Uninstall
Oleh : Muhammad Yusran*
Empat angka mungil menunjukan pukul sepuluh
pagi tepat, terlihat jelas di sudut kiri atas layar smartphone, didominasi
postingan-postingan instagram yang sudah aku telusuri sekitar dua atau tiga jam.
Dengan satu tarikan nafas panjang, aku putuskan untuk bangkit dari selimut
tebal yang sudah terlalu nyaman menimpa dan buaian media sosial yang tak ada
batas. Mungkin jika dihitung hal serupa telah aku ulangi ratusan pagi selama di
Kairo.
Kulirik kembali smartphone, membaca ulang chat
grup WhatsApp Deputi Kesenian untuk memastikan kembali waktu rapat yang sudah
kami sepakati beberapa hari lalu. “Masih ada waktu satu jam lagi,” gumamku
sambil mencharge dan langsung bergegas ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka
dan sikat gigi, berhubung waktu tempuh ke Meuligoe KMA sekitar satu jam.
Langkah demi langkah, meski berat tetap
kuayunkan, berjalan menuju terminal hingga naik ke dalam bus biru arah Hay ‘Asyir.
Aku duduk tepat di depan kursi kernet bus, bersebelahan
langsung dengan jendela yang merupakan posisi favoritku, lalu mulai menyusun
rencana dan memikirkan aktivitas apa yang akan kukerjakan untuk mengisi waktu
satu jam ke depan selama perjalanan. Kebetulan hari ini penumpang tak seramai
biasanya, hanya ada sekitar 9 orang dari kapasitas 28 kursi yang disediakan. Beberapa diantara
mereka mahasiswa Indonesia sepertiku, sedangkan yang lainnya masyarakat
setempat. Sepertinya tidur adalah pilihan yang tepat, hitung-hitung
mengumpulkan tenaga, ditambah lagi mataku yang semakin berat.
Sebelum menutup mata, aku melihat dari arah luar jendela seorang anak kecil dengan penampilan yang sepertinya tak terurus, lusuh, rambutnya kusut, baju putih yang ia kenakan sudah berubah menjadi coklat tua, kalau saja dia sedikit mencuci wajahnya pasti akan sangat menawan, dia gadis cantik dan memiliki mata yang indah. Turut membersamainya seorang lelaki paruh baya , sepertinya juga ingin ikut masuk ke dalam bus yang sama denganku, tampak senyum bahagia dari raut wajah mereka.
Setelah dua menit tertidur, aku dibangunkan
dengan suara anak kecil tadi, “Ya Ammu, minta uang!” Pintanya dengan nada yang
lumayan tinggi, seketika beberapa penumpang lain menoleh ke arahku, karena
malu, aku langsung menyerahkan selembar uang yang ada di saku, dan kembali
melanjutkan tidur berhubung mata ini masih terlalu berat.
Tak lama setelah itu, aku dibangunkan kembali
untuk kedua kalinya, tapi bukan dengan anak kecil tadi, melainkan kernet yang
ingin meminta ongkos. Aku langsung menyeluk saku kanan celana, namun tak
kudapati sepeser uangpun “Sebentar Pak, perasaan di saku saya ada uang 50 pound,
saya sudah cek sebelum naik ke bus kok. Namun, sekarang sudah tak ada lagi,”
ucapku panik sembari merogoh ulang semua saku celanaku.
“Jangan bohong anak muda, saya sudah mendengar
alasan seperti itu sejak dua puluh lima tahun lalu, sejak pertama kali saya
menjadi kernet bus, itu alasan yang sangat jadul, kalau memang tak punya uang
kamu harus jalan kaki, jangan naik bus.” Bentaknya dengan raut yang sedikit
kesal. Walaupun tau dalam keadaan seperti ini aku yang salah. Namun, sangat pantang
rasanya kalau tidak mendebat balik, ditambah dia pasti akan menurunkanku di
tengah jalan. Perbalahan panjang pun terjadi. Berbagai pembelaan aku lontarkan,
meski dengan kemampuan bahasa yang sangat buruk, sambil sesekali melirik
keadaan sekitar untuk mencari bantuan.
