Hypatia; Kecerdasan Di atas Rata-rata Mendatangkan Kematian Bukan Penghargaan

Oleh: Alvia Hasli Ramadhan*

(Ilustrasi : Google)

Ujian semester genap tahun ke dua di universitas Al-Azhar merupakan rentang waktu yang sangat meresahkan bagi mahasiswa fakultas Ushuluddin, mereka diwajibkan memilih satu dari tiga disiplin ilmu utama dalam Islam yaitu ilmu Tafsir Al-Quran, Hadis dan Akidah setelah dinyatakan lulus ujian pada tahun kedua. Hal tersebut juga saya rasakan, setelah istikharah saya pun memilih ilmu Akidah. Menariknya jurusan Akidah di Al-Azhar tidak hanya mempelajari ilmu Akidah tetapi juga Psikologi, Akhlak, Fikih modern, beberapa cabang ilmu Tafsir dan Hadis serta Filsafat, baik Filsafat Islam, Yunani maupun Modern.

Berangkat dari latar belakang pengalaman pribadi untuk mendalami ilmu Filsafat, saya sangat tercengang akan minimnya andil wanita dalam disiplin ilmu ini. Apakah karena wanita benar-benar tak mampu untuk berfikir seperti para filsuf umumnya? Atau dunia Filsafat berada diluar ranah kemampuan wanita? Dan mengapa banyak kita dengar tokoh wanita dalam disiplin ilmu lain seperti Sastra, Kedokteran dan Ilmu Alam tetapi tidak sama halnya dengan Filsafat? Terkadang memang ada beberapa buku yang menjelaskan para tokoh filsuf wanita, namun apakah ada yang mengetahui mereka kecuali orang-orang yang mendalami filsafat?

Saya mulai menjawab satu dari pertanyaan di atas tentang beberapa faktor pemicu, di antaranya karena filsafat sangat bertumpu pada akal sedangkan wanita lebih condong kepada perasaan, sehingga medan peran wanita pun di filsafat berkurang. Namun nyatanya pria dan wanita keduanya memiliki potensi berfikir yang sama, lalu apa sebenarnya elemen pendorong fenomena pelik ini?

Aristoteles, filsuf terkenal nan masyhur di era Yunani Kuno menyatakan sebuah hal yang menyayatkan hati. Bagaimana tidak, seorang pria terkenal dan memiliki intelektual tinggi menyetarakan wanita dengan binatang dan menganggap wanita hanya sebatas pelengkap hidup kaum pria. Dikutip dari karyanya “History of Animals”, Aristoteles mengatakan dengan gamblang: “Oleh karena itu wanita lebih berbelas kasih dan lebih mudah dibuat menangis, lebih cemburu dan bingung, lebih suka mencerca dan bertengkar. Wanita juga lebih rentan terhadap depresi roh dan keputusan daripada pria. Dia juga lebih tak tahu malu dan salah, lebih mudah tertipu dan lebih sadar akan cedera, lebih waspada, lebih malas, dan secara keseluruhan kurang bersemangat daripada laki-laki.”

Hal ini sangatlah kontras dengan pernyataan gurunya, Plato. Dalam karya fenomenal miliknya “Republic” menerangkan: “Seorang pria dan wanita memiliki pikiran (jiwa) dokter yang sama.” Dalam kesempatan lainnya juga ia menjelaskan bahwa wanita mampu menjadi filsuf ketika kewajiban mengurus rumah tangga tidak lagi dibebankan kepadanya.

Terlepas dari pro-kontra peran wanita dalam dunia filsafat. Realitanya, sejarah telah mencatat beberapa filsuf wanita sukses menjadi aktor hebat di era mereka masing-masing. Sebut saja Hypatia, wanita asal Alexandria, Mesir telah berhasil memukau mata para manusia dengan kontribusinya dalam bidang ilmu pengetahuan, di antaranya ilmu Filsasat, Astronomi dan Matematika. Ia dilahirkan di kota ternama “Alexandria” pemilik sejarah gemilang yang berhasil direbut oleh Alexander the Great. Ia hidup pada masa kekaisaran Romawi pada tahun 370 Masehi, tepat pada abad pertengahan ketika umumnya masyarakat saat itu menganggap wanita sama seperti harta milik.

