Pelukan Terakhir

 Oleh: Tim Phan*

(Sumber foto: SiwaLive.blogspot.com)

Sebenarnya, yang kuceritakan padamu itu selalu sesuatu yang menciap-ciap di kepalamu. Kutumpahkan semuanya hingga kau menciptakan balon-balon besar yang bergemuruh. Gemuruh itu membuat dadamu sesak. Membuat kerongkonganmu kering. Lantas, di penghujung cerita, kerongkonganmu itu akan sakit seperti terlilit oleh dasi. Pada akhirnya, balon-balon besar tadi meledak, airnya muncrat, mengalir dari dua sela di bawah alismu. Rasanya sakit di hati. Lembab di pipi. Asin di lidah.  Membuat dua bola kelereng warna coklat itu basah. Dua bola indah yang selalu kau gunakan untuk menatap langit lamat-lamat. Menikmati setiap detiknya.

Pagi itu, di bawah semburat cahaya fajar kau dan aku menaiki benteng tua di tengah Kota Siwa. Adalah benteng Shali yang selalu kau dambakan setiap tahunnya. Menyimpan ribuan sejarah di setiap kepingan yang hancur. Guratan-guratan zaman tergambarkan jelas di setiap goresan. Harapan-harapan orang terdahulu terpancarkan dari ornamennya. Menaruh pelajaran bagi setiap orang, bahwa tidak ada yang pernah abadi di dunia ini.

Pagi itu, aku duduk menatap ufuk timur yang belum memunculkan keajaibannya. Termenung. Mengingat bahwa aku tidak pernah menjadi fans garis keras sunset di mana pun itu. Tapi kau dengan riangnya selalu menceritakan keindahannya.

“Kata ayahku, sunset adalah hal terbaik yang pernah ada.” Kau kembali bercerita, dengan menyematkan ayahmu di setiap penggalannya.

“Kenapa?” tanyaku, pelan. Sembari menatap wajahmu yang teduh di bawah embun pagi.

“Karena ketika matahari terbenam semua harapan kembali utuh. Semua cita-cita kembali muncul. Angin sejuk. Embun pagi. Semburat hangat matahari. Semuanya melambangkan satu hal yang tidak pernah ada kecuali di pagi hari. Ketenangan.”

Aku telah mendengar cerita itu puluhan kali. Tentang apa itu waktu pagi. Keindahannya. Sayangnya, aku selalu lupa. Lantaran pikiranku hanya tertuju pada cerianya wajahmu ketika menceritakan semua itu.

Kehidupanku bersamamu sudah berjalan tujuh tahun. Tidak pernah terpikirkan waktu sepanjang itu bagiku untuk menyatukan dua insan yang sama sekali tidak memiliki kesamaan. Keinginan kita selalu bertentangan bahkan dalam hal sekecil apapun. Apalagi di atas Benteng Shali. Kau selalu ingin menjadi orang pertama yang naik ke atas sana di pagi buta. Aku selalu ingin terakhir, sampai di atas melihat puluhan orang mengambil gambar.

“Apakah kau tidak suka waktu senja?” tanyaku kembali basa-basi. Semburat cahaya fajar itu mulai menampakkan jati dirinya. Ujung dari bintang besar itu mulai terlihat. Membuat beberapa manusia yang sedang naik tangga menuju puncak benteng bergegas, tidak ingin ketinggalan momen.

Kau selalu diam sejenak setelah mendengar pertanyaan itu. Kemudian memutuskan untuk tidak menjawab. Lantas, mengalihkan dengan kembali membicarakan hal lainnya.

Keramaian di Siwa mulai terlihat dari atas benteng itu. Satu dua para lelaki mulai berjalan menunggu tumpangan. Yang lainnya kebanyakan sibuk membuka kedai, menyambut siapapun itu yang bangun di pagi hari.

Dari kejauhan juga tampak pohon kurma yang berjejer rapi. Dedaunan hijau bergradasi menjadi sahara tanpa ujung. Aroma keasrian pagi hari di kampung tua itu mulai terhirup.

“Ayahku tidak pernah menyukai senja.” Akhirnya, setelah sekian lama, kau menjawab pertanyaanku. Aku menoleh takjub. Ingin mendengar jawaban sebenarnya darimu.

“Di kala senja semua kejadian buruk menimpaku. Di kala senja, Ibu menghilang entah kemana. Diculik oleh orang dengan pakaian hijau hitam yang sama sekali tidak kukenal. Setelah itu, di senja kemudian hari, giliran ayah yang menghilang. Meninggalkan sepucuk surat yang bertuliskan. ‘Teruslah Hidup.’”

Kau diam sejenak. Menutup mata, seakan-akan merasakan apa yang terjadi hari itu.