Tiba-tiba anak kecil yang membangunkanku tadi
datang menghampiri kami dan menyerahkan selembar uang kepadaku, “Ya Ammu, ini
tadi uangmu jatuh, aku tidak membangunkan karena takut mengganggu tidurmu,”
tanpa kompromi aku langsung mengambil uang yang diserahkan si kecil tadi dan
memberikannya kepada kernet. Seketika aku teringat kalau selembar 50 pound itu
adalah uang yang kuserahkan kepadanya.
Selepas kernet itu pergi, aku langsung
berterima kasih dan meminta maaf kepada anak kecil itu, kemudian mengajaknya
duduk disebelahku untuk mengobrol, aku mengeluarkan dua bungkus molto dari tas
kecil dan memberikan satu untuknya, lalu mulai bertanya banyak hal kepadanya. Berbeda
dengan beberapa anak kecil lain yang aku jumpai, dia sangat baik dalam
berkomunikasi, kurasa dia anak yang pintar meskipun pakaiannya lusuh dan kotor,
mungkin karena nasib yang harus ia jalani lantaran keadaan finansial yang
kurang baik. Kalau saja mendapatkan pendidikan yang layak, dia pasti akan
berada di atas teman-teman seusianya.
Beberapa topik menarik seputar Mesir tak luput
dari obrolan, bahkan sampai ke pembahasan mahalnya harga bahan pokok makanan
yang membuat masyarakat kelas bawah kesulitan untuk memperolehnya. Kalau saja
dia punya ponsel, pasti aku akan langsung meminta nomornya untuk berbicara
lebih banyak via telepon.
Dia sangat senang ketika tau kalau kami
memiliki satu kesamaan yang jarang dimiliki orang lain, yaitu sama-sama lebih
menyukai musim panas ketimbang musim dingin meskipun dengan alasan yang
berbeda. Aku suka musim panas karena memang kulitku sedikit sensitif dengan
cuaca dingin, sedangkan alasannya lebih menyukai musim panas, karena dia tak
punya jaket yang bagus seperti teman-teman seusianya, juga karena rumahnya tak
memiliki atap, sehingga udara dingin akan masuk dengan mudah, ditambah lagi
akan ada beberapa kali hujan pada musim dingin, sehingga dia dan keluarganya
perlu mencari tempat berteduh, diusir dan dihina adalah hal yang yang biasa
bagi mereka. Sesekali mataku berkaca mendengar kisah si bocah.
Setelah lama mengobrol, aku membalas beberapa
pesan WhatsApp dan Instagram di layar ponsel.
"Ya Ammu, ada aplikasi tiktok?"
Tanyanya manja sambil memperagakan beberapa goyangan yang tampaknya sudah lama memerhatikan
layar ponselku. Sontak aku kaget, bagaimana bisa seorang anak kecil, berumur 9
tahun, pakaian lusuh, kotor dan polos ini tau aplikasi tiktok, bahkan sampai
hafal beberapa jogetan viral.
"Saya gak punya aplikasi itu."
Jawabku mencoba santai.
"Kalau yang ini apa namanya?"
Tambahnya sambil menunjuk ke layar ponsel.
"Kalau ini instagram, memang agak sedikit
mirip dengan tiktok," Jelasku sambil menjauhkan diri dari pakaian kotor si
bocah perempuan yang sudah sangat rapat denganku.
"Boleh saya pinjam ponselnya? Saya pingin
lihat instagram juga" Pinta si bocah.
"Tak boleh! enak saja, anak seumuranmu
tak boleh melihat instagram. Tapi tenang, saya punya beberapa game di ponsel
yang bisa kamu mainkan." Jawabku.
Anak kecil itu sedikit mengerutkan keningnya,
memperlihatkan raut yang kurang setuju, "Saya gak mau main game, saya mau
lihat instagram!" Tambahnya kesal.
Sebenarnya aku sangat keberatan untuk
mengiyakan permintaannya, karena pasti akan menguras banyak kuota dan juga aku
baru kenal dengannya, bisa saja ponselku dibawa lari ketika lalai. Namun, karena
merasa dengan ini aku bisa membuat dia sedikit bahagia, ditambah lagi aroma
tubuhnya yang sangat tidak ramah semakin tajam, aku putuskan untuk mengiyakan.
