla,
seorang peneliti muda di Osaka University, Jepang. pada bidang pendidikan
seksual berbasis Islam dan kesehatan reproduksi, melalui platform instagram akun taulebih.id, ia dan tim menginisiasi wadah
belajar sex-ed kepada para anak muda dan orang tua yang ingin mencari dan
ingin lebih tau banyak hal, berkenaan pendidikan kesehatan remaja. Secara
lengkap, luas, dengan konsep pragmatis yang berlandaskan agama Islam secara
keseluruhan.
Mempelajari dan mengajarkan tentang pendidikan seksual, pada akhirnya akan membawa kita mengerti cara menghargai diri sendiri juga orang lain. Orang tua adalah tempat paling aman dan tepercaya untuk setiap anak menanyakan segala hal. Bilamana waktu untuk mengajarkan mereka terlewatkan begitu saja, kantong jiwa mereka akan rapuh. Segera rangkul kembali untuk memastikan kantong jiwa itu terisi penuh dengan nilai harga diri secara utuh. Sampai disini, mau menunda perbincangan tentang edukasi seks pada anak?
*Penulis merupakan mahasiswi jurusan Syariah Islamiyyah, universitas al-Azhar, Mesir.
Editor: Ali Akbar Alfata
Posting Komentar