“Juga, di kala senja, aku hampir mati di tengah jalan karena penyakit jantungku. Padahal hari itu aku hendak memberimu kejutan, tapi karena senja membuat segalanya semakin menakutkan. Aku pingsan di tengah jalan.”

“Tapi, aku datang menyelamatkanmu,” timpalku.

“Iya, aku tahu kau selalu ada. Bahkan kau rela hidup berdua denganku. Mengurusku yang sakit-sakitan ini. Yang setiap tahunnya memaksamu untuk naik ke atas benteng ini di kala pagi buta. Hanya untuk memuaskan nafsuku untuk melihat semburat cahaya matahari pagi. Kemudian, kau menggendongku turun. Karena aku tidak pernah bisa bergerak bebas lagi.”

Kau menatapku lamat-lamat. Membuat hatiku sedikit teriris.

“Juga—” nafasmu terhenti. “Aku kehilangan buah hati kita di kala senja. Membuat kehidupan kita hancur. Membuatku tidak pernah bisa mengandung anak lagi. Semua itu terjadi kala senja.”

Aku menunduk. Ingatanku masih jelas. Kala itu kau terkulai di bawah tangga rumah, bersimbah darah ketika aku baru pulang kerja.

Bintang besar kulit jeruk itu mulai tampak setengah. Embun pagi mulai menguap, siap pergi meninggalkan bumi tercinta.

“Terima kasih untuk selama ini.” Kau bersender di bahuku. “Terima kasih untuk semuanya. Semua yang kita lalui. Pada akhirnya, kita memiliki kesamaan, sama-sama menyukai sunset. Entah, apakah itu benar.” kau menatapku, bola matamu terlihat bercahaya. Bola besar di ufuk timur itu sempurna terlihat. Aku tersenyum getir.

Bola mata itu mulai mengeluarkan sebutir air mata. Mengalir di pipimu. Menceritakan tentang ayahmu, ibumu, calon buah hatimu sudah membuat balon besar itu meledak. Kau menangis di bahuku, membasahi pipimu. Kuelus kepalamu lembut, salahku sudah menanyakan hal itu.

Aku menggendongmu turun. Dengan erat kau memelukku. Pertunjukkan matahari terbit itu usai sudah. Begitu juga denganmu.

“Han, kau tidak ingin berfoto?” seru Haq dari belakang. Membuatku terkejut, padahal sedang nikmat-nikmatnya menatap matahari muncul. ditambah angin sepoi-sepoi yang menerbangkan anak rambut.

Aku mendesah pelan. “Kau sadar, kan, kalau kita ini sudah berumur lima puluh tahun?” ucapku.

Haq terkekeh pelan. “Tentu aku sadar, Han. Apalagi kau yang sudah puluhan kali mengunjugi benteng ini setiap pergi ke Siwa.”

Aku mengambil tongkatku, membantuku berjalan menuju Haq dan keluarganya. Tersenyum tipis.

Sejenak, tubuhku terasa hangat. Kau memelukku dari belakang dan mulai berkata.

“Mulai sekarang, kau harus tetap hidup. Mulailah kehidupan baru tanpaku di bayang-bayangmu. Mulailah dengan tidak mengunjungi benteng ini yang hanya mengingatkanmu pada kesedihan. Tinggalkan kenangan lama itu. Ini adalah pelukan terakhir dariku. Hingga tiba pada waktunya, kutunggu kau di pintu surga.”

Sebutir air mata mengalir di pipiku. Mengingatmu yang terkulai di penghujung tangga Benteng Shali. Nafasmu berhenti. Matamu tertutup rapat. Tapi senyuman itu tetap tersimpul jelas. Kau pergi dengan bahagia setelah memecahkan balon lama yang kau simpan itu. Menggurat namamu di serpihan benteng bersejarah.

Aku bahkan tidak pernah bilang padamu bahwa aku sangat menyukai senja.

Baca juga: Dua Kali

Sebenarnya, yang kuceritakan padamu itu selalu sesuatu yang menciap-ciap di kepalamu. Kutumpahkan semuanya hingga kau menciptakan balon-balon besar yang bergemuruh. Gemuruh itu membuat dadamu sesak. Membuat kerongkonganmu kering. Lantas, di penghujung cerita, kerongkonganmu itu akan sakit seperti terlilit oleh dasi. Pada akhirnya, balon-balon besar tadi meledak, airnya muncrat, mengalir dari dua sela di bawah alismu. Rasanya sakit di hati. Lembab di pipi. Asin di lidah.  Membuat dua bola kelereng warna coklat itu basah. Dua bola indah yang selalu kau gunakan untuk menatap langit lamat-lamat. Menikmati setiap detiknya.

Pagi itu, di bawah semburat cahaya fajar kau menghilang.


Editor: Annas Muttaqin S

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top