Menjadi Khadijah di Era 4.0

Oleh: Alvia Hasli Ramadhan*

 

(Sumber: Pinteres)

“Dia beriman kepadaku disaat semua orang mengingkariku, membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, mendukungku dengan hartanya ketika semua orang tidak memberiku apa-apa, memberiku anak-anak darinya, berbeda dengan istri-istriku yang lain.” (HR. Ahmad, 6:11)

Problematika wanita karir merupakan topik yang menuai pro dan kontra. Sebagian orang mengatakan bekerja adalah tugas laki-laki, sedangkan perempuan sepatutnya mengurus pekerjaan-pekerjaan rumah. Sebagian yang lain berkoar menyuarakan kesaman gender. mereka memandang wanita mempunyai hak untuk bekerja dan tidak monoton pada urusan rumah tangga. Tak terkecuali pada zaman modern ini, manusia milenial menganggap kesamaan gender adalah kesamaan hak antara wanita dan laki-laki baik di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, bahkan politik. Ketika laki-laki mampu menduduki status tertinggi dalam bidang politik seperti menjadi kepala negara, maka kedudukan tersebut juga berhak didapatkan oleh wanita. Begitu juga dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sebagainya.

Dari kelompok yang kontra dengan kesamaan gender tadi tak jarang timbul persepsi bahwa perempuan yang memilih meniti karirnya sambil membangun rumah tangga adalah perempuan yang terlalu ambisius. Di tengah masyarakat kalimat-kalimat sinis untuk perempuan-perempuan karir sering kali terdengar. “Wanita kok kerjanya dari pagi sampai malam? Apa enggak terlalu ambisius ya?” kalimat-kalimat ini secara tidak langsung menafikan kata sukses dalam bekerja bagi wanita. Seolah-olah wanita hanya boleh sukses dalam pekerjaan rumah tangga, tidak dalam karir bekerja. Pandangan itu berbanding terbalik jika yang mengerahkan ambisinya merupakan seorang pria. Para pria yang sukses dalam dunia kerja malah mendapatkan apresiasi.

“Bapak A sangat rajin bekerja dari pagi sampai malam, pantesan keluarganya kaya dan bahagia.” Kalimat-kalimat seperti ini tentu berangkat dari penilaian standar ganda, ia bak neraca yang tak berimbang yang yang dijadilak barometer dalam menilai. Padahal pria dan wanita merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai potensi yang sama untuk bekerja dan menggapai kesuksesan yang sama.

Tak hanya sampai di situ, fikrah-fikrah seperti juga melahirkan para pria yang enggan memilih wanita karir sebagai istri dengan dalih dia akan mudah membangkang dan meninggalkan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Hal ini juga menjadi salah satu faktor banyaknya wanita karir yang memilih meninggalkan pernikahan. Di antara mereka juga ada yang berargumen, jika istri yang memilih menjadi wanita karir akan berefek pada keharmonisan keluarga dengan mengambil profesi suami.

Dari berbagai fenomena di atas, seolah-olah ada garis pemisah antara wanita dan laki-laki dalam bekerja. Argumen-argumen tersebut juga menjadikan wanita memiliki ruang yang kecil untuk terjun ke dunia bisnis.  Bahkan wanita yang bergelut dengan pekerjaan akan di pandang sinis. Masyarakat seolah-olah menutup mata akan latar belakang kenapa wanita harus ikut andil dalam urusan ekonomi. 

Di selatan Mesir contohnya, Sisa Abu Daooh, seorang ibu yang berusaha merubah penampilan bahkan suara mengikuti lelaki guna diterima bekerja. Itu dilakukannya demi menghidupkan bayi perempuannya yang bernama Houda setelah kematian sang suami. Adat setempat yang memandang ketidaklayakan perempuan terjun dalam dunia kerja, memaksanya melakukan hal tersebut. Iapun tak begitu mendapatkan pekerjaan yang layak, hanya bekerja sebagai sol sepatu jalanan dan pembuat batu bata. 

Adapula yang rela banting tulang menjadi buruh demi menghidupkan keluarga setelah kepergian suami yang tak bertanggung jawab. bahkan terkadang bukan hanya mantan istri yang harus bekerja, tetapi juga tak jarang kita temui putri-putrinya dan anak lelaki di bawah umur terpaksa ikut terjun menjadi tulang punggung keluarga demi membantu Sang Ibu. Sungguh ironis bukan? kasus ini agak cukup menjadi lantasan betapa seharusnya pandangan sinis terhadap para wanita yang bekerja tidak sepatitnya dipertahankan.