"Oke boleh, tapi syaratnya kamu lebih
menjauh sedikit, karena jaket saya bersih, saya juga mau kumpul dengan
teman-teman, nanti kalau saya bau mereka pasti mengejek saya."
"Oke siap." Jawabnya girang tanpa
merasa tersindir dengan kalimat jahat yang baru saja ku ucap. "Oh ya satu
lagi, itu ponselnya jangan dibawa lari" Tambahku dengan sedikit raut
khawatir. Di satu sisi memang dia hanya anak kecil. Namun, kita juga tak boleh
terlalu percaya dengan orang yang baru dikenal, meskipun dia orang yang sangat
baik. Begitulah kurang lebih pesan dari beberapa senior ketika kami baru tiba
di Mesir dua setengah tahun lalu.
"Hahahahaha" Tiba-tiba tawanya
meledak membuat seisi bus menoleh ke arahnya termasuk lelaki tua yang masuk ke
dalam bus bersamanya, karena aku yang bertanggung jawab atas kegaduhan ini,
terpaksa harus meminta maaf kepada mereka. Si kecil yang masih terlalu polos
lagi-lagi tertawa melihat satu persatu gambar dan vidio yang dianggapnya lucu
dari layar ponselku.
"Udah, udah. Kembalikan ponselnya, tawamu
sangat mengganggu orang lain."Pintaku sambil berusaha merebut. Tetapi, si
bocah tetap bersikeras mempertahankannya sambil memeluk erat ponselku.
"Kalau memang ponsel ini tak mau saya ambil, jangan terlalu kencang suara
tawamu."
Sesaat setelah itu, lelaki tua yang bersama si
bocah tadi menghampiri kami untuk mengajaknya turun dari bus itu. "Ayo nak
kita turun, kita sudah sampai. Kembalikan ponsel paman itu!" Ujar si
kakek, "Maafkan cucuku merepotkanmu wahai anak muda." Tambahnya
sambil menjabat tanganku.
"Sama-sama kek, saya juga sangat senang
berbicara panjang dengan cucumu, dia juga tadi sudah menolongku, dia anak yang
pintar, aku yakin kelak dia akan menjadi anak yang sukses."
"Amin… enta min indunisiya sah? Ahsannas"
jawab si kakek. Aku hanya tersenyum dan mengiyakan perkataannya.
Sang kakek langsung berpamitan dan pergi,
begitu pula dengan bocah tadi, ia langsung memberikan ponsel itu kembali, tanpa
sepatah katapun, dia langsung pergi meninggalkanku. Namun, setelah tiba di
tangga bus ketika hendak turun, tiba-tiba dia kembali berlari ke arahku,
"Yaa Ammu, saya lupa menyampaikan satu hal, kamu tak boleh terlalu banyak
membuka aplikasi tadi, kamu seorang penuntut ilmu, jadi tak boleh melakukan
aktivitas yang melalaikan dan sama sekali tak ada gunanya." Sontak aku
terkejut dengan nasehat si bocah, aku pun mengangguk tanpa mampu berkata
apapun. "Dah Ammu, semoga kita bertemu lagi di lain waktu." Tambahnya
sambil meninggalkanku.
Dari dalam bus yang mulai menjauh, aku hanya
mampu melihat mereka tersenyum dan
melambaikan tangan kepadaku, bayang-bayang si bocah dan lelaki tua itu mulai
hilang dimakan jarak, ditutupi dengan lalu lalang kendaraan roda empat yang
memenuhi jalan raya. Ini adalah pengalaman yang sangat tidak masuk akal,
sekaligus tamparan keras untuk kemalasan dan kelalaian ku selama ini.
Setelah kondisi mental mulai stabil, aku
kembali membuka ponsel. Namun, ada beberapa kejanggalan di dalamnya, aku tak lagi
menemui aplikasi instagram. "Hedehhh dasar, pasti bocah tadi yang
meng-uninstallnya." Bisikku dalam hati sambil sedikit tersenyum.
Tiba-tiba aku mencium aroma bunga yang sangat segar, aku pun mulai mencari sumber bebauan tersebut, alangkah terkejutnya ketika tau bahwa ternyata aroma tadi berasal dari bagian sebelah kiri jaket biruku yang disandari oleh si bocah kotor dan lusuh tadi.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir.
Editor: Ali Akbar Alfata
Posting Komentar