Ia adalah putri dari matematikawan dan pustakawan di museum Alexandria, Theon. Dari ayahnyalah ia mulai meniti karir dalam dunia ilmu pengetahuan. Setelah mengenyam pendidikan dari sang ayah, Hypatia mulai melakukan perjalanan keilmuannya ke Athena dan Italia, di sanalah ia mulai mengenal ilmu Filsafat. Setelah kepulangannya dari menuntut ilmu, ia diangkat menjadi kepala sekolah Neoplatonis di tanah kelahirannya. Sosok ilmuan yang gemar akan ilmu Astronomi mulai mendedikasikan dirinya untuk mengajar Matematika sehingga di juluki sebagai “The mother of mathematics”.

Sebagian besar dari muridnya sangat menyukai metode pengajaran Hypatia yang sangat menarik, karena ia mampu menyampaikan hal yang rumit menjadi sederhana dan memikat. Seiring berjalannya waktu, rumah Hypatia pun menjadi tempat belajar filsafat. Ia telah menulis buku tentang Astronomi, Aljabar dan menyempurnakan desain Astrolab (alat pencari bintang untuk mengukur ketinggian sudut dimana bintang berada di atas objek di cakrawala). Namun ironisnya, tidak ada satupun dari karya Hypatia yang dilestarikan. Di antara muridnya yang sukses adalah Synesius, uskup Ptolemais 411 Masehi. Ia mengajarkan Synesius cara penggunaan Astrolab; karya miliknya. Dan juga beberapa murid pentingnya, dari merekalah kita dapat mengenal karya-karya Hypatia seperti Synesius dan Hesychius.

Selain memiliki intelektualitas tinggi, Hypatia juga sangat rajin menjaga kesehatan fisiknya bahkan ia terkenal mahir dalam bidang Olahraga. Namun ia menolak untuk menikah dengan tujuan agar ia dapat memberikan dedikasi sepenuhnya kepada dunia Sains. Hingga datang suatu masa ia menjadi sosok yang dikenal, akibat sosoknya yang sangat bijak dan pintar ia diangkat menjadi penasehat hakim tertinggi di Alexandria. Para hakim pun datang kepadanya untuk berkonsultasi tentang kasus yang tersebar di kota.

(Ilustrasi: Google)

Namun tak semua jalan itu mulus, Hypatia sebagai paganis menerima pandangan sinis dari kaum Kristen, pendukung ideologi Aristoteles dan Ptolemais karena teorinya yang mengatakan bumi bukanlah pusat peredaran planet, melainkan matahari sebagai titik orbit. Ditambah lagi penemuannya ini menentang isi Bible, kitab suci umat Kristen yang meyakini bumi sebagai pusat tata surya. Walaupun realitanya Hypatia sebagai penganut paganisme, namun ia sangat toleran terhadap kaum Kristen yang saat itu memiliki jabatan dalam urusan agama dan negara. Hal ini terbukti di antara muridnya menganut ajaran Kristen.

Kecerdasan Hypatia yang melampaui rata-rata serta dikombinasikan dengan jenis kelamin perempuan pada akhirnya malah mendatangkan kematian bukan penghargaan, banyak pihak yang iri dan benci akan kesuksesannya. Di antara pencela utama Hypatia adalah Orestes, hakim Romawi di Mesir dan Cyril, pemimpin Kristen di Alexandria. Mereka bekerjasama untuk membuat konferensi sehingga Hypatia tercela dan berakhir pada pembunuhan tragis pada tahun 415 Masehi. Ia diseret oleh masa ke gereja dan dicongkel mata lalu dicincang-cincang tubuhnya. Ia dibunuh oleh biarawan fanatik yang dipimpin oleh Petrus murid Sirilius, uskup Alexandria yang sangat disegani. Seiring dengan kematian Hypatia, maka keilmuan di Alexandria juga ikut mati dan tidak pernah gemilang segemilang masa hidup Hypatia.

Begitulah sekilas dari kisah hidup Hypatia, salah satu filsuf wanita ternama. Namun dari tulisan saya, sebenarnya bukan ingin memprovokasi pembaca untuk menjadi filsuf, apalagi untuk tidak menikah seperti Hypatia. Namun penulis berharap dan mengajak agar para wanita mengasah kemampuan dan kreatifitas mereka, serta membuka pikiran masyarakat bahwa wanita dan pria tak salah bersanding, saling memberikan kontribusi terhadap negara dan agama sesuai kapabilitas dan jalur masing-masing tanpa harus menjatuhkan satu sama lain.

*Penulis merupakan mahasisiwi tingkat 4 Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah dan Filsafat.

Editor: Aja Chairul Husnah

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top