Di samping itu,  anggapan bahwa perempuan-perempuan yang memilih membantu suaminya dalam bekerja merupakan perempuan yang dapat merusak hubungan rumah tangga juga tak bisa dibenarkan. Alih-alih bekerja menghalangi wanita dalam urusan rumah tagga, wanita yang sukses menjaga rumah tangganya dengan tetap berkarir pun tak bisa dibilang sedikit. Bahkan mereka mampu mengantarkan rumah tangganya menduduki predikat sakinah dan mawaddah. Misalnya saja Sayyidah Khadijah, istri Rasulullah saw, bukan hanya sukses menjadi saudagar kaya. Namun juga, sukses membentuk keluarga idaman bahkan Rasulullah saw sendiri memujinya sebagaimana diriwiyatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya :

 “Dia beriman kepadaku disaat semua orang mengingkariku, membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, mendukungku dengan hartanya ketika semua orang tidak memberiku apa-apa, memberiku anak-anak darinya, berbeda dengan istri-istriku yang lain.” (HR. Ahmad, 6:11)

 

Bukankah ini contoh nyata suksesnya wanita dalam bidang ekonomi serta mampu membentuk keluarga sakinah mawaddah?

Memang tidak bisa dipungkiri mencari nafkah adalah kewajiban bagi suami yaitu kaum laki-laki. Al quran pun mengatakan “Arrijalu qawwamuna ‘ala nisaa” lelaki adalah pemimpin bagi wanita. Namun demikian, ayat ini tidak mengharamkan wanita bergelut dalam dunia karir, karena sejatinya para wanita harus siap dengan dua kemungkinan terburuk, cerai hidup atau mati. Mungkin dapat ditolerensi jika cerai hidup, mantan suami masih wajib menafkahi anak-anaknya. Namun situasi akan berbeda dalam keadaan cerai mati, jika wanita tidak ikut terjun kedunia ekonomi akan berdampak pada masa depan sang anak.

Beranjak dari fakta pro dan kontra masyarakat akan problematika wanita karir, muncul satu pertanyaan apakah Syariat Islam mengizinkan wanita untuk bekerja ?

 Wanita bekerja dalam Islam bukanlah hal yang baru, semenjak masa Rasulullah Saw pun banyak perempuan yang terjun dan sukses dalam dunia perekonomian. Sebagaimana telah kita paparkan Sayyidah Khadijah Ra, istri pertama Rasulullah Saw adalah saudagar kaya pada masanya. Dengan hartanya ia infaqkan pada jalan Allah SWT dan membantu dakwah sang suami. Bukankah ini adalah bukti konkret suksesnya wanita karir dalam takwa kepada Allah SWT?

Bukan hanya istri Rasulullah Saw saja, ada pula istri para Sahabat Nabi yang sukses dalam bidang ekonomi. Di antaranya adalah Sayyidah Zainab, istri 'Abdullah Ra. Ketika itu 'Abdullah Ra adalah orang yang sedikit hartanya. Dalam hadits shahih di riwayakan Sayyidah Zainab bertanya kepada Rasulullah Saw : “Apakah saya akan diberi pahala jika saya bersedekah kepada suami dan anak yatim dalam asuhanku?”

Rasulullah Saw pun menjawab : “kamu mendapatkan dua pahala, pahala sedekah dan pahala kekerabatan.” Dari hadist ini dapat kita simpulkan bahwa perempuan karier yang menafkahi keluarga akan mendapatkan dua pahala sekaligus, pahala sedekah dan pahala kekerabatan.

(sumber ilustrasi; kalam.sindo.com)

Di antara profesi wanita pada masa Rasulullah Saw adalah :

1. Akademis dan ulama

Siapa yang tak kenal dengan Sayidah 'Aisyah Ra, beliau bukan hanya seorang istri Rasulullah Saw namun juga akademis. Beliau adalah salah satu perawi hadits terbanyak di antara para sahabat lainnya. Sebanyak 2210 hadist diriwayatkan dari beliau, 174 hadist diantaranya adalah terdapat dalam hadist Bukhari dan Muslim. Juga para istri nabi Muhammad Saw lainnya mengajarkan hardist-hadist nabi kepada para sahabat terutama perihal akhlak, kewanitaan dan kekeluargaan.

2. Perawat

Sayidah Rafidah binti ka'ab Al Aslamiyah adalah perawat perempuan pertama dalam sejarah dan Islam. Ia mengobati pasien yang terluka di perperangan, bahkan ia mempunyai tenda pribadi untuk mengobati tentara Islam yang terluka. Ketika Sa’ad bin Mu’adz tertusuk anak panah, Rasulullah Saw menyuruh para sahabat untuk membawanya ke tenda milik Rafidah untuk di obati. Dan pada kenyataannya, banyak para shahabiyat lain yang ikut andil dalam merawat para tentara Islam yang terluka dalam peperangan.

 3. Tentara

Ummu Imarah adalah salah satu shahabiyat yang ikut berperang melawan kafir bersama Rasulullah Saw di beberapa peperangan, di antaranya adalah perang Uhud. Ketika para Sahabat Nabi mundur karena kaum muslim mengalami kekalahan, hanya Ummu Salamah lah yang mampu berdiri dan bertahan melawan kafir dan menjadi tameng Rasullullah Saw dari musuh saat itu. Setelah peperangan Uhud selesai dan kaum muslimin kembali ke Madinah, Rasullullah Saw mengabarkan tentang keberanian dan kekuatan beliau menghadapi musuh di perang Uhud sehingga tersebarlah berita tersebut dikalangan laki-laki dan perempuan.

 4. Perajin tangan

Salah satu perajin terkenal pada masa Rasulullah Saw adalah istrinya, Sayyidah Zainab. Juga Sayyidah Raithah istri Abdullah bin Mas’ud memenuhi perekonomian keluarganya dengan menjual hasil kerajinan tangan.

 5. Petani

Ketika Ummu Basyrah sedang mengurusi kebun miliknya, Rasulullah Saw mengunjungi rumah beliau lalu berkata : “Seorang muslim yang menanam tanaman lalu dimakan oleh burung tanamannnya atau dicuri, maka dia mendapatkan pahala sedekah.” Pernyataan ini merupakan dukungan Rasulullah saw kepada Ummu Basyrah untuk terus menggeluti pekerjaannya walaupun hasil panen di makan oleh burung atau dicuri.

 6. Peternak

Diriwayatkan dari Asma binti abu bakar : “Ketika Zubair menikahiku dan ia tidak memiliki harta juga budak kecuali kuda dan penyiram lahan, maka akulah yang memberi minum kudanya dan menyiram tanaman.

 Lalu bagaimana fatwa ulama kontemporer perihal wanita karir?

Syekh ‘athiyah Ash-Shaqar dalam fatwa Al-Azhar mengatakan perempuan boleh bekerja dengan 5 syarat:

1. Izin suami tanpa paksaan. 

2. Tidak berhias dengan hiasan kaum jahiliah (berlebihan).

3. Tidak mengentakkan kaki ke lantai –ini merupakan kiasan bagi perempuan dahulu ketika di     berikan perhiasan kaki lalu menghentakkannya sehingga berbunyi untuk menarik perhatian     orang lain-.

4. Tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan tanpa mahram.

5. Perempuan tidak berpergian tanpa mahram.

Mengutip dari Website Sanad Media, Imam besar Universitas Al Azhar, syekh Dr. Ahmad Thayib, yang juga merupakan salah satu ulama Islam terkemuka di dunia menyatakan dengan gamblang pada hari perempuan sedunia dan anak-anak tentang perlunya menghidupkan kembali fatwa hak kerja keras atau haqq al-kadd wa as-si’ayah dari khazanah turats Islam untuk melindungi hak-hak perempuan pekerja yang berusaha menggembangkan kekayaan suaminya. Terutama di tengah perkembangan modern di mana perempuan terjun ke dunia kerja dan berbagi beban hidup bersama suami. Hal ini tentu untuk menjaga hak-hak asasi wanita dan anak-anak.

 

(Sumber ilustrasi: pinterest)

Syekh Mutawalli Sya'rawi juga berpendapat bahwa mencari nafkah adalah hak yang di lakukan oleh suami. Namun, jika istri berkenan untuk bekerja maka hal tersebut dibolehkan jika ia mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri dan ibu. Prof. Nasruddin Umar dalam bukunya “Argumen kesetaraan gender perspektif al-Quran” juga mengatakan, ada beberapa golongan wanita karir sukses di bidang masing-masing dalam Al-Quran :

1. Perempuan sukses dalam bidang politik seperti Ratu Balqis yang memiliki kedudukan tertingi dalam ranah kekuasaan dalam surah An-Naml : 23.

2. Perempuan sukses dalam bidang ekonomi seperti perempuan pada masa Nabi Musa AS dalam surah Al-Qashah: 23.

3. Perempuan sukses menetang isu publik serta mampu menetukan pilihannya sendiri.

Pada dasarnya mencari nafkah adalah tanggung jawab suami, namun tidak menutup pintu bagi para istri membantu para suami dalam mencari nafkah jika ia mempunyai kemampuan lebih seperti ilmu, tenanga dan modal. Sebenarnya kehidupan rumah tangga adalah kehidupan sharing, baik berbagi dalam hal kebahagian maupun kesusahan, begitu juga dalam mencari nafkah.

Baca Juga; Petuah Maryam

Dari sisi lain, mengurus rumah adalah keharusan bagi istri. Namun, hal tersebut bukan melarang para suami membantu istri mereka dalam pekerjaan rumah. Sama halnya dalam mendidik anak, pada dasarnya para ibu mempunyai peran penting dalam pertumbuhan anak. Namun lagi-lagi bukan menutup pintu para suami ikut mengambil peran. Betapa indah jika kehidupan rumah tangga saling berbagi dan melengkapi tanpa harus mengekang satu sama lain. Islam tidak pernah melarang wanita bekerja selagi ia mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri dan ibu.

*Penulis merupakan mahasiswi tingkat 4 Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat.

 

Editor: Annas Muttaqin 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top